Gambar 2
Kembali Tim Futsal Tarki 2 menimang piala juara 3 dari ajang SMA Tarki 2 Cup tahun 2015. ini adalah prestasi kedua Tim Futsal Tarki 2 setelah sebelumnya pada bulan Oktober kemarin juga memperoleh juara ke-3 di ajang Tarlim Cup 2015.
Gambar 3
Tinggal selangkah lagi. Bisa jadi beginilah kata-kata yang tak sempat terucap namun melekat kuat di benak anak-anak Tim Futsaal Putri SMP kita. Setelah hampir satu pekan berlaga tanding di ajang P 6 CUP Penabur musim CUP tahun ini, Tim Putri Tarki memastikan diri melangkah di putaran final.
Gambar 4
Mendengar istrumen gamelan jawa barangkali bayangan yang muncul di benak Anda adalah suara musik yang ditimbulkan dari seperangkat alat musik gamelan yang berjumlah besar dan dimainkan atau ditabuh oleh banyak orang. Dalam menabuh gamelan tersebut, sebagian penabuh dalam posisi duduk bersila dengan mengenakan pakaian tradisional dan dilengkapi berbagai asesoris. Begitulah visualisasi sebenarnya terkait dengan instrumen gamelan Jawa.
Monday, 20 May 2019
Thursday, 10 March 2016
Setelah dari Hype, kami ke depan Tzu Chi dan menunggu jemputan Tata datang. Setelah Tata pulang sekitar pukul 6, kami pun gabut dan berencana untuk pulang. Sesampainya di rumah, kami membuat grup yang bernama Bebek party di Line dan memposting foto yang kami ambil di Hype.
Sunday, 20 December 2015
Hari kelima anakku sekolah. Masih diantar mamanya. Kemudian ditinggal kerja. Dipikirnya anak sudah terbiasa. Nyatanya sesuatu terjadi. Di tempat yang jaraknya jauh dari sekolah. Di tempat biasa orang-orang mengurus surat izin mengemudi. Tiba-tiba saja Hp-ku berbunyi. Ibu guru sekolah anakku meneleponku. Ibu guru memberi tahuku, anakku nangis dan muntah-muntah. Badannya dingin sekali. Mungkin masuk angin. Bu guru minta kumenjemputnya pulang. Tak mungkin kumenjemputnya sendiri. Kutelepon pengasuhnya, kusuruh dia menjemputnya. Hari keenam dan ketujuh, anakku istirahat di rumah. Kesehatannya sedang terganggu rupanya.
Hari pertama minggu kedua sekolah. Anakku minta masuk sekolah. Dia mandi dan pakai seragam sendiri. Baru keluar rumah dia bilang malas dan sakit perut. Mamanya tetap mengantar ke sekolah. Di ruang kelas tidak mau ditinggal. Dia minta ditunggui. Diam-diam ditinggal pergi. Pakai acara dibohongi oleh mama dan bu gurunya. Tahu dibohongi, anakku ngambeg. Nangis dan minta pulang. Pengasuhnya pun menjemputnya pulang. Sore hari, saat aku menjemputnya. Anakku bilang, dia kesel sama mama dan bu gurunya. Kesel karena dibohongi, katanya.
Hari kedua minggu kedua. Pagi-pagi anakku mandi sendiri. Pakai baju sendiri. Disuruhnya mamanya menelepon bu guru. Untuk menanyakan seragam apa yang dipakainya. Selesai berpakaian, dia mogok. Tidak mau berangkat sekolah. Katanya malas dan sakit perut lagi. Diantar saja ke rumah pengasuhnya. Oleh pengasuhnya dibujuk-bujuk sekolah. Dia mau diantar sekolah. Sampai di depan pintu pagar sekolah, anakku minta pulang. Tiba-tiba badannya dingin dan muntah-muntah. Dipikirnya masuk angin, pengasuhnya membawanya pulang. Nyatanya di rumah anakku segar bugar. Bisa ketawa-tawa dan bermain-main lagi.
