Sudah
lebih dua belas tahun saya menyandang predikat Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
di sebuah sekolah swasta di ibu kota. Sejak menyandang predikat itu pula,
sebenarnya saya sudah punya impian untuk memanfaatkan sisa waktu di sela-sela
kesibukan saya mengajar untuk saya gunakan menulis. Harapan saya waktu itu
tidaklah muluk-muluk. Sekedar bisa nulis puisi sampai ke cerpen sudahlah cukup.
Sebuah impian yang biasa-biasa saja bukan? Impian yang sudah membumi,
lebih-lebih untuk orang-orang yang memang berlatar belakang akademis di bidang
sastra barangkali. Itulah idealis saya waktu itu. Namun, nyatanya tidaklah
mudah buat saya untuk mewujudkan sebuah impian yang seperti itu. Tidak
sebagaimana membalikkan kedua telapak tangan ternyata.
Faktanya
memang, sejak saat itu saya pernah mencoba menulis. Sudah berapa banyak waktu
saya habiskan untuk berlama-lama duduk buat sekedar memulai menulis. Tak
terhitung lagi, sudah berapa lembar kertas habis untuk menuangkan mimpi-mimpi
saya itu. Tapi hasilnya apa “NIHIL” tak satu pun tulisan dapat saya hasilkan.
Kertas-kertas bekas coretan itu pun berakhir di tempat sampah atau kalau tidak
menjadi barang kiloan belaka. Saya pun mengalami kebuntuan, kemudian dengan
mudahnya saya mengatakan tak ada waktu, tak ada ide, dan saya vonis diri saya
tidak ada bakat menulis. Lalu, selama dua belas tahun itu juga impian itu
seperti terkubur dalam-dalam. Pasrah begitu saja.
Ternyata
tidaklah selamanya saya dapat mengubur mimpi-mimpi saya itu. Saya terbentur
oleh tanggung jawab saya. Tanggung jawab moral sebagai pendidik. Terlebih-lebih
ketika saya sedang mengajar di kelas, tak jarang saya harus memberi contoh
kepada anak didik saya. Mau tidak mau saya harus mau akhirnya. Suatu kondisi
yang tak bisa saya mengelak dari padanya. Ujung-ujungnya, mimpi itu pun seperti
menggelitik niatan saya untuk menjadikannya sebuah kenyataan. Perlahan niatan
itu muncul kembali dan membimbing saya untuk sedikit demi sedikit keluar dari
jurang kebuntuan itu.
Beruntung,
di awal tahun ini, tanpa sengaja saya dipertemukan dengan seorang teman lama
saya melalui jejaring sosial Facebook. Meski hanya di dunia maya saya
berkomunikasi, melalui teman saya inilah saya mendapatkan penguatan sekaligus
semangat untuk menulis. Awalnya, di FB teman saya ini, saya melihat beberapa
tulisannya yang sebagian besar berupa cerpen. Dari hari ke hari kian banyak
saja cerpen-cerpen baru yang diposting di Kompasiana. Kebetulan teman saya ini
juga seorang Kompasianer. Saya berpikir, produktif sekali orang ini? Lewat
sebuah komentar di sebuah posting cerpennya, saya menanyakan hal ini. Tentang
kiat-kiat dia dalam menulis sampai bisa seproduktif itu. Lantas, bagaimana
penjelasannya?
Sungguh
suatu penjelasan yang cukup membuat saya tercengang. Penjelasan yang jauh dari
apa yang saya bayangkan sebelumnya. Semula, saya berpandangan bahwa untuk
menulis saya haruslah menyediakan waktu secara khusus. Kemudian dengan waktu
khusus tersebut, saya harus memulai berfikir dan mencari-cari apa yang akan
saya tulis. Selanjutnya, ketika sebuah ide sudah saya temukan, saya harus
corat-coret terlebih dulu pada sebuah lembar kertas sebagai draf awal untuk
kemudian diketik computer, jika memang menurut saya sudah siap menjadi sebuah
karya jadi. Atas penjelasan teman saya, saya sadar bahwa ternyata pandangan
saya yang seperti ini salah.
