Tepat
di depan meja piket dia berdiri. Kucoba sapa dengan ramah dan penuh sopan.
"Selamat siang, Bu! Ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat
siang, Pak! Bisa saya bertemu dengan Pak Anto, wali kelas 8F?" dia
bertanya dengan suaranya yang lemah.
"Oh,
bisa-bisa Bu, silakan dan sayalah Pak Anto." seraya kuulurkan tanganku
sambil memperkenalkan diri.
"Ibu
ini siapa ya?"
"Perkenalkan
Pak, nama saya Lisa, orang tua dari Lenni kelas 8F." dia mulai berbicara
secara perlahan dan tampak begitu sopan.
"Pak,
saya bingung dengan perkembangan anak saya akhir-akhir ini. Di rumah jarang
sekali belajar. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk bermain-main di depan
komputer." Ibu itu mulai membuka pembicaraannya.
"Pernah
suatu kali saya lihat hasil ulangan hariannya, dan sungguh mengecewakan sekali
hasilnya. Ulangan-ulangannya semuanya hampir tidak ada yang beroleh di atas
KKM, dan harus remedial, Pak," suara ibu itu semakin tinggi dengan nada
yang penuh kekecewaan.
"Dan
Pak..! Yang membuat saya semakin bingung sekaligus kesal, setiap kali saya saya
nasihati, anak saya ini malah berontak dan melawan. Terus terang Pak, saya
selaku orang tuanya menjadi bingung." Ibu itu kemudian terdiam, seperti
hendak menunggu tanggapan dariku.
"Maaf ya, Bu..! Boleh saya bertanya?" aku mulai membuka suara.
"Silakan,
Pak..!"
"Sekali
lagi, maaf ya Bu, Ibu punya anak berapa?" Aku mulai dengan pertanyaan ini
yang mungkin adalah pertanyaan yang tidak sama sekali diduga oleh Ibu tersebut.
Nyatanya, Ibu itu sempat terbelalak dan baru menjawab pertanyaanku.
"Dua,
Pak..! Yang pertama sudah lulus kuliah dan tahun ini sudah mulai bekerja di
sebuah bank swasta di kota ini." Dia mulai bercerita tentang anak
pertamanya. " Dan.., dan yang kedua si Lenni. Saya bingung. Pak, Lenni
nyatanya tidak seperti kakaknya."
"O...
dua ya Bu...!" seolah aku memastikan
"Betul
Pak..!" jawabnya.
"Nah,
begini Bu, Ibu punya anak dua saja sudah bingung begitu. Lah saya, 30
Bu..!"
Aku
diam sejenak.
"Coba
Bu, bayangkan..! Apa saya tidak lebih bingung...!"jelasku dengan nada yang
sedikit tinggi.
"Saya
strees Bu, melihat anak-anak sekarang yang susah diatur..! he..he...he...!
Sengaja kulemparkan kata-kata ini dengan sedikit berseloroh. Harapanku bisa sedikit menenangkan kegundahan dan kegelisahan sang ibu itu. Dan benar nyatanya, dari sorot matanya kulihat mulai berbinar. Emosinya mulai tertata dan kegelisahan perlahan mereda. Tampak seutas senyum tertahan di sudut-sudut bibirnya.
"Jadi
begini Bu. Kita ini orang tua, hendaknya memiliki kesabaran lebih ketika
menghadapi anak-anak yang nakal dan susah diatur sekalipun. Niscahya dengan
kesabaran ini, insya Allah secara perlahan anak-anak tentu dapat kita arahkan
menjadi lebih baik. Daripada marah-marah menguras energi, belum tentu anak-anak
akan menurut. Malah bisa-bisa berontak dan bersikap lebih keras ketimbang yang
tua-tua seperti kita ini. Eh, malah jadi menggurui. Tapi begitukan Bu..!"
tegasku.
"Hmmm, betul juga ya Pak...! Jadi merepotkan Bapak saja ini saya. Kalau begitu permisi Pak. Maaf telah merepotkan Bapak."
"Ah,
tidak apa-apa Bu. justru saya yang berterima kasih atas kedatangan Ibu."
Kemudian
kami pun berjabat tangan. Ibu itu pun mulai beranjak dari meja piketku dan aku
kembali merekap absensi kelas yang sempat tertunda. "Apa jadinya
seandainya tadi dengan serta merta larut terbawa emosi sang ibu tadi?"
Gumanku dalam hati
***
0 komentar:
Post a Comment