Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Monday 2 May 2016

Persoalan administrasi kepegawaian dari sebuah organisasi menjadi hal yang menarik belakangan ini. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya perhatian akan pentingnya pengelolaan manajemen sumber daya manusia. Manajemen yang dimaksud yaitu membantu mengelola orang dalam suatu organisasi dengan penekanan pada pembentukan, pemeliharaan, dan pengembangan sistem bagi ketersediaan kerangka kerja bagi karyawan. Hal yang sama terjadi di Yayasan Terkini Sekali.
Langkah awal untuk mencapai prestasi kerja yang diharapkan harus dimulai dari disiplin. Seorang karyawan dikatakan disiplin, jika memenuhi tiga faktor, yaitu menaati  waktu kerja, melakukan pekerjaan dengan baik, mematuhi semua peraturan dan norma sosial. Disiplin kerja karyawan yang baik tercermin, dari besarnya rasa tanggung jawab karyawan dalam menyelesaikan tugas tepat waktu, tingkat keterlambatan karyawan yang rendah karena adanya semangat dan gairah kerja, serta meningkatnya efisiensi dan produktivitas karyawan yang ditunjukan dengan tingkat ketidakhadiran karyawan yang rendah.
Yayasan Terkini Sekali telah menerapkan disiplin kerja pada karyawannya sejak diterapkannya peraturan karyawan. Hal ini menjadi sebuah kekuatan bagi Yayasan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu, PK merupakan peraturan yang menjadi acuan bagi seluruh karyawan di unit-unit sekolah di bawah Yayasan Terkini tidak terkecuali di Unit SLB Terkini Sekali 7. Lantas, bagaimanakah penerapan disiplin kerja bagi karyawan-karyawan di Unit SLB Terkini Sekali 7? Berikut sekilas pemahaman pribadi.
SLB Terkini Sekali 7 berlokasi di Jl. Taman Elok No. 10 dengan jumlah peserta didik di tahun ajaran 2015-2016 mencapai 854 siswa dan jumlah karyawan edukatif dan non edukatif sejumlah 84 orang yang sebagian besar telah berstatus sebagai karyawan tetap. Secara umum, karyawan telah menanamkan sikap disiplin dan taat akan aturan yang ada. Ini terlihat dari kecilnya tingkat ketidakhadiran karyawan dan juga tingkat keterlambatan karyawan. Meski tak dapat dipungkiri masih ada beberapa karyawan yang sesekali terlambat hadir dikarenakan alasan perjalanan dan lokasi tempat tinggal yang jauh.
Satu sisi yang cukup mengusik adalah kenyataan bahwa SLB Terkini Sekali 7 dengan fasilitas gedung sekolah yang tidak baru lagi jelas menjadi suatu persoalan sendiri. Jelas kurang bisa memberikan suasana yang kondusif untuk terlaksananya kegiatan pembelajaran. Lebih-lebih lagi ketika kondisi ini diperparah dengan tidak terpeliharanya tingkat kebersihan lingkungan di SLB Terkini Sekali 7. Sebut saja fasilitas toilet yang kurang memadahi dan tidak terpelihara kebersihannya. Halaman dan taman sekolah yang kurang bersih. Secara kuantitas jumlah tenaga PP yang ada sudah cukup memadahi namun kenyataannya ketersediaan tenaga PP ini kurang mampu menunjukkan hasil kerja yang maksimal. 
Atas kondisi yang demikian sekolah pun menerapan disiplin kerja yang meliputi disiplin preventif dan disiplin korektif. Disiplin preventif merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk mendorong karyawan agar mengikuti berbagai standar dan aturan, sehingga penyelewengan-penyelewengan dapat dicegah. Yayasan Terkini Sekali menerapkan disiplin preventif dengan cara membuat peraturan dan tata tertib, membuat uraian dan prosedur kerja yang jelas dan menetapkan sanksi bagi yang melanggar peraturan dan tata tertib. Adanya pelaksanaan disiplin preventif, maka tingkat pelanggaran terhadap peraturan dan tata tertib pun rendah dan tingkat kedisiplinan pegawai tinggi.
Disiplin korektif merupakan tindakan yang diambil untuk menangani pelanggaran
terhadap aturan-aturan dan mencoba untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut. Tindakan disiplin korektif yang dilakukan seperti memberikan teguran pada karyawan yang melakukan pelanggaran ringan, teguran tersebut berupa teguran lisan. Apabila pelanggaran terulang kembali maka karyawan tersebut akan menerima teguran sebanyak tiga kali, tetapi apabila masih tetap melanggar dan melakukan  pelanggaran keras, akan dikenakan sanksi administratif berupa penundaan penyerahan gaji berkala,penurunan pangkat, dan pemecatan secara tidak terhormat.
            Terlepas dari hal tersebut di atas, penerapan disiplin kerja tentu dimaksudkan untuk pencapaian prestasi kerja. Prestasi kerja merupakan hasil kerja yang dicapai oleh seseorang sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan  organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Sebagian besar karyawan Yayasan Terkini Sekali menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan tepat waktu.  Karyawan bekerja dengan semangat dan bekerjasama dengan baik, agar pekerjaan  dapat terselesaikan dengan baik. Hal itu tercermin dari kesediaan karyawan untuk  bekerja melewati batas waktu normal, jika terdapat pekerjaan yang belum selesai.  Semoga…!


