Thursday 22 September 2011

Papa dan Mama pun beranjak meninggalkan beranda rumah. Kamar tidur yang mereka tuju. Mungkin berniat istirahat setelah hampir setengah malam ini kami lewatkan bersama.  Lain halnya dengan diriku, aku masih bertahan di beranda ini. Kini aku hanya seorang diri ditemani beberapa makanan kecil yang tinggal sedikit di piring di atas balai-balai bambu.  Lumayan masih tersisa sedikit kopi hitam di cangkir meski tak hangat lagi. Tapi lumayan bisa untuk mengganjal mata ini. Setidaknya mengusir rasa kantuk yang perlahan-lahan mulai menyerangku. Tiba-tiba saja perasaan sayang menyelimuti batinku jika aku melewatkan malam ini begitu saja. Entah mengapa, mendadak ada perasaan berat bergelayut di batinku. Mungkin saja karena aku rasa ini adalah malam terakhirku di rumah ini. Sebab bisa saja esok pagi Papa benar-benar membawaku ke Jakarta.

Bulan di atas sana yang semula tampak begitu terang dalam wajahnya yang bulat penuh tiba-tiba menjadi temaram. Bentuknya tak bulat lagi dan tinggal sebagian. Perlahan awan tipis menebal, menghitam menutup sang rembulan. Sinar rembulan pun tak lagi terang. Berjuta bintang yang semula tampak bertebaran di angkasa pun mulai menghilang. Hanya tinggal beberapa bintang yang masih berkelip begitu kecil dan jauh di atas sana. Kerlipnya pun kemudian memudar lalu hilang satu demi satu. Sesekali melintas berkelebat benda hitam terbang di atas rumahku sembari mengeluarkan suara berdecit-decit. Dialah beberapa kelelawar yang sedang mencari makan. Terbang dari satu dahan ke dahan lain di kebun belakang rumahku. Di kebun itu memang  banyak ditumbuhi pohon jambu yang kebetulan juga sedang berbuah lebat. Buah jambu memang menjadi salah satu kesukaan kelelawar. Maka tak heran lagi jika esok pagi Mbok Iyem pasti menggerutu bahkan mungkin mengomel sendiri sambil terus menyapu di kebun belakang rumah. Bahkan bisa  jadi kakinya sesekali iseng menginjak-injak buah jambu yang tiba-tiba jatuh dari pohon di saat Mbok Iyem sedang menyapu di bawahnya. Jika sudah demikian pastilah Mbok Iyem sedang kesal melihat banyaknya buah-buah jambu yang malam ini terjatuh oleh si ulah kelelawar-kelelawar liar itu.

Semilir angin malam kian berhembus. Perlahan-lahan seperti membelai-belai kulit. Dingin seperti menjalar di sekujur tubuhku.  Sesekali terasa seperti  jarum-jarum kecil  yang tajam yang menusuk-nusuk sampai ke relung-relung dada. Tak terasa hembusan angin malam ini perlahan meyita sebagian kesadaranku dan membawaku ke suatu waktu. Sebuah waktu yang berisi sepenggal kisah perjalanan hidupku bersama  Riri satu-satunya sahabat terbaikku yang mungkin mulai esok pagi aku tak dapat setiap waktu bersamanya lagi.

Ya, dia Riri namanya. Satu-satunya sahabat baikku dari antara sekian banyak teman-teman sekolahku. Kebetulan aku dan Riri bertemu di saat pekan orientasi siswa baru. Yaitu suatu kegiatan yang memang biasa dilakukan oleh setiap sekolah sebagai kegiatan pembuka tahun ajaran baru. Terutama untuk murid-murid baru yang akan duduk di kelas 7 atau kelas satu SMP kala itu. Saat itu aku duduk di kelas 2 dan aku menjadi salah satu panitia dalam acara MOS tersebut. Maka selama tiga hari pelaksanaan MOS aku harus bersama dengan murid-murid barui itu. Baik sekedar sebagai pendamping atau juga pengisi acara.

Pagi itu hari kedua pelaksanaan MOS, di hari kedua ini setiap peserta diwajibkan membawa 5 helai kertas folio bergaris yang masih kosong. Tugas yang sangat mudah bukan. Tampak mudah memang. Barangkali karena tugas yang dianggapnya enteng itulah justru ada beberapa murid yang membawa kertas tidak sesuai dengan yang diminta. Ada yang membawa dengan jumlah kurang dari 5 helai, ada juga yang malah membawa lebih dari 5 helai. Ada juga yang membawa kertas yang sudah tidak kosong lagi alias sudah digunakan untuk menulis. Bahkan malah ada yang sama sekali tidak membawa alias lupa.  Mereka yang membawa tidak sesuai dengan yang diminta pasti akan ketahuan. Sebab pagi-pagi benar, sebelum kegiatan hari itu dimulai semua murid harus terlebih dulu menyerahkan kelima lembar folio tersebut untuk kemudian aku paraf.  Begitu aku paraf mereka harus menyimpan kertas itu baik-baik sambil menunggu perintah selanjutnya tentang peruntukan kertas-kertas tersebut.

Tiba-tiba di antara deretan panjang murid-murid yang mengantri seperti mengular ke belakang menunggu giliran kertas folio tersebut kuparaf, mataku tertuju pada sesosok yang mengantri  di urutan kelima dari depan. Tubuhnya tinggi dan ramping sekali. Dengan rambut panjangnya yang dikepang dua. Sungguh penampilan yang begitu sederhana pikirku. Diam-diam kumulai memperhatikannya. Terlihat olehku sedari tadi murid itu selalu saja menunduk. Belum sekalipun aku menatap wajahnya. Aku berfikir, seperti ada yang tak beres dengan murid yang satu itu.

