Suara-suara
mulai terdengar dari head shet computer di depanku yang baru saja aku pasang di
kepalaku. Suara-suara itu benar-benar asing di telingaku. Sungguh tidak jelas
artikulasi dan intonasinya. Menurutku sama sekali tak karuan. Tak sedap untuk
didengar telinga. Sudah seperti lagu metal saja. Jauh dari nada dan irama yang
biasa aku dengarkan di rumah. Tapi tidak buat sang instruktur itu, itu adalah
contoh dialog atau percakapan dari orang asing, pemakai bahasa asli, native
speaker katanya. Dan atas suara-suara itu, aku harus menirukannya. Sungguh
suatu pekerjaan berat bagiku. Bagaimana tidak berat? Sebagai orang Jawa- jawa
medhok- yang dari cilik sampai gede begini biasa berbicara dengan tempo yang
pelan, sekarang harus mengikuti dialog yang menggunakan tempo tinggi, tentulah
suatu pekerjaan yang berat. Lidah yang terpola ngomong klemah-klemeh, alon-alon
disulap cepat untuk berbicara cepat seperti laju kereta api. Duh, ampun deh.
Kesleo, kecetit bisa jadi keluhku.
“What
is you name?”
“My
name is Andi”
“Where
do you live?”
“I
live in Kebon Jeruk”
“How
are you?”
“Fine,
and you?”
Begitu
kira-kira dialog kudengar lewat head shet. Dialog itu diputar terus-terusan,
diulang-ulang, sampai terngiang-ngian di telingaku. Mulutku terasa kilu dan
semakin kilu menirukannya. Tak satu pun dialog yang dapat aku tirukan dengan
benar.
Di bagian depan sana, kulihat beberapa teman tampak begitu antusias mengikuti pelajaran. Mereka berpasang-pasangan, menyusun dialog kemudian mencoba berkomunikasi dengan bahasa asing tersebut. Di telingaku lafa-lafal mereka menjadi sangat asing bahkan lebih asing dari bahasa asing itu sendiri. Disisipi gelak dan canda tawa mereka tetap berlatih dan terus berlatih. Tampak sang instruktur tersenyum simpul setengah menahan ketawa melihat teman-teman itu berceloteh tak karuan dalam bahasa yang semakin tak aku mengerti.
Kemudian
tepat di sebelah kiri dari posisi tempat dudukku, kulihat seorang teman begitu
asyik bermain soliter. Kartu-kartu disusun kemudian diberantakkan lagi. Disusun
dan diberantakkan lagi. Mungkin ia bosan, atau bisa jadi sudah fasih dengan
bahasa asing itu? Bisa jadi begitu, pikirku. Tapi, itu bukan urusanku, aku tak
perlu tahu. Yang aku tahu hanyalah, wajah teman yang satu itu adalah wajah yang
tak asing lagi buatku. Wajah yang tampak berseri di antara banyak wajah-wajah
semu kali ini.
Alunan lagu dengan lirik bahasa asing terdengar di akhir pelajaran kali ini. Seiring langkah kakiku yang semakin menjauh dari ruangan itu, lagu itu kian lama kian sayup di telingaku. Sejenak kuterlepas dari keterasingan ini. Keterasingan atas sebuah ambisi pribadi dari seorang pribadi yang sesungguhnya masih teramatlah asing bagiku
Alunan lagu dengan lirik bahasa asing terdengar di akhir pelajaran kali ini. Seiring langkah kakiku yang semakin menjauh dari ruangan itu, lagu itu kian lama kian sayup di telingaku. Sejenak kuterlepas dari keterasingan ini. Keterasingan atas sebuah ambisi pribadi dari seorang pribadi yang sesungguhnya masih teramatlah asing bagiku
***
0 komentar:
Post a Comment