Sunday 13 December 2015

Sudah lebih dua belas tahun saya menyandang predikat Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sebuah sekolah swasta di ibu kota. Sejak menyandang predikat itu pula, sebenarnya saya sudah punya impian untuk memanfaatkan sisa waktu di sela-sela kesibukan saya mengajar untuk saya gunakan menulis. Harapan saya waktu itu tidaklah muluk-muluk. Sekedar bisa nulis puisi sampai ke cerpen sudahlah cukup. Sebuah impian yang biasa-biasa saja bukan? Impian yang sudah membumi, lebih-lebih untuk orang-orang yang memang berlatar belakang akademis di bidang sastra barangkali. Itulah idealis saya waktu itu. Namun, nyatanya tidaklah mudah buat saya untuk mewujudkan sebuah impian yang seperti itu. Tidak sebagaimana membalikkan kedua telapak tangan ternyata.

Faktanya memang, sejak saat itu saya pernah mencoba menulis. Sudah berapa banyak waktu saya habiskan untuk berlama-lama duduk buat sekedar memulai menulis. Tak terhitung lagi, sudah berapa lembar kertas habis untuk menuangkan mimpi-mimpi saya itu. Tapi hasilnya apa “NIHIL” tak satu pun tulisan dapat saya hasilkan. Kertas-kertas bekas coretan itu pun berakhir di tempat sampah atau kalau tidak menjadi barang kiloan belaka. Saya pun mengalami kebuntuan, kemudian dengan mudahnya saya mengatakan tak ada waktu, tak ada ide, dan saya vonis diri saya tidak ada bakat menulis. Lalu, selama dua belas tahun itu juga impian itu seperti terkubur dalam-dalam. Pasrah begitu saja.

Ternyata tidaklah selamanya saya dapat mengubur mimpi-mimpi saya itu. Saya terbentur oleh tanggung jawab saya. Tanggung jawab moral sebagai pendidik. Terlebih-lebih ketika saya sedang mengajar di kelas, tak jarang saya harus memberi contoh kepada anak didik saya. Mau tidak mau saya harus mau akhirnya. Suatu kondisi yang tak bisa saya mengelak dari padanya. Ujung-ujungnya, mimpi itu pun seperti menggelitik niatan saya untuk menjadikannya sebuah kenyataan. Perlahan niatan itu muncul kembali dan membimbing saya untuk sedikit demi sedikit keluar dari jurang kebuntuan itu.

Beruntung, di awal tahun ini, tanpa sengaja saya dipertemukan dengan seorang teman lama saya melalui jejaring sosial Facebook. Meski hanya di dunia maya saya berkomunikasi, melalui teman saya inilah saya mendapatkan penguatan sekaligus semangat untuk menulis. Awalnya, di FB teman saya ini, saya melihat beberapa tulisannya yang sebagian besar berupa cerpen. Dari hari ke hari kian banyak saja cerpen-cerpen baru yang diposting di Kompasiana. Kebetulan teman saya ini juga seorang Kompasianer. Saya berpikir, produktif sekali orang ini? Lewat sebuah komentar di sebuah posting cerpennya, saya menanyakan hal ini. Tentang kiat-kiat dia dalam menulis sampai bisa seproduktif itu. Lantas, bagaimana penjelasannya?