Rupanya,
pandangan saya yang salah itulah menjadi penyebab utama saya selama dua belas
tahun ini selalu menemukan kebuntuan’cunthel’ setiap kali ingin memulai
menulis. Sebab, menurut teman saya itu, menulis tidak perlu persiapan yang
sedemikian itu. Menurut teman saya, yang perlu dilakukan ketika hendak menulis
adalah menulis. Ya, menulis, sekali lagi menulis. Tak perlu berlama berfikir
tentang apa yang mau ditulis. Tak perlu itu mencoret-coret membuat draf,
buang-buang waktu saja. Itu pemborosan namanya, pemborosan waktu, tenaga dan
biaya tentu saja. Ingat, ini bukan berarti menulis tanpa dasar tentunya. Jangan
sampai Anda salah paham dalam hal ini.
Tergerak
oleh penjelasan teman tersebut, saya pun merubah pola pikir saya. Saya coba
ikuti penjelasan temanku itu. Suatu waktu, ketika keinginan menulis itu datang,
saya tak menyia-nyiakannya. Saya mulai melakukan sesuatu yang belum pernah saya
lakukan sebelumnya. Segera saya duduk di depan computer, dengan computer
tersebut saya mulai menuliskan apa saja yang muncul di pikiran saya saat itu.
Kalimat demi kalimat saya biarkan mengalir begitu saja tanpa ada yang harus
saya delete. Itulah kali pertama impian saya menulis cerita bisa menjadi
kenyataan. Saya tak peduli, apakah itu tulisan menarik atau tidak. Yang saya
rasakan ketika itu hanyalah kesenangan batin semata. Sejak saat itu, tanpa saya
sadari saya mulai kecanduan untuk menulis. Menulis apa saja yang mungkin bisa
saya tulis. Meski sampai sekarang tulisan-tulisan itu baru sebatas untuk
konsumsi pribadi dan hanya saya simpan di dalam file di laci meja saya. Jujur
saja, saya sendiri tak yakin tulisan-tulisan itu layak atau tidak, menarik atau
tidak, untuk dibaca orang banyak. Sekali lagi saya tak pedulikan itu, itu bukan
target utama saya. Kalau saja saya tidak mengikuti saran teman tersebut,
mungkin satu tulisan pun belum bisa saya buat sampai detik ini.
Masih tetap merujuk pada saran teman saya tersebut, saya disadarkan, bahwa untuk menulis sesungguhnya ketrampilan atau keahlian berbahasa bukanlah hal pertama yang mutlak harus kita punyai. Lebih penting dari itu adalah adanya niatan yang kuat dari dalam diri kita sendiri. Saya yakin niatan yang kuat itu pada akhirnya akan memacu kita untuk berfikir inovatif yang berarti selalu berusaha untuk menggali hal-hal baru sebagai sumber ide penulisan. Sekaligus berfikir kreatif yang berarti selalu berfikir untuk mengolah dan mengembangkan hal-hal baru yang kita temukan itu sehingga menjadi sebuah tulisan yang menarik.
Berpijak dari keyakinan inilah saya mencoba menulis. Tentu saja, membekali diri dengan pengetahuan dan pendapat orang lain yang lebih tahu persis tentang teori-teori menulis, yang bisa didapat dari beragam sumber adalah sesuatu yang tidak dapat saya tinggalkan.
Masih tetap merujuk pada saran teman saya tersebut, saya disadarkan, bahwa untuk menulis sesungguhnya ketrampilan atau keahlian berbahasa bukanlah hal pertama yang mutlak harus kita punyai. Lebih penting dari itu adalah adanya niatan yang kuat dari dalam diri kita sendiri. Saya yakin niatan yang kuat itu pada akhirnya akan memacu kita untuk berfikir inovatif yang berarti selalu berusaha untuk menggali hal-hal baru sebagai sumber ide penulisan. Sekaligus berfikir kreatif yang berarti selalu berfikir untuk mengolah dan mengembangkan hal-hal baru yang kita temukan itu sehingga menjadi sebuah tulisan yang menarik.
Berpijak dari keyakinan inilah saya mencoba menulis. Tentu saja, membekali diri dengan pengetahuan dan pendapat orang lain yang lebih tahu persis tentang teori-teori menulis, yang bisa didapat dari beragam sumber adalah sesuatu yang tidak dapat saya tinggalkan.
***
0 komentar:
Post a Comment