Friday, 11 December 2015

Hari masih pagi-pagi benar. Sinar mataharbaru saja memancar dengan cerahnya. Kebetulan langit di atas sana tampak begitu bersih tanpa segumpal awan pun. Aku segera bergegas dengan sepeda ontelku menyusuri jalan-jalan yang masih sunyi. Menyusuri jalanan kecil di tepi desa di sepanjang kampungku di kanannya tampak hamparan tanaman padi yang mulai menguning. Padi-padi itu tampak menunduk dan memancarkan cahaya keemasan ditimpa sinar mentari pagi ini. Setiap pagi aku biasa menyusuri jalan dalam jarak 15 km ini dari rumah menuju sekolah. Jarak yang demikian biasa kutempuh dalam waktu 30 menit. Tepat dipertigaan di sudut kampungku, aku mengambil arah ke kanan menuju sebuah kampung yang hanya terpisahkan oleh sebuah tanah pekuburan desa. Tepat tiga rumah dari pekuburan itu, di situlah rumah Riri. Aku berhenti sejenak. Tapi pagi ini, tak kulihat Riri di depan rumah. Mungkin Riri telah berangkat duluan pikirku. Dan perjalanan pun aku lanjutkan. Pagi ini Riri tidak bersamaku, tidak memboncengku. Toh nanti ketemu juga di sekolah, pikirku. Kupacu sepedaku sekuat tenagaku, tak sabar aku ingin menjumpai Riri di sekolah nanti.

Tiba di sekolah waktu belum genap jam 7 pagi. Masih dua puluhan menit lagi kurangnya. Buru-buru kutaruh sepedaku di parkiran belakang sekolah. Dari situ, aku langsung ke ruang kelasku, kutaruh tas berisi buku-buku. Kemudian bergegas ku ke arah ruang kelas di sebelah kelasku. Di situlah ruang kelas Riri. Segera kulongok ke dalam, mataku mencari-cari Riri. Nyatanya belum ada juga. Maka berlarilah aku menuju ke arah gerbang sekolah. Maksudku ku mau menunggu Riri di sana, sebab bisa jadi Riri belum datang.
Terdengar bel pagi berbunyi. Teman-teman yang semula duduk-duduk dan bergerombol di halaman dan emper-emper kelas mulai beringsut ke kelas masing-masing. Mereka bersiap menerima pelajaran pagi ini. Baru kakiku mulai melangkah meninggalkan gerbang sekolah, kulihat dari arah depan sana, Riri berjalan menuntun sepeda ontelnya. Kudekati dia, kubantu bawa sepeda ke tempat parkir. Aku tahu sepedanya kempes, sepertinya terkena paku saat di perjalanan. Sementara aku menaruh sepeda di tempat parkir, Riri menungguku di pojok gedung sekolah.
"Ri..., saat pulang sekolah nanti, aku mau ketemuan. ada yang aku mau sampaikan ke kamu."
"Emang ada apaan..?"
"Nanti aja, aku kasih tau semuanya."
"Gimana, bisa nggak..?"
"Ya udah, aku bisa."
"Ok. aku tunggu di taman sekolah siang nanti."
Hanya itu percakapan yang tercipta di antara aku dan Riri pagi ini, sebab kami harus segera menuju ke kelas masing-masing. Tepat di ujung di depan perpustakaan kamu berpisah, Riri ke arah kiri, ruang kelas 7B ditujunya. Aku ke arah kanan ruang kelas 8C yang aku tuju.
Sampai di depan pintu kelas, aku berhenti sebentar. Tampaknya, Pak Harso guru Matematika sudah berada di dalam. Aku berdiri diam sebentar, ada perasaan takut seketika menghantui. Aku takut masuk ke kelas. Sebab pagi ini aku lupa mengerjakan PR yang kemarin diberikan Pak Harso. Aku tahu persis, Pak Harso pasti marah besar jika kedapatan muridnya tidak mengerjakan PR. Hukuman berdiri selama pelajaran berlangsung atau menyanyi di depan kelas itu jelas dialami siswa tersebut. Tiba-tiba aku ingat niatan ketemuan Riri siang nanti, niatan itu seperti menggugah keberanianku, seketika hilang rasa takut dan penakut itu.
