Sunday, 13 December 2015

Sedang asyiknya menikmati waktu kosong di sela-sela kesibukan mengajar. Menghabiskan waktu dengan duduk-duduk santai di kursi piket. Sesekali tangan membuka-buka buku daftar hadir kelas. Merekap siswa-siswa yang tidak masuk pada hari ini. Tiba-tiba di kejauhan secara tidak sengaja, mataku menatap dan beradu pandang dengan seseorang yang kemungkinan adalah orang tua murid sekolah ini. Dari raut wajahnya, tampak jelas kegelisahan padanya. Gurat-gurat di wajahnya menampakkan kekecewaan yang benar-benar mendalam dia rasakan.
Tepat di depan meja piket dia berdiri. Kucoba sapa dengan ramah dan penuh sopan.

"Selamat siang, Bu! Ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat siang, Pak! Bisa saya bertemu dengan Pak Anto, wali kelas 8F?" dia bertanya dengan suaranya yang lemah.
"Oh, bisa-bisa Bu, silakan dan sayalah Pak Anto." seraya kuulurkan tanganku sambil memperkenalkan diri.
"Ibu ini siapa ya?"
"Perkenalkan Pak, nama saya Lisa, orang tua dari Lenni kelas 8F." dia mulai berbicara secara perlahan dan tampak begitu sopan.
"Pak, saya bingung dengan perkembangan anak saya akhir-akhir ini. Di rumah jarang sekali belajar. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk bermain-main di depan komputer." Ibu itu mulai membuka pembicaraannya.
"Pernah suatu kali saya lihat hasil ulangan hariannya, dan sungguh mengecewakan sekali hasilnya. Ulangan-ulangannya semuanya hampir tidak ada yang beroleh di atas KKM, dan harus remedial, Pak," suara ibu itu semakin tinggi dengan nada yang penuh kekecewaan.
"Dan Pak..! Yang membuat saya semakin bingung sekaligus kesal, setiap kali saya saya nasihati, anak saya ini malah berontak dan melawan. Terus terang Pak, saya selaku orang tuanya menjadi bingung." Ibu itu kemudian terdiam, seperti hendak menunggu tanggapan dariku.

"Maaf ya, Bu..! Boleh saya bertanya?" aku mulai membuka suara.
"Silakan, Pak..!"
"Sekali lagi, maaf ya Bu, Ibu punya anak berapa?" Aku mulai dengan pertanyaan ini yang mungkin adalah pertanyaan yang tidak sama sekali diduga oleh Ibu tersebut. Nyatanya, Ibu itu sempat terbelalak dan baru menjawab pertanyaanku.
"Dua, Pak..! Yang pertama sudah lulus kuliah dan tahun ini sudah mulai bekerja di sebuah bank swasta di kota ini." Dia mulai bercerita tentang anak pertamanya. " Dan.., dan yang kedua si Lenni. Saya bingung. Pak, Lenni nyatanya tidak seperti kakaknya."
"O... dua ya Bu...!" seolah aku memastikan
"Betul Pak..!" jawabnya.
"Nah, begini Bu, Ibu punya anak dua saja sudah bingung begitu. Lah saya, 30 Bu..!"
Aku diam sejenak.
"Coba Bu, bayangkan..! Apa saya tidak lebih bingung...!"jelasku dengan nada yang sedikit tinggi.
"Saya strees Bu, melihat anak-anak sekarang yang susah diatur..! he..he...he...!

Sengaja kulemparkan kata-kata ini dengan sedikit berseloroh. Harapanku bisa sedikit menenangkan kegundahan dan kegelisahan sang ibu itu. Dan benar nyatanya, dari sorot matanya kulihat mulai berbinar. Emosinya mulai tertata dan kegelisahan perlahan mereda. Tampak seutas senyum tertahan di sudut-sudut bibirnya.
"Jadi begini Bu. Kita ini orang tua, hendaknya memiliki kesabaran lebih ketika menghadapi anak-anak yang nakal dan susah diatur sekalipun. Niscahya dengan kesabaran ini, insya Allah secara perlahan anak-anak tentu dapat kita arahkan menjadi lebih baik. Daripada marah-marah menguras energi, belum tentu anak-anak akan menurut. Malah bisa-bisa berontak dan bersikap lebih keras ketimbang yang tua-tua seperti kita ini. Eh, malah jadi menggurui. Tapi begitukan Bu..!" tegasku.

"Hmmm, betul juga ya Pak...! Jadi merepotkan Bapak saja ini saya. Kalau begitu permisi Pak. Maaf telah merepotkan Bapak."
"Ah, tidak apa-apa Bu. justru saya yang berterima kasih atas kedatangan Ibu."
Kemudian kami pun berjabat tangan. Ibu itu pun mulai beranjak dari meja piketku dan aku kembali merekap absensi kelas yang sempat tertunda. "Apa jadinya seandainya tadi dengan serta merta larut terbawa emosi sang ibu tadi?" Gumanku dalam hati


***

0 komentar:

Post a Comment