Sungguh suatu penjelasan yang cukup membuat saya tercengang. Penjelasan yang jauh dari apa yang saya bayangkan sebelumnya. Semula, saya berpandangan bahwa untuk menulis saya haruslah menyediakan waktu secara khusus. Kemudian dengan waktu khusus tersebut, saya harus memulai berfikir dan mencari-cari apa yang akan saya tulis. Selanjutnya, ketika sebuah ide sudah saya temukan, saya harus corat-coret terlebih dulu pada sebuah lembar kertas sebagai draf awal untuk kemudian diketik computer, jika memang menurut saya sudah siap menjadi sebuah karya jadi. Atas penjelasan teman saya, saya sadar bahwa ternyata pandangan saya yang seperti ini salah.

Rupanya, pandangan saya yang salah itulah menjadi penyebab utama saya selama dua belas tahun ini selalu menemukan kebuntuan’cunthel’ setiap kali ingin memulai menulis. Sebab, menurut teman saya itu, menulis tidak perlu persiapan yang sedemikian itu. Menurut teman saya, yang perlu dilakukan ketika hendak menulis adalah menulis. Ya, menulis, sekali lagi menulis. Tak perlu berlama berfikir tentang apa yang mau ditulis. Tak perlu itu mencoret-coret membuat draf, buang-buang waktu saja. Itu pemborosan namanya, pemborosan waktu, tenaga dan biaya tentu saja. Ingat, ini bukan berarti menulis tanpa dasar tentunya. Jangan sampai Anda salah paham dalam hal ini.

Tergerak oleh penjelasan teman tersebut, saya pun merubah pola pikir saya. Saya coba ikuti penjelasan temanku itu. Suatu waktu, ketika keinginan menulis itu datang, saya tak menyia-nyiakannya. Saya mulai melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Segera saya duduk di depan computer, dengan computer tersebut saya mulai menuliskan apa saja yang muncul di pikiran saya saat itu. Kalimat demi kalimat saya biarkan mengalir begitu saja tanpa ada yang harus saya delete. Itulah kali pertama impian saya menulis cerita bisa menjadi kenyataan. Saya tak peduli, apakah itu tulisan menarik atau tidak. Yang saya rasakan ketika itu hanyalah kesenangan batin semata. Sejak saat itu, tanpa saya sadari saya mulai kecanduan untuk menulis. Menulis apa saja yang mungkin bisa saya tulis. Meski sampai sekarang tulisan-tulisan itu baru sebatas untuk konsumsi pribadi dan hanya saya simpan di dalam file di laci meja saya. Jujur saja, saya sendiri tak yakin tulisan-tulisan itu layak atau tidak, menarik atau tidak, untuk dibaca orang banyak. Sekali lagi saya tak pedulikan itu, itu bukan target utama saya. Kalau saja saya tidak mengikuti saran teman tersebut, mungkin satu tulisan pun belum bisa saya buat sampai detik ini.

Masih tetap merujuk pada saran teman saya tersebut, saya disadarkan, bahwa untuk menulis sesungguhnya ketrampilan atau keahlian berbahasa bukanlah hal pertama yang mutlak harus kita punyai. Lebih penting dari itu adalah adanya niatan yang kuat dari dalam diri kita sendiri. Saya yakin niatan yang kuat itu pada akhirnya akan memacu kita untuk berfikir inovatif yang berarti selalu berusaha untuk menggali hal-hal baru sebagai sumber ide penulisan. Sekaligus berfikir kreatif yang berarti selalu berfikir untuk mengolah dan mengembangkan hal-hal baru yang kita temukan itu sehingga menjadi sebuah tulisan yang menarik.