Kini murid itu tepat berdiri di depanku, wajahnya tetap saja mununduk. Tak sekalipun dia berani menatapku. Kulihat kakinya gemetar seperti ketakutan. Mungkin dia lupa bawa kertas itu. Ya, sudah jelas. Pasti dia tidak membawa, sebab tak kulihat ada kertas itu di tangannya kali ini. Melihat dia diam seperti itu, aku pun memilih diam. Sengaja aku tak menegurnya terlebih dulu. Biar saja, biar dia yang bicara dulu. Kutunggu saja, mau bilang apa dia akan kelalaiannya itu.  Nyatanya setelah beberapa saat dalam diam, dia pun memberanikan buka suara.
“Maaf Kak. Aku tak sengaja. Aku lupa.” Dia mulai berbicara lirih dengan bibirnya yang gemetar.
“Tak sengaja…!” kataku seolah tak mempercayainya.
“Betul, Kak. Aku tak sengaja.” Jawabnya dengan nada suara yang semakin bergetar seolah mencoba meyakinkanku.
“Terus, apa bedanya antara sengaja dan tidak sengaja. Apakah jika hal itu tidak kamu sengaja, lantas kamu akan terbebas dari hukuman itu?”
“Harapan saya begitu Kak.” Sambil dia menatapku seperti memohon.
Inilah kali pertama aku melihat wajahnya. Wajahnya biasa-biasa saja pikirku. Hanya kulit mukanya yang terlihat putih bersih itu saja barangkali yang membedakannya dengan teman-teman lainnya. Sejenak kutatap wajahnya. Kemudian dia pun tersenyum kecil. Tampak senyumnya tertahan di sudut-sudut bibir tipisnya. Ah, sungguh sebuah senyum yang manis sekali, bisikku dalam hati.
“Jadi gimana Kak?” kembali dia bertanya, seperti tak sabar lagi meminta kepastian. Aku sedikit terperanjat. Tak sadar aku larut terbawa oleh senyum manisnya itu.
“Gak bisa..!” jawabku dengan spontan.
“Gak bisa apanya?”
Kali ini dia bertanya dengan sedikit renyah, seperti terlepas dari beban rasa takut yang sedari tadi menghantuinya.  Malah dia kini tersenyum begitu lepas. Terlihat deretan gigi-gigi putih bersihnya yang berderet rapi sekali di sela-sela kedua bibirnya yang begitu mungil. Uh, manis sekali bisikku dalam hati.
“Bagaimanapun kamu telah salah, melalaikan tugas. Jadi kamu haruis tetap dihukum,” jawabku seperti berdeplomasi saja.
“Kamu tahu, hukuman apa yang harus kamu jalani?”
“Tahu, Kak,” jawabnya lirih.
“Bagus itu, saya tak perlu jelaskan lagi.”
Aku memang tak perlu menjelaskan lagi atas hukuman yang harus dia jalani. Sebab kemarin hukuman itu telah disampaikan oleh pendamping MOS sebelum kegiatan MOS di hari pertama berakhir. Kemudian dia pun kusuruh berdiri di samping kiriku menunggu aku menyelesaikan memeriksa semua kertas folio yang dibawa oleh murid-murid yang lainnya. Setelah semua selesai aku periksa, ternyata dari sekian murid hanya dia saja yang lalai.
“Nah, sekarang saatnya kamu menjalani hukuman. Sudah siapkah kamu.”
“Siap Kak…!”
“Ya sudah, tunggu apa lagi. Lakukan segera…!”
Kemudian dia pun beranjak hendak menuju halaman sekolah yang cukup luas. Sebab hukuman yang harus dijalaninya adalah lari keliling lapangan sepak bola sebanyak lima kali putaran. Sebuah hukuman yang cukup menguras energi untuk anak-anak seusia kami barang kali. Belum juga dia berjalan menjauh dariku, aku kembali memanggilnya. Tiba-tiba saja aku ingin mengenal siapa namanya.
“Tunggu dulu…!” kataku dengan sedikit teriakan kecil. Dia pun berhenti, kemudian berpaling dan kembali menuju ke arah kuberdiri.
“Siapa namamu?” tanyaku tanpa berbasa-basi lagi.
“Emang Kakak gak baca?” jawabnya sambil menunjuk ID Card yang tergantung di lehernya.
Pada ID Card itu memang tertulis jelas namanya Riri, yang sebenarnya juga sejak dari tadi aku sudah membacanya.
“Bukan itu maksudku?” jawabku kali ini dengan nada pelan.
“Trus apa mau Kakak?” dia balik bertanya.
“Maksudku, siapa nama lengkapmu? Aku mau tahu itu.”
“Emang perlu, Kak..!”
“Perlu. Aku perlukan itu, supaya namamu bisa aku catat di daftar murid yang melanggar.” Jawabku dengan asal saja. Sekedar berkilah pikirku.
“Namaku Riri, Kak…! Begitu teman-teman SD memanggilku. Nama lengkapku Endah Lestari. Jadi panggilan Riri diambil dari suku terakhir nama lengkapku. Jika Kakak mau, panggil saja aku Riri. Aku lebih suka dipanggil Riri.”
“Begitukah?” penggalku seolah mengiyakan.
“Ya sudah, sekarang laksanakan hukumanmu!”perintahku.
“Lho, kok gitu?”
“Maksudmu apa?”
“Nama kakak siapa?” Dia balik menanyakan namaku.
Kuulurkan tanganku, dia pun menyambutnya. Kujabat erat tangannya sambil kusebutkan namaku.
“Namaku Calvin Saputra, itu nama lengkapku. Teman-teman pun memanggilku Calvin. Dan aku suka dipanggil begitu. Jadi, kalau kamu mau, panggil saja aku Calvin!”
Seolah aku menirukan apa yang dia ungkapkan kepadaku tentang namanya.
“Jadi nama Calvin itu asalnya dari satu kata nama depanku.”
Aku memberikan penjelasan asal nama panggilanku sebagaimana dia menjelaskan asal nama panggilannya juga. Begitulah beberapa saat mataku dan matanya saling beradu pandang. Kemudian aku dan dia pun terdiam. Hanya senyum di antara aku dan dia yang tiba-tiba mengakhiri jabat tangan itu. Inilah kali pertama aku mengenal Riri murid baru di kelas 7 kala itu.
“Nah, sekarang lakukan hukumanmu!”
“Baik, Kak.” Jawabnya seranya melangkah menuju ke halaman utama sekolah. Di halaman tersebut Riri berlari berkeliling lapangan. Sengaja aku tidak mengawasinya, sebab di lapangan sudah bersedia beberapa teman panitia yang lain.
Kini aku mengawasi murid-murid yang lain yang kebetulan sedang mendengarkan ceramah tentang organisasi kesiswaan yang dibawakan oleh Pembina Osis.
Sudah dua jam  berlalu,  Riri tak juga bergabung dengan murid-murid yang lain. Aku jadi bertanya-tanya ada apa dengan Riri. Aku menjadi penasaran. Aku mencari tahu dari Budi teman sesama panitia yang kebetulan tadi berjaga di halaman sekolah. Tempat di mana Riri menjalani hukuman. Dari Budi inilah aku tahu bahwa Riri sekarang sedang beristirahat di ruang UKS. Rupanya Riri tak tahan menjalani hukuman lari keliling lapangan sebanyak 5 kali. Baru dua kali putaran Riri jatuh pingsan. Beberapa teman panitia membawanya ke UKS dan menyuruhnya beristirahat di sana sampai pulang nanti.

