Kondisi kemudian yang sering terjadi ketika
sebuah jawaban sebut saja keputusan harus diambil adalah sebuah kompromi. Ya
sebuah kompromi yang mencoba mencampuradukkan antara naluri dan logika. Dalam
hal ini, keputusan biasanya lahir sebagai akibat dari upaya mengakurkan antara
logika dan naluri. Keputusan yang demikian sering kali dianggap sebagai
keputusan yang bijak. Pada akhirnya, keputusan lebih banyak lahir sebagai hasil
dari kebijaksanaan dan kompromi. Bila demikian, keputusan yang bijak adalah
keputusan yang didasari atas pertimbangan hati dan pikiran. Keputusan yang
diambil dari sebuah kebijaksanaan untuk berkompromi. Mengapa demikan?
Jawabannya mungkin sangatlah sederhana. Semuanya dikembalikan pada sebuah
kepentingan. Ya, sebuah kepentingan. Dengan kata lain, keputusan diambil
tentunya tak lepas dari untuk apa dan siapa keputusan itu.
Kompromi pada dasarnya adalah upaya mempertemukan
sedikitnya dua buah kepentingan yang berseberangan. Dua buah kepentingan yang
mulanya berseberangan mencoba dicari penyelarasannya dengan jalan ini. Sekedar
penjelasan sederhana, di sebuah lembaga tentunya ada atasan dan ada juga
bawahan. Atasan tentu punya kepentingan tersendiri untuk lembaganya. Demikian
juga bawahan, bawahan tentunya juga punya kepentingan tersendiri atas
lembaganya. Dan di antara keduanya, terdapat kepentingan yang sama secara
bersama-sama. Artinya, antara atasan dan bawahan di samping memiliki
kepentingan bersama untuk lembaga, mereka juga memiliki kepentingan tersendiri
atas lembaga tersebut. Permasalahan yang sering muncul dalam hal pengambilan
keputusan adalah ketika keputusan harus diambil dari dua sisi yang berbeda,
yaitu dari sisi atasan dan sisi bawahan. Meskipun sesungguhnya keputusan itu
adalah untuk kepentingan bersama, yaitu untuk lembaganya.
Sekedar contoh. Di sebuah sekolah, sebut saja
sekolah A. Pada suatu ketika Kepala Sekolah harus duduk satu meja dengan Dewan
Guru dalam suatu rapat dengan agenda Rapat Kenaikan Kelas. Pada awalnya rapat
berjalan lancar, sampai pada saat penentuan siapa-siapa yang dinyatakan naik
dan tidak naik mulailah muncul suatu masalah. Permasalahan yang muncul adalah banyaknya
jumlah siswa yang harus tinggal kelas karena tidak memenuhi kriteria kenaikan
kelas yang disyaratkan. Mengapa yang demikian menjadi masalah, padahal untuk
menyatakan naik dan tidak sebenarnya sudah jelas-jelas ada ketentuannya. Andai
saja ketentuan yang sudah ada itu diterapkan pasti tidak akan terjadi
permasalahan yang begitu serius. Jawabnya adalah untuk sebuah kepentingan dari
sisi masing-masing demi sekolah tersebut. Lalu bagaimana masalah tersebut biasa
diselesaikan? Melalui sebuah pembicaraan yang panjang dan memakan banyak waktu
juga tenaga, setelah masing-masing pihak saling memberi dan mendengar
argumentasi biasanya akan ditemukan titik temu. Sebuah keputusan akhir
menunjukkan jumlah siswa yang dinyatakan tidak naik kelas di sekolah tersebut
tinggal beberapa gelintir saja. Suatu jumlah yang sangat jauh dari yang
semestinya bukan? Nyatanya di penghujung rapat tersebut wajah-wajah yang semula
serius dan tegang kini telah berubah menjadi wajah-wajah yang ceria dan
memancarkan sebuah keberhasilan bersama. Ini adalah putusan yang dihasilkan
oleh kebijaksanaan berkompromi. Yang ada hanyalah menang dan menang.
Terlepas dari konteks benar tidaknya, tepat
tidaknya keputusan sebagai hasil dari kebijakan berkompromi. Secara pribadi
saya beranggapan bahwa keputusan itu mungkin tidak akan terjadi seandainya kita
senantiasa taat dan disiplin pada aturan atau kaidah-kaidah yang telah
ditentukan sebelumnya. Kecenderungan untuk keluar dari aturan-aturan yang
semestinya demi sebuah kepentingan tertentulah yang membuatnya demikian. Semua
kembali pada apa yang bicara, naluri atau logika, atau malah kompromi dari
kedua-duanya...!
***
0 komentar:
Post a Comment