Berpijak dari keyakinan inilah saya mencoba menulis. Tentu saja, membekali diri dengan pengetahuan dan pendapat orang lain yang lebih tahu persis tentang teori-teori menulis, yang bisa didapat dari beragam sumber adalah sesuatu yang tidak dapat saya tinggalkan.


***





Saturday 12 December 2015

Naluri dan Logika, dua hal yang nampaknya menyatu dalam kesatuan utuh kita sebagai manusia, nyatanya tak selamanya bertemu dan menyatu. Ketika sebuah permasalah datang mendera, dan ketika permasalahan itu harus mencari pemecahan, kadang kita harus mengutamakan yang satu dan mengesampingkan yang lain. Adakalanya logika memposisikan diri di atas naluri. Ketika yang lain, naluri memposisikan dirinya di atas logika. Sebuah kondisi yang berseberangan bukan? Namun, justru dari dua sisi yang berbeda ini sebenarnya ada jawaban atas permasalahan tersebut. Kalau bukan pada sisi logika jawaban itu berada, pasti jawaban itu berada di sisi naluri. Tidak pada kedua sisi. Jawaban yang demikian adalah jawaban yang murni dan hakiki atau jawaban yang sebenar-benarnya adalah benar. Sayangnya, untuk sampai kepada kondisi yang demikian adalah sesuatu yang teramat sulit untuk tidak menyebutnya hampir tidak mungkin.

Kondisi kemudian yang sering terjadi ketika sebuah jawaban sebut saja keputusan harus diambil adalah sebuah kompromi. Ya sebuah kompromi yang mencoba mencampuradukkan antara naluri dan logika. Dalam hal ini, keputusan biasanya lahir sebagai akibat dari upaya mengakurkan antara logika dan naluri. Keputusan yang demikian sering kali dianggap sebagai keputusan yang bijak. Pada akhirnya, keputusan lebih banyak lahir sebagai hasil dari kebijaksanaan dan kompromi. Bila demikian, keputusan yang bijak adalah keputusan yang didasari atas pertimbangan hati dan pikiran. Keputusan yang diambil dari sebuah kebijaksanaan untuk berkompromi. Mengapa demikan? Jawabannya mungkin sangatlah sederhana. Semuanya dikembalikan pada sebuah kepentingan. Ya, sebuah kepentingan. Dengan kata lain, keputusan diambil tentunya tak lepas dari untuk apa dan siapa keputusan itu.

Kompromi pada dasarnya adalah upaya mempertemukan sedikitnya dua buah kepentingan yang berseberangan. Dua buah kepentingan yang mulanya berseberangan mencoba dicari penyelarasannya dengan jalan ini. Sekedar penjelasan sederhana, di sebuah lembaga tentunya ada atasan dan ada juga bawahan. Atasan tentu punya kepentingan tersendiri untuk lembaganya. Demikian juga bawahan, bawahan tentunya juga punya kepentingan tersendiri atas lembaganya. Dan di antara keduanya, terdapat kepentingan yang sama secara bersama-sama. Artinya, antara atasan dan bawahan di samping memiliki kepentingan bersama untuk lembaga, mereka juga memiliki kepentingan tersendiri atas lembaga tersebut. Permasalahan yang sering muncul dalam hal pengambilan keputusan adalah ketika keputusan harus diambil dari dua sisi yang berbeda, yaitu dari sisi atasan dan sisi bawahan. Meskipun sesungguhnya keputusan itu adalah untuk kepentingan bersama, yaitu untuk lembaganya.

