Saturday, 12 December 2015

Naluri dan Logika, dua hal yang nampaknya menyatu dalam kesatuan utuh kita sebagai manusia, nyatanya tak selamanya bertemu dan menyatu. Ketika sebuah permasalah datang mendera, dan ketika permasalahan itu harus mencari pemecahan, kadang kita harus mengutamakan yang satu dan mengesampingkan yang lain. Adakalanya logika memposisikan diri di atas naluri. Ketika yang lain, naluri memposisikan dirinya di atas logika. Sebuah kondisi yang berseberangan bukan? Namun, justru dari dua sisi yang berbeda ini sebenarnya ada jawaban atas permasalahan tersebut. Kalau bukan pada sisi logika jawaban itu berada, pasti jawaban itu berada di sisi naluri. Tidak pada kedua sisi. Jawaban yang demikian adalah jawaban yang murni dan hakiki atau jawaban yang sebenar-benarnya adalah benar. Sayangnya, untuk sampai kepada kondisi yang demikian adalah sesuatu yang teramat sulit untuk tidak menyebutnya hampir tidak mungkin.

Kondisi kemudian yang sering terjadi ketika sebuah jawaban sebut saja keputusan harus diambil adalah sebuah kompromi. Ya sebuah kompromi yang mencoba mencampuradukkan antara naluri dan logika. Dalam hal ini, keputusan biasanya lahir sebagai akibat dari upaya mengakurkan antara logika dan naluri. Keputusan yang demikian sering kali dianggap sebagai keputusan yang bijak. Pada akhirnya, keputusan lebih banyak lahir sebagai hasil dari kebijaksanaan dan kompromi. Bila demikian, keputusan yang bijak adalah keputusan yang didasari atas pertimbangan hati dan pikiran. Keputusan yang diambil dari sebuah kebijaksanaan untuk berkompromi. Mengapa demikan? Jawabannya mungkin sangatlah sederhana. Semuanya dikembalikan pada sebuah kepentingan. Ya, sebuah kepentingan. Dengan kata lain, keputusan diambil tentunya tak lepas dari untuk apa dan siapa keputusan itu.

Kompromi pada dasarnya adalah upaya mempertemukan sedikitnya dua buah kepentingan yang berseberangan. Dua buah kepentingan yang mulanya berseberangan mencoba dicari penyelarasannya dengan jalan ini. Sekedar penjelasan sederhana, di sebuah lembaga tentunya ada atasan dan ada juga bawahan. Atasan tentu punya kepentingan tersendiri untuk lembaganya. Demikian juga bawahan, bawahan tentunya juga punya kepentingan tersendiri atas lembaganya. Dan di antara keduanya, terdapat kepentingan yang sama secara bersama-sama. Artinya, antara atasan dan bawahan di samping memiliki kepentingan bersama untuk lembaga, mereka juga memiliki kepentingan tersendiri atas lembaga tersebut. Permasalahan yang sering muncul dalam hal pengambilan keputusan adalah ketika keputusan harus diambil dari dua sisi yang berbeda, yaitu dari sisi atasan dan sisi bawahan. Meskipun sesungguhnya keputusan itu adalah untuk kepentingan bersama, yaitu untuk lembaganya.

Sekedar contoh. Di sebuah sekolah, sebut saja sekolah A. Pada suatu ketika Kepala Sekolah harus duduk satu meja dengan Dewan Guru dalam suatu rapat dengan agenda Rapat Kenaikan Kelas. Pada awalnya rapat berjalan lancar, sampai pada saat penentuan siapa-siapa yang dinyatakan naik dan tidak naik mulailah muncul suatu masalah. Permasalahan yang muncul adalah banyaknya jumlah siswa yang harus tinggal kelas karena tidak memenuhi kriteria kenaikan kelas yang disyaratkan. Mengapa yang demikian menjadi masalah, padahal untuk menyatakan naik dan tidak sebenarnya sudah jelas-jelas ada ketentuannya. Andai saja ketentuan yang sudah ada itu diterapkan pasti tidak akan terjadi permasalahan yang begitu serius. Jawabnya adalah untuk sebuah kepentingan dari sisi masing-masing demi sekolah tersebut. Lalu bagaimana masalah tersebut biasa diselesaikan? Melalui sebuah pembicaraan yang panjang dan memakan banyak waktu juga tenaga, setelah masing-masing pihak saling memberi dan mendengar argumentasi biasanya akan ditemukan titik temu. Sebuah keputusan akhir menunjukkan jumlah siswa yang dinyatakan tidak naik kelas di sekolah tersebut tinggal beberapa gelintir saja. Suatu jumlah yang sangat jauh dari yang semestinya bukan? Nyatanya di penghujung rapat tersebut wajah-wajah yang semula serius dan tegang kini telah berubah menjadi wajah-wajah yang ceria dan memancarkan sebuah keberhasilan bersama. Ini adalah putusan yang dihasilkan oleh kebijaksanaan berkompromi. Yang ada hanyalah menang dan menang.

Terlepas dari konteks benar tidaknya, tepat tidaknya keputusan sebagai hasil dari kebijakan berkompromi. Secara pribadi saya beranggapan bahwa keputusan itu mungkin tidak akan terjadi seandainya kita senantiasa taat dan disiplin pada aturan atau kaidah-kaidah yang telah ditentukan sebelumnya. Kecenderungan untuk keluar dari aturan-aturan yang semestinya demi sebuah kepentingan tertentulah yang membuatnya demikian. Semua kembali pada apa yang bicara, naluri atau logika, atau malah kompromi dari kedua-duanya...!

***




0 komentar:

Post a Comment