Mendengar berita itu, ada perasaan bersalah dalam diriku. Barangkali akulah penyebab semuanya. Mungkin jika hukuman yang aku berikan tidak seberat itu, pasti Riri tidak akan pingsan hari ini. Aku menyesal. Diam-diam muncul keinginanku untuk meminta maaf kepadanya. Entah mengapa, tiba-tiba saja waktu berjalan begitu lambatnya. Tak sabar ingin aku menemui Riri di saat waktu pulang sekolah nanti. Untuk sekedar minta maaf kepadanya tentu saja.

Waktu tepat menunjuk pukul 12 siang. Kegiatan MOS hari kedua pun berakhir. Murid-murid yang semula mengikuti berbagai kegiatan di hari ini pun telah kembali berkumpul di aula sekolah. Mereka akan segera mengakhiri kegiatan MOS di hari kedua yang juga hari terakhir. Sebelum kegiatan ditutup, seorang teman memberitahukan tentang tugas terakhir yang harus dikerjakan oleh murid-murid tersebut atas kelima kertas folio bergaris yang dibawanya. Di kertas folio itulah murid-murid baru diminta menuliskan kesan dan pesan untuk kakak-kakak kelasnya yang kebetulan menjadi pendamping MOS. Di kelima kertas itulah mereka diminta memberikan kesan kepada semua kakak pendampingnya. Masing-masing pendamping ditulis di kertas tersendiri. Itu harus dikerjakan di rumah dan dikumpulkan hari berikutnya dengan dimasukkan ke dalam kotak saran yang memang sudah disediakan. Setelah penjelasan selesai, seorang pendamping yang lain mengajak murid-murid menutup serangkaian acara dengan doa syukur bersama. Maka berakhirlah serangkaian kegiatan MOS tahun ini dan murid-murid pun bergegas pulang ke rumah masing-masing untuk menyiapkan diri mengikuti pelajaran hari pertama di bangku SMP esok pagi.

