Temanku pernah
bilang, cinta itu buta. Butanya membutakan semua mata. Mata si muda, mata si
tua menjadi buta karenanya. Katanya pula, dengan cinta itulah orang mau
melakukan apa saja demi membahagiakan orang yang dicintainya. Panas-hujan,
siang-malam, bersih-jorok, mulia-hina, bukanlah suatu kriteria untuk orang
melakukan atau tidak melakukan sesuatu bagi yang dicintainya. Bagi yang punya
cinta, barangkali mereka tak akan merasa jijik, kotor, ataupun bau, ketika
harus mengorek-ngorek selokan bahkan comberan sekalipun. Suatu pekerjaan yang
mungkin tak akan dilakukan oleh mereka yang tak punya cinta. Cinta memang buta,
butanya membutakan mata di kepala tapi bukan mata hati. Mata di kepala bisa
buta, tapi mata hati tetap bicara: Ia harus bahagia..! Benarkah itu? Maka
biarkan malam ini aku berkaca pada Udin si tukang sapu jalan itu.
Lihatlah Udin,
Si tukang sapu
jalan itu.
Sedang dia
menyapu.
Dan sambil dia
menyapu,
matanya
berkeliling ke kanan dan kiri.
Melihat
mencari-cari apa yang bisa dicari,
pada berjajar
tong-tong besar di sepanjang jalan itu.
Kepalanya
menunduk,
tangannya
mengaduk-aduk,
mengais-ngais
sampah,
sampah-sampah
yang memberinya berkah.
Botol aqua
bekas, kaleng sprite, coca cola, poccari dan sejenisnya.
Dan bila
beruntung, dari tong-tong sampah itu,
Udin menemukan
beberapa besi bekas spare part,
dari sepeda
motor, bajaj dan juga mobil.
Benda-benda
bekas itu dipungutnya,
dimasukkan ke
dalam kantong plastik yang bekas juga.
Menjelang siang,
Udin selesai
menunaikan tugas rutinnya.
Udin pun pulang dengan
memanggul barang-barang bekas perolehannya.
Barang-barang
itu dikumpulkannya,
di samping
gubugnya dengan diatapi sehelai terpal usang.
Jangan dikira
Udin sebatang
kara.
Jangan disangka
Udin tak punya
keluarga.
Siapa kira,
siapa juga
sangka,
Udin yang tukang
sapu itu
adalah pegawai
juga.
Udin yang tukang
sapu itu
adalah pegawai
dengan penghasilan tetap.
Tiap bulan ia
terima gaji tanda balas jasanya.
Gajinya tidak
seberapa
sesuai
golongannya yang hanya rendahan saja.
Dari gaji itu,
Udin menghidupi istri
dan dua anaknya.
Meski cukup
sampai di tengah bulan cuma.
Udin tidaklah
putus asa.
Lalu dengan apa
setengah bulan berikutnya?
Bertanyalah pada
gelas-gelas bekas aqua itu!
Bertanyalah juga
pada kaleng-kaleng bekas itu!
Tanyalah juga
pada besi-besi tua itu!
Padanya mungkin
ada jawabnya.
Di samping rumah
diatapi selembar terpal
Dikumpulkan
satu-satu barang-barang bekas itu
Dari sedikit
menjadi membukit
Hingga di suatu
waktu
Sekali dalam
satu bulan
Plastik, botol,
besi yang semuanya bekas itu
Dikilokan dan
ditimbang
Dari penimbangan
itu Udin beroleh uang
Botol aqua kini
menjadi uang
Kaleng-kaleng
kini menjadi uang
Besi bekas kini
menjadi uang
Dengan uang itu
Udin menghidupi
istri dan anaknya
di tengah bulan
tersisa.
Bila ada terisa
uang,
dikumpulkan uang
itu.
Bila dipandang
cukup,
dibelikannya
uang itu perhiasan.
Dari cincin,
gelang, kalung, giwang sampai ke anting-anting.
Tak luput Yuli
anak semata wayangnya pun dibelikannya juga.
Udin memang tak
kaya
Tak banyak harta
Meski Udin hidup
sederhana
Tapi keluarganya
bahagia
Di gubuknya ada
cinta
Cinta Udin
kepada anak dan juga istrinya
Demi cinta itu
Demi anak dan
istri
Udin tak
malu-malu lagi
Udin tak
canggung lagi
Udin tak risih
lagi
Memungut
barang-barang bekas itu
Di benaknya cuma
satu
Di hatinya cuma
satu
Di rasanya cuma
satu
Anak dan
istrinya bahagia
Walau hidup apa
adanya
***
0 komentar:
Post a Comment