Kuketuk pintu kelas, terdenga suara Pak Harso mempersilakanku masuk. Aku buka pintu perlahan dan kumelangkah ke dalam. Di depan Pak Harso kuberdiri. Kuucapkan selamat pagi, tak lupa kumeminta maaf atas keterlambatanku pagi ini. Sudah tentu sebelum kudiizinkan duduk di kursiku sebuah judul lagu harus aku nyanyikan terlebih dulu di depan kelas sebagai hukuman atas keterlambatanku. Namun begitu, aku bersyukur juga, sebab pagi ini sesi pembahasan PR sudah berlalu, dan Pak Harso mulai memberikan materi pelajaran yang baru. Dengan begitu aku lewat dari hukuman yang kedua. Hukuman atas kelalaianku mengerjakan PR pagi ini.
Pagi ini pelajaran Matematika yang dua jam pelajaran ini terasa lama sekali. Sepertinya jarum jam berat untuk berputar meninggalkan angka delapan. Belum lagi pelajaran berikutnya adalah Fisika dan Bahasa Inggris. Kedua mata pelajaran ini tak kalah menakutkan diriku. Baik Matematika, Fisika dan juga Bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang sudah dapat dipastikan nantinya beroleh angka 40 di rapor. Nilai minimal yang boleh ditulis di rapor untuk anak-anak yang tidak mempunyai kelebihan akademis seperti aku ini. Maka setiap kali pelajaran tersebut jika tidak terpaksa, alias ada kesempatan untuk membolos, pasti aku memilih membolos.
Tapi hari ini kesempatan membolos tidak terbuka untukku. Minggu lalu telah diumumkan, jika Fisika dan Bahasa Inggris hari ini akan ulangan. Mau tidak mau aku harus ikut ulangan. Setidak-tidaknya biar tidak mendapatkan nilai nol nantinya. Meskipun aku sadar bahwa aku sedikit pun tak ada kesiapan untuk ulangan itu. Tapi biarlah, tak ada salahnya aku mengikutinya. Meskipun sesungguhnya aku sendiri tidak yakin bisa dan tidaknya ulangan sebab semalam aku sama sekali tidak belajar. Pikiranku sedang tidak terfokus, tak dapat berkonsentrasi sedikit pun. Bila saja tubuhku di dalam kelas sesungguhnya pikiranku melayang jauh ke taman di depan sekolah. Sebuah taman di mana di sana nanti sepulang sekolah aku akan bertemu dengan Riri.
***
Bel berbunyi tiga kali. Jam di dinding sekolah menunjuk pukul 12.30 WIB. Waktunya pulang sekolah. Murud-murid yang semula suntuk belajar sebentar lagi bakal berhamburan ke luar kelas. Di antara mereka banyak yang langsung berhambur ke halaman sekolah untuk bermain-main bola. Sebagian lagi langsung menuju ke parkiran sepeda. Mengambil sepeda masing-masing kemudian pulang.
Sebuah taman yang tidak begitu luas terletak di sisi Barat halaman sekolah. Di taman itu ditumbuhi berbagai tanaman hias, dari yang berbunga atau sekedar berdaun saja. Tanaman-tanaman itu tampak terpelihara dan tertata dengan rapinya. Semua tampak segar dan menghijau dengan beberapa bunga beraneka warna yang sedang bermekaran. Rumput-rumput di taman ini pun terlihat begitu lebat dan menghijau seperti hamparan permadani yang bila tertimpa cahanya matahari tampak begitu berkilau. Sebuah pohon mangga dengan batangnya yang besar dan berdaun rindang tampak berdiri kokoh di tengah-tengah taman itu. Meskipun matahari sedang terik-teriknya, tak pernah sinarnya jatuh langsung menyentuh tanah di bawah pohon tersebut. Sinarnya terhalang oleh kelebatan pohon mangga itu. Di bawah pohon itu terdapat beberapa bangku panjang. Bangku-bangku tersebut sering dimanfaatkan oleh teman-teman untuk sekedar duduk bersantai atau pun belajar di sela-sela istirahat atau pun menunggu jemputan.
Di bangku panjang itu kulihat Riri sedang duduk sendiri. Mungkin dia sedang menungguku sebagaimana pagi tadi telah kusampaikan keinginan bertemu sepulang sekolah ini. Kulihat dia begitu menikmati kesendirian itu dengan membuka-buka sebuah majalah sekolah yang memang tadi pagi baru saja dibagikan secara gratis kepada murid-murid. Aku tahu halaman mana dari majalah itu yang selalu dia tunggu-tunggu. Tentu saja pada sebuah halaman yang memuat rubrik puisi. Rubrik ini memuat berbagai puisi karya murid-murid termasuk puisi tulisanku pun selalu dimuat dalam rubrik tersebut.