Segera saja aku bergegas ke ruang UKS. Kebetulan pintu tidak tertutup. Dari luar ruangan kulihat Riri sedang duduk di atas tempat tidur ditemani Vero. Vero adalah teman satu kelasku yang tahun ini juga menjadi pendamping MOS. Aku pun segera masuk ruangan. Kebetulan di sebelah Vero ada satu bangku kosong dan duduklah aku tepat di sebelah Vero dan di depan Riri.
“Ri, bagaimana keadaanmu?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Baik, Kak..sudah mendingan.”
“Ri, maaf kan aku ya, tidak seharusnya aku memperlakukan kamu dengan hukuman itu. Aku sama sekali tidak berfikir jika akan terjadi seperti ini terhadap dirimu.”ucapku dengan nada datar seraya memohon.
“Ah, gak papa kak. Kakak gak bersalah kok..! Riri tahu, kaka sekedar menjalankan tugas saja. Malah, sebenarnya Ririlah yang harus minta maaf, sebab Riri tak dapat menjalani hukuman itu. Mau kan kakak memaafkan Riri…!” Riri pun terdiam sejenak seperti mengharap pengiyaan dariku.
“Sudahlah Ri, aku pikir tidak ada masalah lagi. Tak ada yang dipersalahkan lagi. Aku telah memaafkanmu. Semuanya telah berakhir bersama berakhirnya kegiatan MOS kali ini. Jadi aku harap Riri juga mau memaafkan aku.”
“Iya Kak, Riri telah juga memaafkan Kakak.”
Kujabat erat tangan Riri, kedua mata kami pun saling menatap. Dan kami pun tersenyum.
“Baiklah Ri, makasih ya. Mulai sekarang jangan panggil aku kakak. Panggil saja aku Calvin, sebagaimana teman-teman yang lain memanggilku.”
“Iya, Kak…!
“lho.., masih juga Kak…!”
“Eh, maaf.., iya Calvin…!” jawabnya dengan sedikit terbata-bata.
“Nah, begitu kan rasanya lebih bersahabat.”
“Riri belum mau pulang?”
“Sudah Vin.”
“Ngomong-ngomong ke mana Riri pulang?”
Riri pun menjawab dan menyebut nama sebuah kampung. Aku kenal betul kampung itu. Kebetulan letaknya searah dengan perjalananku. Maka kutawarkan diri untuk menemani Riri pulang. Betapa senangnya aku, Riri pun tak keberatan untuk kutemani pulang.
Maka sejak saat itu pun aku dan Riri sering pergi dan pulang sekolah bersamaan dengan sepeda onthel masing-masing. Sesekali bila Riri sedang tidak enak badan Riri pun memilih membonceng ketimbang harus bersepeda sendiri. Hubungan pertemanan kami pun kian hari kian bertambah akrab. Tak jarang di sela-sela istirahat kami sering bertemu di perpustakaan untuk membaca-baca buku. Tak jarang juga kami saling membantu dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah yang mungkin bisa dikerjakan bersama.  Pokoknya selama di lingkungan sekolah, kami lebih sering menghabiskan waktu berdua saja dari pada bersama dengan teman-teman kebanyakan. Kedekatan kami mulai terbaca oleh teman-teman dan juga para guru. Tapi hal ini tidak kami hiraukan, sebab antara aku dan Riri sebenarnya tidak ada pemikiran apa-apa kecuali persahabatan saja. Dan nyatanya sampai saat ini pun belum pernah seorang guru pun menegur atas kedekatanku dengan Riri. Itu artinya, di mata guru pun persahabatan antara aku dengan Riri masih dipandang sebagai persahabatan yang wajar-wajar saja.

Malam bergulir menjemput pagi. Terdengar ayam jantan mulai berkokok pertanda hari mulai pagi. Kokoknya keras sekali saling bersautan. Aku tersentak dan terbangun. Kulihat langit di sisi timur mulai merona merah. Tanpa kusadari kesendirianku yang semalam telah membawaku ke alam mimpi yang panjang. Teringat aku akan saat-saat pertama kumengenal sahabatku itu. Kubergegas dari balai-balai bambu yang semalam menopang tubuhku. Kuraih beberapa perlengkapan mandi, kemudian berkemas diri untuk bersekolah.  Sebab hari memang telah benar-benar pagi. Tak sabar aku ingin bersua dengan Riri, mungkin ini hari adalah pertemuanku dengannya yang terakhir kali.

***

Thursday 8 September 2011

Jonggrang berlari-lari pada jalan yang berbatu dan berkerikil tajam. Selembar jarit yang membalut tubuhnya terseret-seret ke belakang seperti mengibas-ngibaskan debu jalanan. Rambutnya yang panjang terurai diterpa angin sore itu seolah melambai-lambai penuh cela. Nafasnya terengah-engah. Darahnya menggelegak penuh dendam dan amarah. Dendam kepada laki-laki yang berlari mengejar di belakangnya. Kematian sang ayahanda oleh laki-laki itu begitu menggelitik batin, merasuk ke dalam akal pikirnya, membangkitkan hasrat menuntut balas. Jonggrang tetap berlari dan terus berlari dengan dendam yang kian membara menyesak-nyesak di dada. Jonggrang ingin menuntut balas. Jonggrang ingin laki-laki itu mati, meski dengan tipu dan muslihat sekalipun. Jonggrang berlari dalam dendam. Di belakangnya, terentang jarak tak begitu jauh, Bandung mengejar Jonggrang. Langkah kakinya begitu kencang, seperti terbang bersama angin yang bertiup. Hasratnya begitu kuat, menggelegak ke dalam darah, bergejolak menyesak-nyesak dada. Tak mau Bandung kehilangan Jonggrang. Bandung berlari mengejar dan terus mengejar. Bandung berlari dengan cinta yang begitu dalam.

Adalah sebuah pergumulan antara cinta dan dendam. Cinta pada Bandung. Dendam pada Jonggrang. Masing-masing menuntut pemenuhan. Cintanya yang kuat pada Jonggrang menggelapkan mata Bandung. Bandung tak peduli siapa Jonggrang. Di mata Bandung, Jonggrang adalah sosok wanita yang jelita, tubuhnya langsing, rambut hitam lebat memanjang. Tak dipedulikan bahwa nyatanya Jonggrang adalah anak Prabu Baka yang baru saja dibunuhnya. Tak terpikir sedikit pun oleh Bandung, bisa saja Jonggrang sewaktu-waktu menuntut balas akan kematian Baka. Keperkasaan dan ketampanan Bandung seperti tak terlihat oleh Jonggrang. Di mata Jonggrang, Bandung adalah sosok pembunuh. Sosok yang memisahkan jalinan cinta antara anak dan orang tua. Antara Jonggrang dan Prabu Baka. Bandung adalah laki-laki yang membuatnya menjadi sendiri terseok-seok berlari pada puing-puing kerajaan Baka. Maka bermuslihatlah ia demi menuntut balas.