Aku dibuatnya pusing oleh sikapnya. Mengapa dia tak mau sekolah? Aku tak tahu sebabnya. Bila ditanya kenapa? Jawabnya selalu saja, tidak ada apa-apa. Aku kehabisan akal. Aku tak dapat membujukknya. Tak ada cara lain yang dapat kulakukan. Kecuali mencoba menghubungi bu gurunya. Lewat telepon kusampaikan permasalahan itu. Aku minta bu guru membujuk anakku. Siapa tahu anakku mau nurut dengan ibu gurunya. Bu guru pun bersedia membantu. Entah gimana caranya, bu guru pasti punya caranya tersendiri.
Benar saja. Hari ketiga minggu kedua sekolah. Pagi-pagi benar ketika anakku baru bangun tidur. Ibu guru menelepon. Bu guru bicara langsung dengan anakku. Entah bu guru bilang apa? Aku tak tahu. Tiba-tiba saja anakku minta mandi kemudian berpakaian sendiri. Minta diantar sekolah oleh pengasuhnya. Pagi itu anakku diantar pengasuhnya dan mamanya. Sampai di depan gerbang sekolah. Bu guru menjemputnya. Menggandeng tangan anakku dan menuntunnya masuk kelas. Anakku nurut saja dibawa bu guru. Pengasuh dan mamanya seperti tak dihiraukan lagi. Mamanya pun pergi kerja. Hanya pengasuhnya tetap mengawasi dari luar kelas.
Di dalam kelas hari itu, anakku didampingi Bu guru untuk beberapa saat. Pelan-pelan dilepas dan disuruhnya bergabung dengan teman-temannya. Terdorong oleh rasa penasaran. Aku cari tahu kabar anakku dari Bu guru. Kutelepon bu guru. Bu guru bilang aman. Anakku sudah mau bergabung dengan teman-temannya. Bermain-main dan bernyanyi bersama. Bahkan hari itu anakku tidak lagi nangis dan nyari-nyari mamanya lagi. Hari itu anakku bertahan sampai pulang sekolah.
Saat sore hari aku menjemputnya. Pengasuhnya bilang, kata bu guru anakku termasuk pintar. Baru sekali dikenalkan dengan pensil dan buku tulis, anakku sudah bisa menulis namanya sendiri. Bisa juga menggambar dan mewarnai dengan rapi. Ini terlihat menonjol jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Di perjalanan ke rumah, anakku bercerita dengan senangnya. Tentang apa yang baru saja dia kerjakan di sekolah pagi tadi. Sesampai di rumah, kupeluk anakku. Kucium beberapa kali. Dalam hati kuberharap. Semoga besok sekolahmu makin enjoy lagi Nak...!
Tuesday, 15 December 2015
Sunday, 13 December 2015
"Selamat siang, Bu! Ada yang bisa saya bantu?"
"Maaf ya, Bu..! Boleh saya bertanya?" aku mulai membuka suara.
Sengaja kulemparkan kata-kata ini dengan sedikit berseloroh. Harapanku bisa sedikit menenangkan kegundahan dan kegelisahan sang ibu itu. Dan benar nyatanya, dari sorot matanya kulihat mulai berbinar. Emosinya mulai tertata dan kegelisahan perlahan mereda. Tampak seutas senyum tertahan di sudut-sudut bibirnya.
"Hmmm, betul juga ya Pak...! Jadi merepotkan Bapak saja ini saya. Kalau begitu permisi Pak. Maaf telah merepotkan Bapak."
Saturday, 12 December 2015
"Jadi, kamu tahu, apa konsekuensinya?" Kemudian Ibu itu sibuk dengan beberapa kertas ulangan harian yang belum sempat dikoreksinya.
"Ya, Bu. Saya tahu."
Tanpa harus bertanya lagi, aku sudah tahu. Apa yang Bu Guru mau dengan memanggil aku sekarang ini. Tak salah lagi, pasti Bu Guru menghendaki mama datang ke sekolah. Ini adalah kesepakatan di antara saya dengan Bu Guru. Bilamana aku melakukan kesalahan lagi, atau tepatnya pelanggaran. Begitu Bu Guru biasa menyebutnya, mama harus datang ke sekolah. Saya baru diperbolehkan mengikuti pelajarannya lagi setelah mama datang dan menandatangani surat perjanjian yang saya buat. Selama mama belum datang, sudah tentu aku belum boleh mengikuti pelajarannya.
