Thursday, 10 December 2015

Materi kursus hari ini, masih melanjutkan pelajaran yang lalu. Biasa, di depan sana sang instruktur mulai menjabarkan tip-tip atau tepatnya sebut saja trik. Ya, katanya sih trik untuk supaya kita cepat mahir berbahasa Inggris. Dikatakan, akan lebih baik jika di samping belajar clasical, mungkin akan lebih cepat mahir kalau belajar lebih ke arah praktik langsung. Maksudnya, mulailah berkomunikasi dengan bahasa Inggris, meski kadang-kadang bercampur dengan bahasa Indonesia. Inggris-Indonesia barang kali.

Suara-suara mulai terdengar dari head shet computer di depanku yang baru saja aku pasang di kepalaku. Suara-suara itu benar-benar asing di telingaku. Sungguh tidak jelas artikulasi dan intonasinya. Menurutku sama sekali tak karuan. Tak sedap untuk didengar telinga. Sudah seperti lagu metal saja. Jauh dari nada dan irama yang biasa aku dengarkan di rumah. Tapi tidak buat sang instruktur itu, itu adalah contoh dialog atau percakapan dari orang asing, pemakai bahasa asli, native speaker katanya. Dan atas suara-suara itu, aku harus menirukannya. Sungguh suatu pekerjaan berat bagiku. Bagaimana tidak berat? Sebagai orang Jawa- jawa medhok- yang dari cilik sampai gede begini biasa berbicara dengan tempo yang pelan, sekarang harus mengikuti dialog yang menggunakan tempo tinggi, tentulah suatu pekerjaan yang berat. Lidah yang terpola ngomong klemah-klemeh, alon-alon disulap cepat untuk berbicara cepat seperti laju kereta api. Duh, ampun deh. Kesleo, kecetit bisa jadi keluhku.
“What is you name?”
“My name is Andi”
“Where do you live?”
“I live in Kebon Jeruk”
“How are you?”
“Fine, and you?”
Begitu kira-kira dialog kudengar lewat head shet. Dialog itu diputar terus-terusan, diulang-ulang, sampai terngiang-ngian di telingaku. Mulutku terasa kilu dan semakin kilu menirukannya. Tak satu pun dialog yang dapat aku tirukan dengan benar.

Di bagian depan sana, kulihat beberapa teman tampak begitu antusias mengikuti pelajaran. Mereka berpasang-pasangan, menyusun dialog kemudian mencoba berkomunikasi dengan bahasa asing tersebut. Di telingaku lafa-lafal mereka menjadi sangat asing bahkan lebih asing dari bahasa asing itu sendiri. Disisipi gelak dan canda tawa mereka tetap berlatih dan terus berlatih. Tampak sang instruktur tersenyum simpul setengah menahan ketawa melihat teman-teman itu berceloteh tak karuan dalam bahasa yang semakin tak aku mengerti.

Kemudian tepat di sebelah kiri dari posisi tempat dudukku, kulihat seorang teman begitu asyik bermain soliter. Kartu-kartu disusun kemudian diberantakkan lagi. Disusun dan diberantakkan lagi. Mungkin ia bosan, atau bisa jadi sudah fasih dengan bahasa asing itu? Bisa jadi begitu, pikirku. Tapi, itu bukan urusanku, aku tak perlu tahu. Yang aku tahu hanyalah, wajah teman yang satu itu adalah wajah yang tak asing lagi buatku. Wajah yang tampak berseri di antara banyak wajah-wajah semu kali ini.

Alunan lagu dengan lirik bahasa asing terdengar di akhir pelajaran kali ini. Seiring langkah kakiku yang semakin menjauh dari ruangan itu, lagu itu kian lama kian sayup di telingaku. Sejenak kuterlepas dari keterasingan ini. Keterasingan atas sebuah ambisi pribadi dari seorang pribadi yang sesungguhnya masih teramatlah asing bagiku
***



 

0 komentar:

Post a Comment