Pada sela-sela puing-puing tajam Jonggrang berlari, jarit pembebat tubuh mulai terurai menyapu-nyapu tanah-tanah yang berdebu, kemudian tersangkut pada sebongkah batu yang runcing. Langkah Jonggrang tertahan. Tubuhnya tersentak, jarit itu seperti menariknya ke belakang. Ia terhempas dan tersandar pada sebongkah batu besar. Nafasnya terengah-engah, matanya berkunang, tubuhnya melimbung, kemudian jatuh tersimpuh dan menunduk dengan kedua tangan menopang di atas bebongkahan. Di depan Jonggrang berdirilah Bandung. Matanya berbinar dengan senyum yang menyungging di bibirnya. Bandung berdiri tegap dan mengacak pinggang. Berasa Bandung beroleh kesempatan dan mengalirlah kata-kata penuh rayu dari mulut Bandung.
"Jonggrang, kau tak bisa lari lagi dariku. Terima aku Jonggrang, aku benar-benar mengharapkanmu. Aku tak lagi peduli tentang siapa dirimu. Tentang dirimu yang adalah adik Prabu Baka, itu sudah lenyap dari pikiranku. Bagiku, kau adalah wanita yang pertama kali mengusik hati laki-lakiku. Kau harus menjadi istriku," kata Bandung dengan penuh harap.

Wajah Jonggrang menengadah, menatap Bandung. Tak ada lagi sinar kebencian dan dendam pada kedua bola matanya. Tatap mata Jonggrang kini berubah teduh dan sejuk. Tersungging sebuah senyum yang manis dari kedua bibir tipisnya. Kedua tangan yang semula menopang pada bongkah batu, kini beralih pada kedua kaki Bandung. Jonggrang bersimpuh di kaki Bandung seperti berharap. Maka mengalirlah kata-kata manis Jonggrang yang sebenarnya adalah muslihat Jonggrang yang keluar dari mulut manisnya.
"Baiklah, Bandung. Sejauh apapun aku berlari, kau pasti dapat mengejarku. Seperti sekarang ini, aku tak kuasa lagi berlari darimu,"sejenak Jonggrang terdiam, sebelah tangannya menyibakkan rambut yang tergerai hampir menutupi wajahnya.
"Tak ada lagi pilihan bagiku kecuali...?"
"Kecuali apa?" sela Bandung seperti tak sabar lagi.
"Kecuali menurut apa yang menjadi kemauanmu, Bandung!"
"Tapi, Bandung...! Kembali Jonggrang terdiam, Bandung menjadi semakin penasaran.
"Bagaimanapun, kaulah pembunuh ayahku. Tidak mudah bagiku untuk mempercayaimu. Ada ketakukan dalam diriku, bisa saja kau pun ingin membunuhku. Sebab aku adalah anak Prabu Baka. Bisa saja dirimu juga menganggapku sebagai musuhmu. "Jonggrang menarik nafas perlahan, ditataplah Bandung dengan penuh selidik.
"Maka Bandung, sebelum aku menerima cintamu. Aku ingin tahu lebih dulu seperti apa cintamu padaku? Aku ingin, cintamu itu kau buktikan kepadaku. Sanggupkan kau Bandung, memenuhi apa yang akan aku pinta padamu?"
"Katakan Jonggrang...! Apa yang menjadi keinginanmu?"
"Begini Bandung..! Aku percaya kau adalah orang sakti. Jadi aku yakin kau akan bisa memenuhi permintaanku ini. Tak banyak yang kuminta darimu Bandung. Hanya dua macam. Pertama, buatkan aku sebuah sumur di tempat ini. Yang kedua, di tempat ini juga buatlah seribu buah candi. Keduanya harus selesai malam ini, sebelum terdengar ayam jantan berkokok pertanda datangnya pagi. Bila kau dapat penuhi itu semua, aku bersedia menjadi istrimu Bandung...! Bagaimana Bandung?" Jonggrang pun terdiam menunggu jawab.
"Baiklah Jonggrang. Aku tahu, itu adalah permintaan yang berat. Tapi, demi membuktikan cintaku padamu. Akan aku penuhi permintaanmu. Tunggulah Jonggrang..!" Jonggrang pun pergi menjauh. Dari kejauhan itu, Jonggrang akan melihat apa yang dilakukan Bandung kemudian. Bayang-bayang akan kematian Bandung seperti melintas di benaknya. Jonggrang tersenyum sinis.

Konon katanya, demi memenuhi permintaan Jonggrang, Bandung bersamadi dan dengan kesaktiannya terbentuklah sebuah sumur yang cukup dalam. Atas kehendak Jonggrang pula Bandung masuk ke dasar sumur untuk memastikan kedalamannya. Seketika itu Jonggrang dengan dibantu para pengikut setianya menimbun sumur tersebut dengan batu-batu besar. Namun, berkat kesaktiannya, Bandung dapat meloloskan diri dari sumur maut tersebut. Bandung merasa tertipu. Bandung pun berlarilah memburu Jonggrang dengan amarah yang begitu besar. Berkat kemolekan dan bujuk rayu Jonggrang, kemarahan Bandung pun mereda. Bandung kembali bersamadi mewujudkan permintaan kedua Jonggrang, membuat seribu candi dalam semalam. Kembali Bandung bersamadi. Dalam samadinya, Bandung menggerakkan segala kuasa jin dan dedemit penguasa kegelapan. Berkat kekuatan jin dan dedemit inilah, terbentuklah satu demi satu candi itu dalam sekejap. Menjelang subuh terbentuklah 999 buah candi. Artinya sampai subuh nanti, 1000 candi pasti akan terbuat oleh Bandung.