"Jadi, tunggu apa lagi?" suara Bu Guru kali ini terdengar lebih bertenaga, seperti hendak menyuruhku keluar dari ruangannya.
"Baik, Bu..! Selamat Siang..!" Aku pun keluar dari ruangan itu, tanpa menghiraukan lagi, apakah salamku disambut atau tidak. Kali ini aku dipanggil Bu Guru, karena aku tidak mengerjakan PR yang diberikannya. Aku bukan sengaja tidak mengerjakannnya, tapi memang karena aku tidak bisa.
Seminggu yang lalu Bu Guru juga memanggilku. Itu kali pertma aku dipanggil Bu Guru. Ketika itu Bu Guru sedang mengajar tentang penjumlahan di kelasku. Sebuah materi yang bisa dibilang cukup mudah untuk anak-anak seusiaku, sebab hanya berkisar mengenai penjumlahan sederhana. Jangankan untuk anak-anak seusiaku, anak-anak TK pun barangkali bisa mengikuti materi itu.
"Baik, sekarang berapakah hasil penjumlahan dari satu ditambah satu? Hayo, siapa bisa jawab, angkat tangan...!" Suara Bu Guru dapat aku dengar dengan jelas dari belakang. "Duaaaa......, Bu....., Duaaaa....!" Begitu jawaban yang muncul hampir dari semua siswa seisi kelas secara bersamaan. Seperti sebuah koor tanpa pemandu suara. Di pojok belakang kelas aku terdiam sendiri seperti kebingungan. Aku tak paham dengan jawaban teman-teman itu. Aku hanya bersungut-sungut saja, seolah ragu. Aku tidak mengerti, bagaimana teman-teman memahami penjumlahan yang demikian. Aku terus bersungut-sugut dengan sesekali garuk-garuk kepala dan manggut-manggut.
Sikapku yang demikian, ternyata tak lepas dari perhatian Bu Guru.
"Cavin..!" Tiba-tiba saja terdengar Bu Guru memanggilku. Aku terkaget sejenak dan kubenahi dudukku.
"Iiii,ii ya.., Bu...!"jawabku dengan terbata.
"Kalau menurut kamu berapa hasil penjumlahan satu ditambah dengan satu?" begitu Bu Guru mengulang pertanyaan itu.
"Tiga, Bu..!" jawabku dengan lantang.
"Gueeerrrr, Huuuuuuhhhhhhhhhhhhh, !' Tiba-tiba kelas menjadi sangat riuh rendah, bercampur gaduh. Semua mata seperti menatap ke arahku. Semua perhatian tertuju padaku. Tatap-tatap mata seolah meragukan jalan pemikiranku. Pun Bu Guru, seperti terhentak oleh jawabanku. Mukanya menegang, dan dari sinar matanya terpancar sebuah kemarahan besar. Sudah tentu kemarahan itu muncul oleh jawabanku yang seperti itu. Jawaban yang menurut orang banyak sangat tidak masuk akal. Sangat tidak logis dan jauh dari jangkauan akal sehat.
"Berapa...., berapa...., Cavin?" Sekali lagi Bu Guru bertanya, seperti tak yakin dengan jawabanku.
"Tiga, Bu" jawabku kali ini dengan sedikit berani.
"Kamu ngeledek saya ya..?" suara Bu Guru semakin meningkat.
"Ngeledek, ngeledek gimana, Bu?" tanyaku seolah tak percaya.
"Lha itu, dengan jawabanmu seperti itu, kamu ngeledek saya khan...!"
"Enggak..., enggak...., Bu, memang saya menjawab tiga."
"Sudah, Ibu tak perlu penjelasan darimu. Sekarang kamu ke luar !" Bentak Bu Guru sambil mengarahkan jaru telunjukknya ke arah pintu. Aku pun ngeloyor meninggalkan ruang kelas itu, tanpa menghiraukan lagi kemarahan Bu Guru.