Sekedar contoh. Di sebuah sekolah, sebut saja sekolah A. Pada suatu ketika Kepala Sekolah harus duduk satu meja dengan Dewan Guru dalam suatu rapat dengan agenda Rapat Kenaikan Kelas. Pada awalnya rapat berjalan lancar, sampai pada saat penentuan siapa-siapa yang dinyatakan naik dan tidak naik mulailah muncul suatu masalah. Permasalahan yang muncul adalah banyaknya jumlah siswa yang harus tinggal kelas karena tidak memenuhi kriteria kenaikan kelas yang disyaratkan. Mengapa yang demikian menjadi masalah, padahal untuk menyatakan naik dan tidak sebenarnya sudah jelas-jelas ada ketentuannya. Andai saja ketentuan yang sudah ada itu diterapkan pasti tidak akan terjadi permasalahan yang begitu serius. Jawabnya adalah untuk sebuah kepentingan dari sisi masing-masing demi sekolah tersebut. Lalu bagaimana masalah tersebut biasa diselesaikan? Melalui sebuah pembicaraan yang panjang dan memakan banyak waktu juga tenaga, setelah masing-masing pihak saling memberi dan mendengar argumentasi biasanya akan ditemukan titik temu. Sebuah keputusan akhir menunjukkan jumlah siswa yang dinyatakan tidak naik kelas di sekolah tersebut tinggal beberapa gelintir saja. Suatu jumlah yang sangat jauh dari yang semestinya bukan? Nyatanya di penghujung rapat tersebut wajah-wajah yang semula serius dan tegang kini telah berubah menjadi wajah-wajah yang ceria dan memancarkan sebuah keberhasilan bersama. Ini adalah putusan yang dihasilkan oleh kebijaksanaan berkompromi. Yang ada hanyalah menang dan menang.

Terlepas dari konteks benar tidaknya, tepat tidaknya keputusan sebagai hasil dari kebijakan berkompromi. Secara pribadi saya beranggapan bahwa keputusan itu mungkin tidak akan terjadi seandainya kita senantiasa taat dan disiplin pada aturan atau kaidah-kaidah yang telah ditentukan sebelumnya. Kecenderungan untuk keluar dari aturan-aturan yang semestinya demi sebuah kepentingan tertentulah yang membuatnya demikian. Semua kembali pada apa yang bicara, naluri atau logika, atau malah kompromi dari kedua-duanya...!

***




Friday 27 November 2015

Memasuki ruangan kerja pagi ini, suasana sangat berbeda sekali dengan hari-hari sebelumnya. Tampak sepi tak terlihat gelak dan tawa canda teman-teman. Teman-teman sepertinya sibuk dengan pekerjaan masing-masing di depan komputer. Bahkan aktivitas mengajar pagi ini seperti dinomorduakan. Mereka suntuk berkumpul di sebuah ruang yang biasanya sepi di waktu-waktu pagi ini.

Inilah suasana yang terlihat di hari-hari terakhir menjelang akreditasi sekolah. Akreditasi sekolah, sebuah moment yang teramat penting mungkin sehingga perlu menyita waktu sedemikian rupa. Atau apakah akreditasi identik dengan nafas dan detak jantung sebuah sekolah? Artinya, akreditasi bisa diartikan sebagai suatu saat yang menentukan kelangsungan hidup penyelenggaraan suatu satuan pendidikan. Bisa tidaknya sekolah menyelenggarakan pendidikan tergantungkah pada akreditasi?

Bila demikian, dapat dibayangkan bagaimana kesuntukan dan kesibukan yang seperti ini akan selalu terulang dalam kurun waktu lima tahunan. Mengapa tidak? Sebab mengacu pada peraturan pemerintah yang ada, bahwa akreditasi memang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Terbayang di depan mata, bagaimana kesuntukan itu akan selalu menghantui setiap insan penyelenggara dalam bidang pendidikan.

Melihat situasi seperti pagi ini, rasanya ada sesuatu yang menarik untuk dicerna lebih lanjut. Paling tidak sesuatu yang sangat menggelitik sekali menurut pemikiran pribadi saya. Kemudian sebuah pertanyaan menarik yang mungkin sangat mudah untuk dipertanyakan pastilah demikian: Mengapa kondisi seperti ini harus terjadi? Lalu sebagai pertanyaan lanjutan pasti demikian: Apakah benar memang tidak ada cara lain untuk persiapan akreditasi selain dengan cara yang seperti ini?