Dari balik bukit Jonggrang melihat semua apa yang dilakukan Bandung. Jonggrang menjadi gusar. Ia tak mau membiarkan Bandung berhasil membuat 1000 buah candi. Disuruhnya penduduk sekitar bukit untuk menyalakan dian dan mulai membunyikan lesung-lesung seolah sedang menumbuk padi. Hal itu dilakukan sekedar mencipta kesan bahwa subuh telah tiba. Mendengar suara-suara lesung itu, melihat rona merah menerang dari balik bukit-bukit itu, Bandung pun berhenti bekerja. Disangkanya 1000 candi telah dibuatnya tepat sebelum subuh tiba. Di depan mata Bandung, Jonggrang menghitung satu demi satu candi itu. Nyatalah bahwa candi tak genap 1000. Maka menolaklah Jonggrang pada Bandung. Bandung tak dapat menerima itu. Bandung merasa ditipu dan diperdaya. Bandung menjadi sangat marah. Dalam kemarahannya, keluarlah kata-kata yang mengutuk Jonggrang menjadi sebuah patung sebagai penggenap candi menjadi 1000 buah. Patung itu kemudian dikenal dengan nama Patung Lara Jonggrang yang berarti gadis yang langsing.

Gerimis masih mengguyur di senja itu. Sepoi-sepoi angin bertiup perlahan. Kian jauh langkahku meninggalkan pelataran. Di pelataran itu tertoreh sebuah kisah yang tak akan lekang oleh panas dan hujan.

---000-

Saturday 3 September 2011

 Tahun 2010 belum genap sebulan berjalan. Kali ini aku harus meninggalkan kota kelahiranku Yogyakarta. Di kota itu aku baru duduk di bangku SMP kelas 2. Nasibku memang tidak seberuntung teman-temanku, yang bisa dengan leluasa menikmati masa remaja dengan menghabiskan waktu untuk menimba ilmu di sekolah yang memang menjadi pilihan. Berat memang meninggalkan kota Yogyakarta. Meninggalkan kota Yogyakarta bagiku berarti juga meninggalkan semua yang telah aku dapat di kota ini. Terlebih untuk meninggalkan sekolah itu. Di sanalah berjuta kenangan manis telah aku torehkan dalam lembaran hidupku selama ini.

Malam itu malam bulan purnama. Bulan tanpa malu-malu memancarkan sinarnya, menerangi malam. Langit cerah berjuta bintang bertaburan di atas sana. Di beranda rumah dengan ukuran yang cukup luas, di atas kursi panjang tua, kami sekeluarga duduk-duduk di sana dengan hidangan seadanya. Kali ini kami semuanya bisa berkumpul. Purlu aku perjelas barangkali, kami di sini yang aku maksud adalah aku, papa, dan mama. Ya, cuma bertiga memang, karena hanya akulah satu-satunya anak mereka, setelah 15 tahun usia pernikahan mereka. Berbagai obrolah ringan mengalir silih berganti keluar dari mulut kami bertiga. Tiba-tiba saja Papa menyela di tengah-tengah obrolah kami. Papa mengawalinya dengan mendehem sekali, kemudian diam sebentar sambil tangannya memilin-milin kumis yang terlihat tebal dan hitam itu. Kalau sudah begitu, kamipun terdiam dan tinggal menunggu instruksi.

"Ma..., Din..., Papa mau bicara, ada sesuatu yang Papa ingin sampaikan kepada kalian. Papa harap kalian mau mendengar dan memakluminya." Papa terdiam sebentar, lalu menatap kami silih berganti, seolah berharap persetujuan dari kami. Begitulah setiap kali Papa memulai pembicaraan yang olehku kuanggap serius. Kemudian lanjutnya,
"Tadi siang Papa dipanggil atasan, Beliau memberikan tugas baru. Kali ini Papa dipindahtugaskan ke Jakarta."Papa pun diam sejenak, "Papa sampaikan hal ini supaya kalian setidaknya ada kesiapan batin. Terutama kamu, Din. Papa harap kamu mengerti hal ini," kembali Papa menatapku lagi, kali ini tatapan Papa begitu dalam sampai menembus ke dasar hatiku. Aku bisa merasakan itu. Ada kekhuatiran pada diri Papa, jangan-jangan aku tidak sependapat. Beda halnya dengan Mama. Buat Mama, hal kepindahan Papa bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sebab memang sebelum menikah dengan Papa, Mama telah sepaham dan mampu memahami keadaan Papaku. Artinya, kapan dan di mana Papa ditugaskan Mama pasti mau mendampinginya.
Papaku yang saat ini berpangkat Kopral TNI AD, tak beda dengan abdi negara yang lainnya, mereka harus selalu siap, setia dan bahkan sedia mengabdi buat bangsa dan negara. Termasuk dipindahtugaskan seperti ini. Pemahamanku tentang ini belum lama, itupun bukan dari Papa. Kutata detak jantung ini, kutarik nafas perlahan, dan kulepas perlahan. Aliran udara segar mengalir melewati batang tenggorokan ini. Meski terasa berat kuberanikan bertanya pada Papa: "Pa, maaf ya, kalau boleh Udin tahu, emang Papa mau pindah ke mana?'"tanyaku dengan sangat hati-hati.
" Ma, dan juga kamu Din, kali ini Papa ditugaspindahkan ke Jakarta. Disediakan rumah dinas di sana." jelas Papa.
"Meskipun kecil dan sangat sederhana Papa pikir cukup buat kita bertiga."papar ayah.
"Jadi gimana, Din? Kamu nggak keberatan khan?"tegas ayah.
Mama yang dari semula diam, kali ini pun ikut bicara:
"Din, kalau Mama sih gak ada masalah. Mama pasti ikut kemauan Papa. Nah.., yang jadi pikiran Mama.., Gimana dengan kamu, dengan sekolah kamu?. Tetap di Yogya atau sekalian pindah di Jakarta. Mama pikir, di Jakarta banyak kok, sekolah yang bagus-bagus."jelas Mama, seolah Mama sudah tahu banyak tentang Jakarta. Belum juga aku memberikan jawab atas pertanyaan Papa, Papa kembali bicara: "Din, Semua keputusan ada di tangan kamu, kamu boleh tetap meneruskan sekoalh di sini, atau melanjutkannya di Jakarta nanti. Kalau tetap di sini, kamu bisa numpang di tempat Tantemu, atau cari kontrakan sendiri." Tatap mata Papa kembali menembus rongga dadaku kali ini semakin dalam penuh menyelidik.