Di luar kelas, aku masih tak mengerti juga, mengapa di mata teman-teman dan juga Bu Guru satu ditambah satu sama dengan dua, bukannya satu ditambah satu sama dengan tiga. Aku menjadi tak mengerti dan semakin bingung saja. Pada sebuah kursi yang terbuat dari beton berlapiskan keramik usang aku duduk bersandar di dinding. Mataku memejam dan keningku berkerut memikirkan hal itu. Riuh tawa teman-teman di dalam kelas samar-samar mulai tak kudengar lagi. Semilir angin yang bertiup di siang itu membawa pikiranku masuk ke dalam lamunan yang panjang.
Lonceng tiba-tiba berbunyi. Aku tersentak. Satu demi satu teman-temanku mulai keluar dari ruang kelas. Seperti membentuk barisan panjang. Di paling belakang kulihat Bu Guru membawa setumpuk kertas ulangan. Aku berdiri setengah menunduk. Tepat di mana aku berdiri, Bu Guru berhenti. Tak ada senyum sedikit pun.
"Cavin...! Hari ini Ibu ulangan, kamu tidak boleh ikut susulan sebelum mama kamu datang. Usahakan besok mama kamu bisa datang. Dengan demikian kamu tidak banyak ketinggalan pelajaran." Suara Bu Guru seperti memberiku pengharapan.
"Kamu paham, Cavin?"
"Paham, Bu." jawabku dengan sedikit mengangguk.
"Baik kalau begitu. Sekarang pulanglah!" suruh Bu Guru dengan lembut.
"Baik, Bu. Selamat siang!"
"Siang Cavin." sambut Bu Guru seraya meninggalkanku.
Kuambil tasku yang masih di dalam kelas. Kelas telah sepi. Tak satu pun teman di sini lagi. Aku pun melangkah pergi kian menjauh dari halaman sekolahku. Langkahku tertuju pada deretan rumah yang letaknya tak seberapa jauh dari sekolah itu. Di situlah rumah kakekku. Ke rumah itulah langkah kakiku menuju. (bersambung...)
Friday, 11 December 2015
Tiba di sekolah waktu belum genap jam 7 pagi. Masih dua puluhan menit lagi kurangnya. Buru-buru kutaruh sepedaku di parkiran belakang sekolah. Dari situ, aku langsung ke ruang kelasku, kutaruh tas berisi buku-buku. Kemudian bergegas ku ke arah ruang kelas di sebelah kelasku. Di situlah ruang kelas Riri. Segera kulongok ke dalam, mataku mencari-cari Riri. Nyatanya belum ada juga. Maka berlarilah aku menuju ke arah gerbang sekolah. Maksudku ku mau menunggu Riri di sana, sebab bisa jadi Riri belum datang.
Gubuk tua itu berdinding kayu dan beratapkan daun-daun ilalang yang sudah tampak usang. Di beberapa bagian dinding dan atapnya terlihat sudah ada yang bolong-bolong. Lewat celah-celah itu, bila hari sedang turun hujan, air mengalir masuk ke dalam gubuk tepat di atas balai-balai usang. Lewat celah-celah di dinding angin yang bertiup pun seperti leluasa masuk menebarkan hawa dingin ke seisi gubuk. Bila malam sedang-sedangnya bulan purnama, lewat celah-celah itu pula sinar bulan memancar masuk tepat di wajah Pak Tarjo jika sedang terbaring di atas balai-balai usang itu. Balai-balai usang itulah tempat Pak Tarjo melewatkan malam-malamnya setelah seharian bekerja pada sang majikan. Tiga bulan lalu sepeninggal istri dan anaknya, pernah Tarjo diminta tinggal menetap di rumah sang majikan. Tapi Tarjo menolak. Tarjo memilih tinggal di gubuknya sendiri. Di gubuk itu Tarjo merasa istri dan kedua anaknya ada dan juga tiada. Di gubuk itu Tarjo menemukan kebahagiaan. Di gubuk itu pula kebahagiaan Tarjo berakhir. Kini kebahagian Tarjo bergantikan kedukaan yang dalam. Kedukaan akan kehilangan orang-orang yang dicintainya.
