Saturday, 12 December 2015

"Ini adalah kali kedua saya memanggil kamu!" kata Bu Guru sambil mendudukkan diri di kursi yang tepat menghadap denganku.
"Iya, Bu" jawabku dengan nada rendah.
"Jadi, kamu tahu, apa konsekuensinya?" Kemudian Ibu itu sibuk dengan beberapa kertas ulangan harian yang belum sempat dikoreksinya.

"Ya, Bu. Saya tahu."

Tanpa harus bertanya lagi, aku sudah tahu. Apa yang Bu Guru mau dengan memanggil aku sekarang ini. Tak salah lagi, pasti Bu Guru menghendaki mama datang ke sekolah. Ini adalah kesepakatan di antara saya dengan Bu Guru. Bilamana aku melakukan kesalahan lagi, atau tepatnya pelanggaran. Begitu Bu Guru biasa menyebutnya, mama harus datang ke sekolah. Saya baru diperbolehkan mengikuti pelajarannya lagi setelah mama datang dan menandatangani surat perjanjian yang saya buat. Selama mama belum datang, sudah tentu aku belum boleh mengikuti pelajarannya.
"Jadi, tunggu apa lagi?" suara Bu Guru kali ini terdengar lebih bertenaga, seperti hendak menyuruhku keluar dari ruangannya.
"Baik, Bu..! Selamat Siang..!" Aku pun keluar dari ruangan itu, tanpa menghiraukan lagi, apakah salamku disambut atau tidak. Kali ini aku dipanggil Bu Guru, karena aku tidak mengerjakan PR yang diberikannya. Aku bukan sengaja tidak mengerjakannnya, tapi memang karena aku tidak bisa.

Seminggu yang lalu Bu Guru juga memanggilku. Itu kali pertma aku dipanggil Bu Guru. Ketika itu Bu Guru sedang mengajar tentang penjumlahan di kelasku. Sebuah materi yang bisa dibilang cukup mudah untuk anak-anak seusiaku, sebab hanya berkisar mengenai penjumlahan sederhana. Jangankan untuk anak-anak seusiaku, anak-anak TK pun barangkali bisa mengikuti materi itu.
"Baik, sekarang berapakah hasil penjumlahan dari satu ditambah satu? Hayo, siapa bisa jawab, angkat tangan...!" Suara Bu Guru dapat aku dengar dengan jelas dari belakang. "Duaaaa......, Bu....., Duaaaa....!" Begitu jawaban yang muncul hampir dari semua siswa seisi kelas secara bersamaan. Seperti sebuah koor tanpa pemandu suara. Di pojok belakang kelas aku terdiam sendiri seperti kebingungan. Aku tak paham dengan jawaban teman-teman itu. Aku hanya bersungut-sungut saja, seolah ragu. Aku tidak mengerti, bagaimana teman-teman memahami penjumlahan yang demikian. Aku terus bersungut-sugut dengan sesekali garuk-garuk kepala dan manggut-manggut.

Sikapku yang demikian, ternyata tak lepas dari perhatian Bu Guru.
"Cavin..!" Tiba-tiba saja terdengar Bu Guru memanggilku. Aku terkaget sejenak dan kubenahi dudukku.
"Iiii,ii ya.., Bu...!"jawabku dengan terbata.
"Kalau menurut kamu berapa hasil penjumlahan satu ditambah dengan satu?" begitu Bu Guru mengulang pertanyaan itu.
"Tiga, Bu..!" jawabku dengan lantang.
"Gueeerrrr, Huuuuuuhhhhhhhhhhhhh, !' Tiba-tiba kelas menjadi sangat riuh rendah, bercampur gaduh. Semua mata seperti menatap ke arahku. Semua perhatian tertuju padaku. Tatap-tatap mata seolah meragukan jalan pemikiranku. Pun Bu Guru, seperti terhentak oleh jawabanku. Mukanya menegang, dan dari sinar matanya terpancar sebuah kemarahan besar. Sudah tentu kemarahan itu muncul oleh jawabanku yang seperti itu. Jawaban yang menurut orang banyak sangat tidak masuk akal. Sangat tidak logis dan jauh dari jangkauan akal sehat.
"Berapa...., berapa...., Cavin?" Sekali lagi Bu Guru bertanya, seperti tak yakin dengan jawabanku.
"Tiga, Bu" jawabku kali ini dengan sedikit berani.
"Kamu ngeledek saya ya..?" suara Bu Guru semakin meningkat.
"Ngeledek, ngeledek gimana, Bu?" tanyaku seolah tak percaya.
"Lha itu, dengan jawabanmu seperti itu, kamu ngeledek saya khan...!"
"Enggak..., enggak...., Bu, memang saya menjawab tiga."
"Sudah, Ibu tak perlu penjelasan darimu. Sekarang kamu ke luar !" Bentak Bu Guru sambil mengarahkan jaru telunjukknya ke arah pintu. Aku pun ngeloyor meninggalkan ruang kelas itu, tanpa menghiraukan lagi kemarahan Bu Guru.