Belum pernah sekalipun aku hidup sendiri terpisah dengan kedua orang tuaku sampai usiaku yang sekarang ini. Justru di usia-usia yang seperti ini aku merasa perlu sekali berdekatan dengan kedua orang tuaku, aku merasa perlu pengawasan dari mereka. Tak dapat terbayangkan olehku, bagaimana aku bisa menjalani hidup ini sendiri. Mungkin dari ekonomi takkan ada masalah. Tapi bagaimana dengan yang lainnya, siapa yang mengawasi sikap dan tingkah polahku keseharian. Sedang di samping mereka saja tak jarang aku masih sering terbawa arus kehidupan anak remaja sekarang ini. Soal ini aku tak akan banyak bercerita. Telah banyak stasiun TV juga media cetak yang bisa menjadi sumber, kalau sekedar mau tahu bagaimana sesungguhnya kehidupan dan gaya hidup remaja-remaja di kota ini. Sebuah kehidupan yang mungkin juga telah melekat pada diriku. Perlahan terlintas jelas satu demi satu silih berganti semua peristiwa atau tepatnya serangkaian kejadian, sebut saja kasus begitu orang suka menyebutnya. Ya, kasus begitu tepatnya. Serangkaian kasus yang sempat melibatkan Mama dan juga Papaku dengan pihak sekolah. Keadaan-keadaan yang beginilah yang sering menjadikan miris hatiku jika aku harus berpisah dengan mereka. Maka sampailah keputusanku untuk mengikut mereka juga. Tekadku bulat mengikut mereka. "Pa...., dengan pelan kusapa Papa yang sedang terdiam dengan sebatang rokok di tangan kiri. "Udin..., Udin... ikut Papa dan Mama...!" Jadi.., Jadi.. kamu mau pindah ke Jakarta Din...!" seru Papa. "Iya Pa.., Iya Ma.." "Terima kasih Din..., Kamu memang anak Papa satu-satunya.., Papa bangga dengan kamu Din..!".

Udara malam semakin dingin menusuk-nusuk kulit. Bulan menampakkan sinarnya terang sekali. Tepat tersenyum di atas kepala kami. Kami larut dalam pelukan. Menyatukan langkah menatap masa depan. Di sebuah kehidupan di kota metropolitan yang penuh dengan peradaban.
....&&&....

Friday 2 September 2011


Rona merah merekah di ufuk barat. Hari mulai senja. Matahari tak lagi menampakkan keperkasaannya. Sinarnya mulai redup, tak lagi menyengat kulit. Mentari menuju peraduan siap berganti berjaga dengan bintang dan bulan yang empunya malam. Seekor burung merpati terbang melayang kembali pulang menuju kandang. Burung-burung malam pun siap terbang mencari mangsa.

Taksi yang tadi menjemput aku dan keluargaku kini melintas jalan Godean menuju arah kota. Berjejal berebut jalan dengan angkot dan becak-becak tua. Belum berjubelnya kendaraan-kendaraan pribadi. Meski satu arah, namun dengan kondisi sekarang ini, dengan semakin membaiknya tingkat kesejahteraan masyarakat kota Yogya, seiring dengan tingkat perekonomian yang baik, tak pelak lagi jalan pun terkena imbasnya. Semakin hari terasa kian tak sanggup menampung bertambahnya mobil-mobil pribadi. Akibatnya, kemacetan terjadi di mana-mana. Dan bila hari Sabtu malam Minggu seperti ini, tentu saja kemacetan makin menjadi-jadi. Jarak rumah sampai Stasiun Tugu sesungguhnya tidaklah jauh. Mungkin hanya memakan waktu 20-an menit. Bahkan jika jalanan lancar malah bisa jadi kurang. Tapi kali ini ,dengan jarak yang sama nyatanya diperlukan waktu hampir 1 jam. Beruntung perihal macet sudah kami perhitungkan terlebih dulu, sehingga hal ini tidaklah menjadi masalah yang berarti.

