Gubuk tua itu berdinding kayu dan beratapkan daun-daun ilalang yang sudah tampak usang. Di beberapa bagian dinding dan atapnya terlihat sudah ada yang bolong-bolong. Lewat celah-celah itu, bila hari sedang turun hujan, air mengalir masuk ke dalam gubuk tepat di atas balai-balai usang. Lewat celah-celah di dinding angin yang bertiup pun seperti leluasa masuk menebarkan hawa dingin ke seisi gubuk. Bila malam sedang-sedangnya bulan purnama, lewat celah-celah itu pula sinar bulan memancar masuk tepat di wajah Pak Tarjo jika sedang terbaring di atas balai-balai usang itu. Balai-balai usang itulah tempat Pak Tarjo melewatkan malam-malamnya setelah seharian bekerja pada sang majikan. Tiga bulan lalu sepeninggal istri dan anaknya, pernah Tarjo diminta tinggal menetap di rumah sang majikan. Tapi Tarjo menolak. Tarjo memilih tinggal di gubuknya sendiri. Di gubuk itu Tarjo merasa istri dan kedua anaknya ada dan juga tiada. Di gubuk itu Tarjo menemukan kebahagiaan. Di gubuk itu pula kebahagiaan Tarjo berakhir. Kini kebahagian Tarjo bergantikan kedukaan yang dalam. Kedukaan akan kehilangan orang-orang yang dicintainya.
Malam kian larut. Hanya suara burung malam masih terdengar di kegelapan malam. Semilir angin menusuk-nusuk kulit. Mata Tarjo tak juga terpejam. Terpancar kedukaan yang dalam pada sinar kedua bola matanya. Sesekali air mata menetes deras dari kedua pelupuk matanya yang kian sembab dan lembab itu. Kedua tangan mengeplak-ngeplak kepala dan berkali-kali menarik-narik rambutnya. Seperti hendak memecah-mecah batok kepalanya. Tubuhnya tersandar pada dinding kayu di sudut gubuk itu, dengan hanya diterangi cahaya rembulan yang sinarnya tampak redup menyusup di celah-celah atap. Siang yang telah merangkak menuju malam tak ia hiraukan lagi. Tak sadar ia telah setengah hari duduk tersandar di tempat itu. Kali ini hati dan jiwa Tarjo benar-benar terpukul dan terbelenggu oleh kedukaan yang sangat dalam. Sebuah petaka maut yang dialaminya tadi pagi begitu mengguncangkan hati dan jiwanya. Kini ia larut dalam penyesalan yang tiada hentinya.
Pagi tadi, pada suatu tempat yang letaknya tak jauh dari jalan menikung yang melingkar bukit, sebuah mobil kijang biru melaju dari sebuah bangunan mewah di sisi barat bukit itu. Lajunya begitu cepat seperti hendak berburu waktu. Duduk di belakang kemudi Tarjo. Di jog bagian belakang Tirto sang majikannya duduk berdampingan dengan istrinya. Pagi itu sang majikan minta di antar ke salah satu patner bisnisnya untuk suatu urusan bisnis. Tarjo terlambat datang, Tarjo mendapat marah dari sang majikan. Itulah kali pertama Tarjo terkena marah setelah 10 tahun mengabdi majikannya. Takut sang majikan menjadi-jadi marahnya, Tarjo kian cepat memacu mobilnya. Tepat pada tikungan kedua di sisi bukit itu, Tarjo kehilangan kendali kemudi. Mobilnya oleng dan terperosok ke dalam jurang yang cukup terjal. Mobilnya hancur. Kedua majikannya tewas seketika dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Beruntung Tarjo terlempar ke luar dari kursi kemudi lewat kaca depan mobil yang pecah berantakan. Tarjo jatuh ke tanah yang berumput tebal dan hanya pingsan. Seorang pencari kayu bakar menolongnya dan kemudian mengantarnya pulang ke gubuk Tarjo di kaki bukit itu. Kini kembali Tarjo kehilangan dua orang dekatnya, setelah tiga bulan lalu anak dan istrinya lebih dulu mendahuluinya pergi.
Setengah mata Tarjo terpejam. Satu persatu peristiwa-peristiwa pilu datang silih berganti di pelupuk mata Tarjo. Tarjo kian memejam hendak mengusir bayang-bayang itu. Tapi sia-sia. Kedua telapak tangan dikatupkannya rapat-rapat pada kedua matanya. Tapi bayang-bayang itu seperti enggan berlalu. Hati Tarjo kian kecut. Nyali Tarjo menjadi ciut. Tarjo putus asa. Dalam keputusasaannya, tiba-tiba Tarjo seperti melihat sosok perempuan setengah baya dengan gaun putih bersih berdiri tepat di depannya. Rambutnya dibiarkan panjang mengurai sampai menyentuh pinggul. Selembar selendang yang juga putih tampak melekat di bahu kirinya. Di bibirnya tersungging senyum yang manis sekali. Di mata Tarjo seolah istrinya hadir kembali. Tarjo menjadi tak berdaya ketika tiba-tiba perempuan itu mengulurkan selendang putih di tangannya kemudian membimbing Tarjo bangkit berdiri menuju belakang gubuk tua itu. Langkah Tarjo terhenti pada sebuah pohon mangga yang tidaklah terlalu besar batangnya. Malam itu di bawah pohon mangga itu dilihat oleh Tarjo istrinya cantik sekali. Kerinduan Tarjo yang begitu dalam membuat Tarjo tak kuasa, ketika perempuan itu membelitkan selendang putih itu di leher Tarjo kemudian mengaitkannya pada sebuah dahan. Tarjo merasa seperti sedang berayun-ayun bersama sang kekasih hati. Di keheningan malam itu, di sela-sela kicauan burung malam hanya desah nafas Tarjo yang terdengar jelas. Kemudian pelan perlahan desah-desah nafas Tarjo menghilang di keheningan malam yang kelam itu.
Esok paginya warga di sekitar bukit itu gempar. Seorang tukang pencari kayu bakar yang adalah tetangga Tarjo menemukan tubuh Tarjo tergantung di pohon mangga dengan kondisi tidak bernyawa lagi. Hanya sebuah senyum beku di bibir Tarjo yang tersisa. Barang kali di atas sana Tarjo sedang melayang-layang di awan mencari keabadian.
***
0 komentar:
Post a Comment