Situasi menggelitik dalam persiapan akreditasi yang saya maksud di sini adalah kesan kesibukan yang luar biasa sekaligus cenderung semrawut. Kesibukan dan kesemrawutan itu terlihat jelas pada wajah-wajah pelaku persiapan akreditasi. Kesan kerja keras jelas sekali mereka lakukan seperti kejar target. Mengumpulkan berbagai berkas dan kelengkapan akreditasi yang harus dipenuhi yang jumlahnya sungguh luar biasa dan harus terkumpul dalam waktu yang sangat terbatas. Memang, pada akhirnya target yang ditetapkan pun tercapai dengan kerja keras semua pihak. Tapi, apakah hasil yang dicapai tersebut telah benar-benar maksimal? Setidaknya, apakah hasil tersebut telah merupakan hasil yang benar-benar sesuai dengan yang diharapkan? Jawabnya, pasti tidak! Itu artinya masih ada hasil yang lebih baik lagi yang masih bisa dicapai dengan prinsip kerja yang mungkin lebih baik ketimbang dengan hanya kerja keras itu.

Prinsip kerja yang saya maksud di sini adalah prinsip kerja cerdas. Prinsip kerja yang demikian terkesan tidak menguras banyak energi fisik dan juga pikiran, sebab prinsip kerja cerdas mencoba menyelaraskan antara kemampuan fisik dengan kemampuan berfikir. Menghadapi suatu pekerjaan yang besar sekalipun pekerja yang bisa bekerja dengan cerdas senantiasa berfikir untuk bagaimana bisa menyelesaikan pekerjaan tersebut tanpa harus menguras tenaga ataupun waktu dengan percuma. Sementara hasil kerjanya pun jauh lebih baik ketimbang si pekerja cerdas. Sekedar sebagai pembanding, berikut saya berikan ilustrasi mengenai mereka yang bekerja keras dengan mereka yang bekerja cerdas.

Budi, sebut saja begitu. Seorang guru muda yang sudah hampir 10 tahun mengabdikan dirinya di sekolah ini. Bila sedang tidak mengajar, aktivitasnya tak pernah lepas dari sebuah laptop yang selalu menyala di meja kerjanya. Pak Budi hampir tak pernah menggunakan waktu istirahatnya ataupun jam-jam kosongnya untuk benar-benar beristirahat. Apalagi duduk-duduk santai di luar ruangan guru. Setiap kali, yang saya lihat Pak Budi sepertinya ada-ada saja yang selalu harus dikerjakan. Setidak-tidaknya, itulah kesan yang selalu tampak pada dirinya. Pak Budi selalu sibuk dengan laptopnya di sela-sela jam mengajarnya. Sebuah kerja yang bernilai produktif tinggi tampaknya. Benarkah begitu?

Di sisi yang lain, di luar ruang guru, terlihat Pak Karyo sedang duduk-duduk santai di sebuah meja tua di sudut halaman parkir sekolah. Pak Karyo memang suka seperti itu. Setiap kali ada waktu istirahat, atau sedang jam sedang kosong tidak mengajar, selalu saja digunakannya untuk duduk-duduk santai sambil ngobrol ngalor ngidul dengan teman-teman yang lain. Sekalipun belum pernah terlihat Pak Karyo berlama-lama duduk di ruang guru, kemudian mengerjakan bermacam tugas terkait profesinya sebagai pendidik. Apakah dengan begitu Pak Karto bisa dibilang kurang produktif dalam bekerja?

Jelas dua karakter bekerja yang berbeda bukan? Bila melihat dengan mata telanjang saja, mungkin Anda akan mengatakan bahwa Pak Budi lebih bekerja dengan baik jika dibandingkan dengan Pak Karyo. Benarkah demikian? Jawabnya tentu saja belum tentu. Mengapa? Lihat saja kenyataan yang ada. Ketika di saat terakhir dead line suatu pekerjaan harus selesai. Pak Karyo selalu saja menggumpulkan apa yang harus dikumpulkannya lebih awal dari pada Pak Budi. Padahal selama ini Pak Budilah yang justru terkesan bekerja dan bekerja terus. Sementara Pak Karyo sama sekali tidak terkesan mengerjakan sesuatu.

Pertanyaan yang mungkin perlu kita camkan barang kali saja: Mengapa bisa sampai terjadi kondisi yang demikian? Apa yang terjadi dengan Pak Budi? Apa pula yang terjadi dalam diri Pak Karyo?

***

.

