Baru saja taksi yang membawaku tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta, terdengar sirine berbunyi ning..., nang...neng..., nong.., nong..., ning..., neng..., nang. Kemudian disusul suara operator beberapa kali, "Perhatian-perhatian, Kereta Utama Senja tujuan Pasar Senin siap di berangkatkan. Penumpang yang masih berada di bawah harap segera naik. Dan bagi pengantar yang masih di atas kereta mohon segera turun." Kami segera turun dari taksi, berlari melewati pintu peron. Kami tunjukkan tiket yang semula sudah kami pesan. Petugas pun menunjuk kereta di jalur 4. Segera saja kami ke kereta yang dimaksud. Di atas kereta telah banyak penumpang. Sepintas tempat duduk sudah rata penumpang. Beruntung aku sudah pesan tiket jauh-jauh hari, sehingga masih kebagian tempat duduk. Papa dan Mama di kursi nomor 12 A & 12 B, sementara aku di kursi 13 A di gerbong 2. Kali ini diberangkatkan 9 gerbong. Sepintas kereta terlihat penuh penumpang, terlihat banyakknya penumpang non kursi. Berjubel memadati lorong kereta bahkan sampai ke sambungan kereta. Sebuah pemandangan yang sudah umum di kereta kelas bisnis, terlebih-lebih malam Minggu seperti ini.

Peluit panjang dibunyikan. Pemandu jalan menyorotkan lampu senter berwarna hijau ke arah lokomotif. Pertanda sinyal aman dan kereta siap diberangkatkan. Perlahan kereta mulai bergerak. Terdengar gemeretak roda-roda kereta beradu dengan bentangan besi panjang. Kian lama kian terdengar jelas seiring bertambahnya laju kereta. Dalam hati kuberbisik,"Selamat tinggal kotaku Yogyakarta. Kenangan padamu takkan pernah aku lupakan."

Kursi di sebelahku masih kosong, tapi bukan berarti tak ada pemesan. Bisa saja kursi ini baru akan terisi setelah di stasiun pemberhentian Wates, atau stasiun berikutnya. Maka wajar saja, tak seorang pun yang mendudukinya. Mereka yang tak dapat tempat duduk lebih memilih memanfaatkan sela-sela tempat duduk dengan menggelar koran, tikar, atau apa saja yang dapat dipakai sebagai alas. Ya, alas untuk duduk awalnya. Namun seiring perjalanan malam, alas ini juga nantinya akan dipakai untuk tidur. Maklum, satu gerbong kereta yang berkapasitas 60 penumpang kini penuh dijejali 90-an penumpang. Separuh lebihnya. Udara yang berhembus dari celah-celah jendela di sisi kiri dan kanan gerbong mulai terasa. Menebar berbagai aroma. Dari aroma keringat sampai aneka parfum berbagai merk bercampur jadi satu di sini menjadi bau yang khas. Khas bau kereta kelas bisnis. Sesekali angin yang bertiup dari arah depan sambungan rel mengirimkan aroma yang tak sedap. Tak asing lagi, pasti dari kamar di pojok depan itu. Sebuah kamar kecil yang disediakan untuk keperluan darurat buang air kecil yang jarang tercukupi kebutuhan air bersihnya sehingga kebersihannya pun pasti diragukan. Dan bila angin sedikit bertiup saja pastilah aromanya akan menyebar ke penjuru gerbong menusuk-nusuk hidung.

Malam kian larut, mataku terasa berat. Kebetulan kursi di sebelah masih kosong jadi aku dapat sedikit leluasa merebahkan diriku di sana. Tak lagi kuhiraukan kebisingan kereta, lalu lalang pedagang asong, dan gemeretak roda-roda besi. Bau yang datang dari ujung gerbong itu tak lagi sanggup menahan rasa kantukku. Kuambil sebuah majalah yang dari semula aku biarkan tergeletak di lantai gerbong. Sekilas kubaca lembar demi lembar. Lembar-lembar itu semakin tak nyata di depanku, menjadi samar-samar dan buram. Entah, sudah berapa lembar aku tak tahu lagi. Kemudian lembaran itu pun menjadi hitam dan kelam.
***

"Maaf, bisa saya duduk di sini?" Samar-samar terdengar suara ini di telingaku. Pelan dan lembut kedengarannya, tapi cukup membuatku terbangun. Kukucek-kucek mataku, perlahan kubuka kedua mataku. Tampak olehku seorang wanita muda berdiri tepat di depanku. Dipegannya selembar tiket di tangan kiri, ditentengnya sebuah koper pakaian di tangan kanan. Dibuatnya bibirnya tersenyum dan ditataplah aku. tubuhnya tinggi semampai. Tidak gemuk tapi tak juga kurus. Tak Tinggi tapi tidak juga pendek. Postur tubuh yang tergolong standar untuk ukuran wanita Indonesia. Rambutnya yang panjang, hitam dan ikal, dibiarkannya terjuntai sampai ke bagian dada. Tatanan rambut ala miabi nampak serasi dengan raut mukanya yang oval, yang bulat telur begitu orang-orang sering menyebutnya. Kata orang, bentuk muka yang demikian memang cocok dengan segala model tatanan rambut. Dari sela-sela bibir tipisnya yang tersenyum begitu manis, kudapat melihat sederet gigi yang putih bersih dengan susunannya yang begitu teratur, rapat dan rapi seperti dibariskan. Hidungnya yang mancung, matanya yang jernih, alis matanya yang tipis, jelas kulihat meski hanya dengan lampu kereta yang 10 watt sekalipun. Sebuah tahi lalat di pipi sisi kiri tepat di atas lesung pipinya tampak serasi berpadu dengan kulit sawo matangnya. Kulit sawo matang adalah istilah orang Jawa untuk menyebut warna kulit yang kuning kecoklatan. