Sunday, 6 December 2015

Di sebuah desa di lereng perbukitan, hiduplah dua orang petani yang berkebun kopi. Keduanya tergolong berhasil dalam usahanya. Kehidupann ekonominya di atas rata-rata penduduk setempat. Tersebutlah petani kopi tersebut bernama Tarjo dan petani yang kedua bernama Manto. Meskipun secara ekonomi keduanya tidak berbeda, namun di mata penduduk setempat mereka mempunyai kesan yang jauh berbeda. Oleh penduduk setempat, Tarjo dikenal sebagai orang yang ramah, rajin dan dermawan. Setiap kali habis menuai hasil panenan kopinya, Tarjo selalu menyisihkan sebagian keuntungannya untuk dibelikan berbagai macam sembako dan kemudian dibagi-bagikan kepada warga di tempat itu. Tak jarang pula Tarjo terlibat dalam kegiatan amal dan bakti sosial di daerahnya. Tercatat namanya sebagai pengurus Masjid setempat. Lain halnya Tarjo, lain pula dengan Manto. Oleh penduduk di sekitarnya, Manto dikenal sebagai petani yang kikir, pelit dan tidak bermasyarakat. Tak banyak warga sekitarnya yang mengenal dekat dengan Manto. Manto tak pernah terlihat terlibat dalam semua jenis kegiatan sosial di tempatnya. Dia tak pernah ikut bergotong-royong, dan aktivitas sosial lainnya. Hampir semua hidupnya dicurahkan untuk kepentingan keluarga dan usahanya.

Hingga pada suatu ketika, di sore hari di pertengahan bulan Juli tahun ini. Pada bulan Juli ini biji-biji kopi yang di pohon itu, yang semula masih hijau muda mulai menguning menjelang tua. Tak lama lagi si empunya pohon bakal memanennya. Jika biji-biji kopi mulai menguning seperti ini, biasanya menarik perhatian mata musang atau luwak yang memang kesukaannya makan biji kopi. Maka tak heran jika sedang musim-musim kopi seperti ini, sebagian besar waktu Manto dihabiskannya di kebun untuk berjaga-jaga. Manto selalu menjaga pohon-pohon kopinya dari jangkauan Luwak. Tak pernah dia biarkan ada seekor Luwak pun yang akan mengambil biji kopinya, meski hanya sebutir saja. Pernah suatu ketika, seekor Luwak mencoba menerobos pagar kebun Manto, Manto tak membiarkan itu, Manto menguber Luwak tersebut. Dengan sebilah golok di tangannya Manto menebas leher sang Luwak, dan Luwak pun mati seketika. Begitu dia lakukan itu setiap kali Luwak mencoba mendekat, menerobos masuk ke kebun Manto. Entah sudah berapa ekor Luwak melayang di tangannya di musim kopi tahun ini. Sore itu, ketika Manto sedang berjaga di kebun kopinya. Manto melihat seekor Luwak sedang asyik bertengger pada sehelai batang di pohon kopi milik Tarjo. Luwak itu begitu menikmati biji demi biji kopi yang memang sudah ranum. Melihat hal itu, Manto bermaksud memberitahukan hal ini kepada Tarjo. Manto pun berteriak-teriak memanggil Tarjo. Teriakannya kencang sekali. Sampai terdengar di telinga Tarjo. Semula Tarjo tak menghiraukan teriakan itu. Hanya karena Tarjo berasa risi dengan warga yang lain saja, akhirnya Tarjo pun menyempatkan diri menuju ke tempat asal teriakan tersebut.

Dan bertanyalah Tarjo. "Ada apa Pak Manto, saya dengar Pak Manto memanggil-manggil saya?" tanya Pak Tarjo dengan sopannya. "Itu...tu..itu, Pak Tarjo lihat sendiri. Di pohon itu, ada seeokor Luwak yang sedari tadi memakan biji-biji kopi di kebun Bapak...!" jelas Manto seraya tangannya menunjuk ke arah pohon di mana Luwak itu berada. "Apakah Bapak tidak ingin mengusir binatang serakah itu...!" lanjut Manto. "Tidakkah Bapak akan dirugikan dengan ulah Luwak itu. Lihatlah Pak, Bapak bisa lihat sendiri di kebun saya. Biji-biji kopi itu masih utuh, tak satu pun tercuri oleh Luwak. Sebab saya tak pernah membiarkan seekor Luwak pun mencurinya. Siang dan malam saya menjaga kebun saya." Manto terdiam sejenak, menarik nafas panjang, kemudian lanjutnya, " Bukankah dari biji-biji kopi itu kita hidup..!" tegas Pak Manto.

Mendengar penjelasan Pak Manto, Pak Tarjo hanya bersungut-sungut saja. Dalam hati mungkin dia berfikir akan seseorang yang berdiri di depan matanya ini. Selama ini Pak Tarjo memang hanya mendengar dari pergunjingan orang tentang tabiat Pak Manto. Tapi kali ini benar-benar ia melihat dan mendengar sendiri tabiat itu dari diri Pak Manto. Ia menjadi sangat tidak percaya dan merasa sangat prihatin. Diam-diam tergeraklah hatinya untuk memberikan sesuatu yang mungkin baik bagi Pak Manto, sesuatu yang barang kali bisa menumbuhkan kesadaran diri bagi Pak Manto. Maka mendengar penuturan Pak Manto tentang Luwak di pohon kopi di kebun Pak Tarjo, berkatalah Pak Tarjo. "Pak Manto, aku tak risaukan Luwak itu memakan kopi-kopiku." Pak Manto membuka pembicaraannya. "Luwak-Luwak itu hanya menyukai kulit kopi yang sudah merah dan matang itu. Luwak tak suka dengan biji kopinya. Meskipun ia menelan biji kopi itu, tapi ia akan mengeluarkan kembali biji kopi itu, bersamaan dengan waktu ia buang kotoran." Pak Tarjo diam sejenak.

Sementara Pak Manto membelalakkan mata seolah tidak percaya dengan omongan Pak Tarjo. "Biji-biji kopi yang dibuang oleh Luwak itulah yang sebenarnya kita butuhkan, bukan biji-biji kopi yang masih menggantung di pohon yang kelihatan merah dan ranum itu. Kopi-kopi yang sepeerti itu biarlah menjadi jatah sang Luwak." Pak Manto tampak bersungut-sungut. Sementara Pak Tarjo masih terus berbicara dengan nada yang semakin datar. "Jadi, Pak Manto, buat apa kita risaukan Luwak di atas pohon kopi kita. Bukankah mereka mengambil apa yang menjadi bagian mereka. Dan mereka akan juga mengembalikan apa yang menjadi bagian kita." Pak Tarjo diam sebentar.

"Maka menurut hemat saya, sebaiknya mari kita pulang ke rumah masing-masing. Hari sudah merangangkak petang. Saya yakin, di rumah kita masing-masing anak dan istri kita lebih memerlukan perhatian kita. Daripada pohon-pohon kopi di kebun kita." Selesai berbicara demikian, Pak Tarjo menjabat tangan Pak Manto dan kemudian berlalu dari hadapan Pak Manto.

Hari di ujung rembang, matahari tak tampak lagi. Selimut malam mulai membentang di angkasa yang luas. Langkah Manto perlahan menjauh dari kebun kopi di lereng bukit itu. Ketiga anak dan istrinya telah sedari siang menunggu dia kembali.

***


0 komentar:

Post a Comment