Tuesday 9 December 2014

Peringatan Hari Sumpah Pemuda tinggal dalam hitungan hari lagi. Beberapa hari ke depan untuk yang ke-86 kalinya bangsa Indonesia akan memperingati Hari Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda sebagai wujud kebulatan tekan para pemuda Indonesia pertama kalinya dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928

Sumpah Pemuda merupakan tonggak awal lahirnya bangsa Indonesia dan merupakan alat pemersatu bangsa ini. Para pemuda saat itu berjuang mempertaruhkan jiwa raganya demi mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia yang tertindas oleh penjajahan selama ratusan tahun. Para pemuda kemudian menyatukan diri mereka dalam tumpah darah yang satu, bangsa yang satu, dan bahasa yang satu, yakni Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928. Sejak saat itulah tanggal 28 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda sampai sekarang.

Sumpah Pemuda seharusnya mengingatkan kita pada salah satu peristiwa sejarah yang penting bagi bangsa Indonesia. Namun pada kenyataannya, seiring dengan berjalannya waktu, makna Sumpah Pemuda bagi generasi muda khususnya bagi pelajar masa kini terasa mulai memudar. Rasa kebangsaan atau nasionalisme pada sebagian besar pelajar sudah mulai memudar bahkan menghilang dari dalam diri pelajar Indonesia.

Salah satu penyebabnya adalah perkembangan zaman yang tidak hanya memberikan dampak positif, namun juga memberikan dampak negative, seperti pengaruh globalisasi yang menyebar luas di kaangan remaja. Pengaruh globalisasi itu dapat dilihat pada perubahan pola pikir, teknologi, gaya berpakaian, dan pola perilaku pelajar yang cenderung mengikuti gaya hidup negara asing, khususnya negara-negara barat. Jika hal itu berlangsung terus-menerus, cepat atau lambat kepribadian pelajar bangsa ini akan terkontaminasi oleh kebudayaan asing yang tentunya akan membuat generasi muda pelajar Indonesia melupakan jati dirinya sebagai warga Indonesia. Pengaruh globalisasi yang demikian jelas membawa dampak negative bagi perkembangan generasi muda pelajar bangsa ini yang seharusnya menjadi penerus perjuangan para pemuda Nusantara menuju kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya.

Berbagai macam pola perilaku generasi muda pelajar bangsa ini, seperti; tawuran antar pelajar yang terjadi di mana-mana, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, bahkan korupsi oleh pejabat-pejabat negara yang semakin meraja lela. Tentu semua perilaku tersebut tidak lagi mencerminkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang dijunjung tinggi oleh para pemuda Indonesia pada 86 tahun yang lalu.

Apabila ditinjau lebih lanjut, hanya sebagian kecil pelajar masa kini yang mengetahui dengan jelas asal-usul dari peristiwa Sumpah Pemuda. Bahkan isi dari Sumpah Pemuda pun tidak banyak yang mengetahuinya. Para generasi muda pelajar Indonesia menganggap bahwa Sumpah Pemuda tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga mereka dengan mudahnya memaknai Sumpah Pemuda hanya sebatas masa lalu para pejuang. Hal ini tentu menjadi suatu keprihatinan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Padahal, masa depan Indonesia ada di tangan mereka. Mereka yang akan menentukan masa depan Indonesia di masa mendatang.

Pada hari peringatan Sumpah Pemuda yang ke-86 beberapa hari ke depan, kita sebagai generasi muda bangsa ini diharapkan mampu meningkatkan rasa nasionalisme dan partisipasi kita dalam mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pemuda 86 tahun yang lalu. Tidak hanya sebatas mengenang peristiwa Sumpah Pemuda ataupun memahami makna Sumpah Pemuda, kita pun harus mengembangkan nilai-nilai Sumpah Pemuda dalam kehidupan kita, terutama bagi perkembangan bangsa Indonesia. Kita juga diharapkan mampu membawa bangsa Indonesia menuju masa depan yang baik.

Berdisiplin, bertanggung jawab, rajin dan memelihara semangat juang dalam belajar merupakan hal yang harus senantiasa kita tanamkan dalam diri kita sebagai pelajar. Dengan demikian, di kelak kemudian hari kita dapat menjadi generasi penerus yang handal di negeri ini. Semoga….!

===&&===