Malam kian larut. Hanya suara burung malam masih terdengar di kegelapan malam. Semilir angin menusuk-nusuk kulit. Mata Tarjo tak juga terpejam. Terpancar kedukaan yang dalam pada sinar kedua bola matanya. Sesekali air mata menetes deras dari kedua pelupuk matanya yang kian sembab dan lembab itu. Kedua tangan mengeplak-ngeplak kepala dan berkali-kali menarik-narik rambutnya. Seperti hendak memecah-mecah batok kepalanya. Tubuhnya tersandar pada dinding kayu di sudut gubuk itu, dengan hanya diterangi cahaya rembulan yang sinarnya tampak redup menyusup di celah-celah atap. Siang yang telah merangkak menuju malam tak ia hiraukan lagi. Tak sadar ia telah setengah hari duduk tersandar di tempat itu. Kali ini hati dan jiwa Tarjo benar-benar terpukul dan terbelenggu oleh kedukaan yang sangat dalam. Sebuah petaka maut yang dialaminya tadi pagi begitu mengguncangkan hati dan jiwanya. Kini ia larut dalam penyesalan yang tiada hentinya.
Pagi tadi, pada suatu tempat yang letaknya tak jauh dari jalan menikung yang melingkar bukit, sebuah mobil kijang biru melaju dari sebuah bangunan mewah di sisi barat bukit itu. Lajunya begitu cepat seperti hendak berburu waktu. Duduk di belakang kemudi Tarjo. Di jog bagian belakang Tirto sang majikannya duduk berdampingan dengan istrinya. Pagi itu sang majikan minta di antar ke salah satu patner bisnisnya untuk suatu urusan bisnis. Tarjo terlambat datang, Tarjo mendapat marah dari sang majikan. Itulah kali pertama Tarjo terkena marah setelah 10 tahun mengabdi majikannya. Takut sang majikan menjadi-jadi marahnya, Tarjo kian cepat memacu mobilnya. Tepat pada tikungan kedua di sisi bukit itu, Tarjo kehilangan kendali kemudi. Mobilnya oleng dan terperosok ke dalam jurang yang cukup terjal. Mobilnya hancur. Kedua majikannya tewas seketika dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Beruntung Tarjo terlempar ke luar dari kursi kemudi lewat kaca depan mobil yang pecah berantakan. Tarjo jatuh ke tanah yang berumput tebal dan hanya pingsan. Seorang pencari kayu bakar menolongnya dan kemudian mengantarnya pulang ke gubuk Tarjo di kaki bukit itu. Kini kembali Tarjo kehilangan dua orang dekatnya, setelah tiga bulan lalu anak dan istrinya lebih dulu mendahuluinya pergi.
Setengah mata Tarjo terpejam. Satu persatu peristiwa-peristiwa pilu datang silih berganti di pelupuk mata Tarjo. Tarjo kian memejam hendak mengusir bayang-bayang itu. Tapi sia-sia. Kedua telapak tangan dikatupkannya rapat-rapat pada kedua matanya. Tapi bayang-bayang itu seperti enggan berlalu. Hati Tarjo kian kecut. Nyali Tarjo menjadi ciut. Tarjo putus asa. Dalam keputusasaannya, tiba-tiba Tarjo seperti melihat sosok perempuan setengah baya dengan gaun putih bersih berdiri tepat di depannya. Rambutnya dibiarkan panjang mengurai sampai menyentuh pinggul. Selembar selendang yang juga putih tampak melekat di bahu kirinya. Di bibirnya tersungging senyum yang manis sekali. Di mata Tarjo seolah istrinya hadir kembali. Tarjo menjadi tak berdaya ketika tiba-tiba perempuan itu mengulurkan selendang putih di tangannya kemudian membimbing Tarjo bangkit berdiri menuju belakang gubuk tua itu. Langkah Tarjo terhenti pada sebuah pohon mangga yang tidaklah terlalu besar batangnya. Malam itu di bawah pohon mangga itu dilihat oleh Tarjo istrinya cantik sekali. Kerinduan Tarjo yang begitu dalam membuat Tarjo tak kuasa, ketika perempuan itu membelitkan selendang putih itu di leher Tarjo kemudian mengaitkannya pada sebuah dahan. Tarjo merasa seperti sedang berayun-ayun bersama sang kekasih hati. Di keheningan malam itu, di sela-sela kicauan burung malam hanya desah nafas Tarjo yang terdengar jelas. Kemudian pelan perlahan desah-desah nafas Tarjo menghilang di keheningan malam yang kelam itu.
Esok paginya warga di sekitar bukit itu gempar. Seorang tukang pencari kayu bakar yang adalah tetangga Tarjo menemukan tubuh Tarjo tergantung di pohon mangga dengan kondisi tidak bernyawa lagi. Hanya sebuah senyum beku di bibir Tarjo yang tersisa. Barang kali di atas sana Tarjo sedang melayang-layang di awan mencari keabadian.
Thursday, 10 December 2015
Di bagian depan sana, kulihat beberapa teman tampak begitu antusias mengikuti pelajaran. Mereka berpasang-pasangan, menyusun dialog kemudian mencoba berkomunikasi dengan bahasa asing tersebut. Di telingaku lafa-lafal mereka menjadi sangat asing bahkan lebih asing dari bahasa asing itu sendiri. Disisipi gelak dan canda tawa mereka tetap berlatih dan terus berlatih. Tampak sang instruktur tersenyum simpul setengah menahan ketawa melihat teman-teman itu berceloteh tak karuan dalam bahasa yang semakin tak aku mengerti.
Alunan lagu dengan lirik bahasa asing terdengar di akhir pelajaran kali ini. Seiring langkah kakiku yang semakin menjauh dari ruangan itu, lagu itu kian lama kian sayup di telingaku. Sejenak kuterlepas dari keterasingan ini. Keterasingan atas sebuah ambisi pribadi dari seorang pribadi yang sesungguhnya masih teramatlah asing bagiku
Sunday, 6 December 2015
Hingga pada suatu ketika, di sore hari di pertengahan bulan Juli tahun ini. Pada bulan Juli ini biji-biji kopi yang di pohon itu, yang semula masih hijau muda mulai menguning menjelang tua. Tak lama lagi si empunya pohon bakal memanennya. Jika biji-biji kopi mulai menguning seperti ini, biasanya menarik perhatian mata musang atau luwak yang memang kesukaannya makan biji kopi. Maka tak heran jika sedang musim-musim kopi seperti ini, sebagian besar waktu Manto dihabiskannya di kebun untuk berjaga-jaga. Manto selalu menjaga pohon-pohon kopinya dari jangkauan Luwak. Tak pernah dia biarkan ada seekor Luwak pun yang akan mengambil biji kopinya, meski hanya sebutir saja. Pernah suatu ketika, seekor Luwak mencoba menerobos pagar kebun Manto, Manto tak membiarkan itu, Manto menguber Luwak tersebut. Dengan sebilah golok di tangannya Manto menebas leher sang Luwak, dan Luwak pun mati seketika. Begitu dia lakukan itu setiap kali Luwak mencoba mendekat, menerobos masuk ke kebun Manto. Entah sudah berapa ekor Luwak melayang di tangannya di musim kopi tahun ini. Sore itu, ketika Manto sedang berjaga di kebun kopinya. Manto melihat seekor Luwak sedang asyik bertengger pada sehelai batang di pohon kopi milik Tarjo. Luwak itu begitu menikmati biji demi biji kopi yang memang sudah ranum. Melihat hal itu, Manto bermaksud memberitahukan hal ini kepada Tarjo. Manto pun berteriak-teriak memanggil Tarjo. Teriakannya kencang sekali. Sampai terdengar di telinga Tarjo. Semula Tarjo tak menghiraukan teriakan itu. Hanya karena Tarjo berasa risi dengan warga yang lain saja, akhirnya Tarjo pun menyempatkan diri menuju ke tempat asal teriakan tersebut.
Dan bertanyalah Tarjo. "Ada apa Pak Manto, saya dengar Pak Manto memanggil-manggil saya?" tanya Pak Tarjo dengan sopannya. "Itu...tu..itu, Pak Tarjo lihat sendiri. Di pohon itu, ada seeokor Luwak yang sedari tadi memakan biji-biji kopi di kebun Bapak...!" jelas Manto seraya tangannya menunjuk ke arah pohon di mana Luwak itu berada. "Apakah Bapak tidak ingin mengusir binatang serakah itu...!" lanjut Manto. "Tidakkah Bapak akan dirugikan dengan ulah Luwak itu. Lihatlah Pak, Bapak bisa lihat sendiri di kebun saya. Biji-biji kopi itu masih utuh, tak satu pun tercuri oleh Luwak. Sebab saya tak pernah membiarkan seekor Luwak pun mencurinya. Siang dan malam saya menjaga kebun saya." Manto terdiam sejenak, menarik nafas panjang, kemudian lanjutnya, " Bukankah dari biji-biji kopi itu kita hidup..!" tegas Pak Manto.
Mendengar penjelasan Pak Manto, Pak Tarjo hanya bersungut-sungut saja. Dalam hati mungkin dia berfikir akan seseorang yang berdiri di depan matanya ini. Selama ini Pak Tarjo memang hanya mendengar dari pergunjingan orang tentang tabiat Pak Manto. Tapi kali ini benar-benar ia melihat dan mendengar sendiri tabiat itu dari diri Pak Manto. Ia menjadi sangat tidak percaya dan merasa sangat prihatin. Diam-diam tergeraklah hatinya untuk memberikan sesuatu yang mungkin baik bagi Pak Manto, sesuatu yang barang kali bisa menumbuhkan kesadaran diri bagi Pak Manto. Maka mendengar penuturan Pak Manto tentang Luwak di pohon kopi di kebun Pak Tarjo, berkatalah Pak Tarjo. "Pak Manto, aku tak risaukan Luwak itu memakan kopi-kopiku." Pak Manto membuka pembicaraannya. "Luwak-Luwak itu hanya menyukai kulit kopi yang sudah merah dan matang itu. Luwak tak suka dengan biji kopinya. Meskipun ia menelan biji kopi itu, tapi ia akan mengeluarkan kembali biji kopi itu, bersamaan dengan waktu ia buang kotoran." Pak Tarjo diam sejenak.
Sementara Pak Manto membelalakkan mata seolah tidak percaya dengan omongan Pak Tarjo. "Biji-biji kopi yang dibuang oleh Luwak itulah yang sebenarnya kita butuhkan, bukan biji-biji kopi yang masih menggantung di pohon yang kelihatan merah dan ranum itu. Kopi-kopi yang sepeerti itu biarlah menjadi jatah sang Luwak." Pak Manto tampak bersungut-sungut. Sementara Pak Tarjo masih terus berbicara dengan nada yang semakin datar. "Jadi, Pak Manto, buat apa kita risaukan Luwak di atas pohon kopi kita. Bukankah mereka mengambil apa yang menjadi bagian mereka. Dan mereka akan juga mengembalikan apa yang menjadi bagian kita." Pak Tarjo diam sebentar.
"Maka menurut hemat saya, sebaiknya mari kita pulang ke rumah masing-masing. Hari sudah merangangkak petang. Saya yakin, di rumah kita masing-masing anak dan istri kita lebih memerlukan perhatian kita. Daripada pohon-pohon kopi di kebun kita." Selesai berbicara demikian, Pak Tarjo menjabat tangan Pak Manto dan kemudian berlalu dari hadapan Pak Manto.
Hari di ujung rembang, matahari tak tampak lagi. Selimut malam mulai membentang di angkasa yang luas. Langkah Manto perlahan menjauh dari kebun kopi di lereng bukit itu. Ketiga anak dan istrinya telah sedari siang menunggu dia kembali.