Di luar kelas, aku masih tak mengerti juga, mengapa di mata teman-teman dan juga Bu Guru satu ditambah satu sama dengan dua, bukannya satu ditambah satu sama dengan tiga. Aku menjadi tak mengerti dan semakin bingung saja. Pada sebuah kursi yang terbuat dari beton berlapiskan keramik usang aku duduk bersandar di dinding. Mataku memejam dan keningku berkerut memikirkan hal itu. Riuh tawa teman-teman di dalam kelas samar-samar mulai tak kudengar lagi. Semilir angin yang bertiup di siang itu membawa pikiranku masuk ke dalam lamunan yang panjang.
Aku terbawa ke masa laluku. Masa dimana aku masih bersama dengan kakekku. Ketika itu umurku belum genap lima tahun. Bersama kakek itulah aku menghabiskan hari-hariku. Mama dan papaku terlalu sibuk bekerja. Jarang sekali aku bisa bertemu dengan kedua orang tuaku. Mama dan papa sering pulang malam karena urusan kantor yang katanya harus diselesaikan. Maka tak heran jika pada akhirnya aku lebih dekat dengan kakekku ketimbang dengan kedua orang tuaku. Dari kakekku inilah pertama kali aku mengenal yang namanya menghitung. Masih kuingat jelas pitutur kakek ketika itu. Ketika untuk pertama kalinya kubertanya tentang asal mula manusia di dunia ini. Dan bagaimana pula kakek menjelaskan akan hal itu. Sungguh suatu penjelasan yang mampu melekat kuat di benakku sampai sekarang ini. Sebuah penjelasan yang menurutku sungguh masuk diakal. Dari penjelasan kakek itulah aku tahu bahwa sesungguhnya satu ditambah satu sama dengan tiga, bukan dua. Tiga adalah jawaban yang benar. Dua adalah jawaban yang salah. Tapi kenapa justru pendapat yang menurutku benar, justru di mata teman-teman dan juga guruku sendiri dikatakan salah. Aku kian tak mengerti.

Lonceng tiba-tiba berbunyi. Aku tersentak. Satu demi satu teman-temanku mulai keluar dari ruang kelas. Seperti membentuk barisan panjang. Di paling belakang kulihat Bu Guru membawa setumpuk kertas ulangan. Aku berdiri setengah menunduk. Tepat di mana aku berdiri, Bu Guru berhenti. Tak ada senyum sedikit pun.
"Cavin...! Hari ini Ibu ulangan, kamu tidak boleh ikut susulan sebelum mama kamu datang. Usahakan besok mama kamu bisa datang. Dengan demikian kamu tidak banyak ketinggalan pelajaran." Suara Bu Guru seperti memberiku pengharapan.
"Kamu paham, Cavin?"
"Paham, Bu." jawabku dengan sedikit mengangguk.
"Baik kalau begitu. Sekarang pulanglah!" suruh Bu Guru dengan lembut.
"Baik, Bu. Selamat siang!"
"Siang Cavin." sambut Bu Guru seraya meninggalkanku.

Kuambil tasku yang masih di dalam kelas. Kelas telah sepi. Tak satu pun teman di sini lagi. Aku pun melangkah pergi kian menjauh dari halaman sekolahku. Langkahku tertuju pada deretan rumah yang letaknya tak seberapa jauh dari sekolah itu. Di situlah rumah kakekku. Ke rumah itulah langkah kakiku menuju. (bersambung...)

0 komentar:

Post a Comment