Dari arah belakang kucoba mendekati Riri. Langkahku teramat perlahan sampai tepat berdiri di belakang Riri. Riri belum juga sadar akan kedatanganku. Jarak di antara kami kian mendekat. Tinggal sejengkal saja. Malah kurang. Aku terdiam sejenak. Kemudian dengan kedua telapak tanganku, kudekap erat kedua pelupuk matanya. Dia tersentak seolah hendak berontak. Tapi, tak hendak kulepaskan juga. Biar Riri penasaran pikirku. Kemudian Riri terdiam. Hanya sebelah tangan kirinya memegang kedua tanganku yang masih saja lekat di kedua matanya. Perlahan dia coba melepasnya dan berkata lirih padaku.
”Sudahlah Din, lepaskan! Aku tahu kok, pasti kamu yang datang!” pinta Riri dengan penuh manja. Aku pun melepasnya kemudian kuposisikan duduk di sebelah Riri.
”Sorry, Ri. udah lama menunggu?” begitu aku memulai pembicaraan siang itu.
“Belum kok, baru juga. Belum ada satu jam!”
“Oh, satu jam. Sorry..sorry...!” sergahku dengan penuh rasa bersalah karena telah membiarkan Riri menungguku begitu lama.
“Trus.. tumben-tumbenan kamu ngajak aku ke sini. Ada apaan sih Din?”
”E.. Anu Ri. Sebenarnya ada yang aku mau sampaikan ke kamu.” Aku diam sejenak.
”Apaan Din?” Riri seperti tak sabar ingin segera mengetahui apa yang ingin aku katakan.
***
Matahari di siang ini begitu terik. Seperti tegak bergantung tepat di atas kepala. Udara begitu gerah dan panas. Angin yang sesekali bertiup sepoi menggoyang dedaunan rindang tak mampu meneduhkan insan yang berteduh di bawahnya. Hatiku semakin gundah, resah dan begitu gelisah. Sejenak kami larut dalam kebekuan. Masih teringat jelas kata-kata Papa semalam, bila esok aku harus sudah berangkat ke kotaku yang baru. Kucoba hirup nafas perlahan. Udara terasa berat mengalir ke dalam paruku melalui rongga tenggorokan. Tiba-tiba tenggorokan ini berasa tersumbat. Tertahan beberapa kata yang hendak aku ucap. Kucoba menata hati, patah demi patah kata kurangkai untuk segera diucap.
“Ri..., barangkali saja...” aku terdiam
“Barangkali apa...!” sambung Riri penasaran
”Barangkali pertemuan ini adalah....!”
Tiba-tiba terdengar detring telepon genggam dari dalam tas Riri. Aku berhenti bicara. Kubiarkan Riri mengangkat teleponnya dulu. Dari pembicaraan Riri aku bisa menebak apa isi pembicaraan itu. Ya, aku tahu. Riri harus segera pulang. Ayahnya sakit keras.
Raut muka Riri yang semula tampak berseri tiba-tiba menjadi muram dan urung sekali. Tampak kesedihan begitu nyata dari kedua tatap matanya. Riri menunduk lesu dan merebahkan kepalanya di bahuku. Aku tersentuh, aku merasakan kedukaannya yang begitu mendalam. Tanpa pikir panjang kuurungkan niatku untuk mengatakan perpisahan itu kepadanya. Aku tak rela menambah kesedihan di hati Riri yang memang sedang sedih karena ayahnya yang sakit. Kurauih tangan Riri perlahan kuajak dia bangkit dan berdiri.
Sudahlah Ri, ayo kuantar kamu pulang.” pintaku dengan tulus.
”Tapi, tapi.. kamu kan belum bicara apa-apa sama Riri.” katanya.
”Sudahlah, yang terpenting ayahmu harus segera ditengok barangkali perlu segera di bawa ke dokter.”
Dengan perlahan pula kugandeng tangan Riri sambil berjalan. Parkiran belakang sekolah yang kami tuju. Di sana sepeda kami telah siap mengantar pulang. Dalam hatiku masih tersimpan beban atas penjelasanku buat Riri. Mungkin suatu saat nanti aku akan menjelaskannya dengan cara yang lain. Di serpanjang jalan lebih banyak kami berdiam diri. ”Selamat tinggal Riri. Suatu saat nanti, aku pasti kembali.” Bisikku lirih dengan harap Riri tk mendengar jerit sedih di hati ini.
(Bersambung....)




0 komentar:

Post a Comment