Wednesday 1 May 2013

Bagai sambaran petir di siang bolong, kudengar berita dari seorang teman tentang kematian Romo Loogman. Romo yang di seputaran Purworejo dikenal sebagai perintis dalam pengobatan alternatif radiesthetik medik. Suatu teknik pengobatan yang mengandalkan kepekaan pengobatan dalam mendeteksi penyakit dengan memanfaatkan gelombang elektromagnetik. Romo dengan nama lengkap Romo Hendrikus Handoyo Loogman Msc itu telah berpulang ke haribaan Allah.

Selasa 9 Maret 2010. Hari masih pagi. Matahari sedang merangkak memancarkan sinarnya ke penjuru bumi. Tiba-tiba segumpal awan hitam pekat tampak bergelayut di langit tepat di atas RS Panti Rapih Yogyakarta yang letaknya tepat di sisi kiri bundaran UGM Yogyakarta. Langit menjadi hitam pekat. Matahari seperti enggan menampakkan wajahnya. Wajahnya muram murung seperti tak hendak lagi memamerkan kekuatan sinarnya. Matahari membenamkan diri di balik awan hitam. Seperti larut dengan dendang kematian yang sayup-sayup mulai terdengar dari bangsal ICU rumah sakit itu. Di bangsal ICU RS Panti Rapih itu, tepat pukul 08.00 WIB Romo menghembuskan nafas yang penghabisan. Setelah 2 hari berjuang melawan sakit - penyakit yang dideritanya. Oleh dokter Romo didiagnose terkena serangan stroke sebagai akibat komplikasi penyakit hipertensi dan diabetes militus. Berita lain seputar penyebab kematian Romo menyebutkan, Romo menderita kelelahan otot jantung sehingga mengurangi asupan oksigen dalam darah. Kondisi ini menyebabkan melemahnya seluruh fungsi tubuh.

Terlepas dari ikhwal penyebab kematian. Yang jelas kini aku merasa kehilangan atas kepergian Romo. Seorang Romo yang turut ambil bagian dalam kehidupan keluargaku. Terutama aku dan bapakku. Bagiku dan juga bapak, Romo adalah malaikat. Bukan sebagai malaikat pencabut nyawa, melainkan malaikat penyambung nyawa. Itulah sebutan yang pas kuberikan kepada Romo atas jasa-jasa Romo bagi keluargaku. Andai bapak masih hidup, pasti bapak sepaham dengan sebutan itu. Pasti juga air mata duka menetes dari kedua mata bapak sekarang ini. Mungkin juga di alam sana bisa-bisa bapak sedang berduka karenanya.

Samar-samar mulai terbayang di kedua mataku. Bagaimana dulu 14 tahun lalu, ketika penyakit kanker itu menggerogoti tubuh bapakku. Sering kulihat bapak menyeringai menahan sakit ketika kanker mulai menunjukkan keganasannya atas tubuh bapak. Di beberapa rumah sakit telah bapak keluar masuk menjalani perawatan. Sudah berapa juta rupiah keluar untuk itu. Aku tak tahu lagi. Kanker pun tak juga terobati. Terakhir bapak putus asa tak percaya lagi dengan pengobatan medis. Hingga seorang teman bapak menyarankan bapak untuk mencoba berobat ke Romo, yang ketika itu membuka praktiknya di Purworejo. Beberapa kali bapak menjalani pengobatan ala Romo Loogman. Secara perlahan keganasan kanker mulai melemah, kesehatan bapak semakin membaik. Walau tidak sembuh benar, tapi bapak cukup puas. Bapak pun berasa senang, setidak-tidaknya bapak bisa 3 tahun lebih lama berada di tengah-tengah keluarga dari apa yang divoniskan dokter. Ketika itu, di sisa usia bapak, Romo mengembalikan senyum bapak.

Tak cuma itu. Delapan tahun lalu, aku menderita penyakit Tetra Pareshe yaitu penyakit yang disebabkan karena melemahnya/matinya sel-sel tertentu pada jaringan saraf otak sehingga mempengaruhi kerja saraf secara keseluruhan. Penyakit itu membuat tubuhku tak berdaya, aku didera kelumpuhan pada sekujur tubuh. Dari hasil CT scan diketahui ada bagian di otak kiriku yang infark atau lapisan jaringan yang mati karena tidak cukup mendapatkan suplai oksigen dari darah. Infark terjadi akibat benturan benda keras di kepalaku. Sebulan lebih aku menjalani perawatan di rumah sakit. Selanjutnya, sebulan sekali selama setahun lebih aku harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani theraphy dan juga kontrol dokter. Padahal setiap kali kontrol sedikitnya satu juta rupiah harus aku keluarkan dari kantongku sendiri. Beruntung lewat seorang teman aku diperkenalkan dengan asisten Romo waktu itu. Lewat asisten Romo itulah aku mendapatkan kemudahan berobat pada Romo. Tak perlu aku jauh-jauh ke Purworejo. Pengobatan cukup dari jarak jauh, tepatnya konsul jarak jauh. Kalau tidak menulis surat ya lewat telepon. Lewat surat atau telepon inilah aku sampaikan tentang penyakitku itu. Kemudian via paket pos aku menerima beberapa jenis jamu herbal. Waktu itu sekali kirim cukup untuk konsumsi dua bulan. Setiap kali jamu habis aku telepon, itu aku lakukan setiap bulan hampir satu tahun lamanya. Berkat jamu-jamu dari Romo dan sesekali tetap mengkonsumsi obat mdis itulah kesehatanku mulai membaik. Aku berhenti mengkonsumsi jamu-jamuan itu beberapa tahun kemudian, ketika aku telah bener-benar sehat seperti sekarang ini. Andai delapan tahun lalu aku tidak diperkenalkan dengan Romo, mungkin aku tak lagi dapat berdiri ataupun berlari-lari seperti sekarang ini.

Rintik-rintik hujan di pagi buta mulai turun setelah semalaman mendung bergelayut di atas RS Panti Rapih. Rintik-rintik hujan itu seperti cucuran air mata berjuta manusia yang melepas kepergian Romo menuju tempat peristirahatan terakhirnya di Kaliori Jawa Tengah. Di Kaliori jasadmu ditelan bumi, namun jasamu tetap kan abadi di hati. Selamat jalan Romo....!

1 comment:

  1. Sis...
    Boleh share siapa saja asisten Romo yg masih praktek dan dimana alamatnya?

    ReplyDelete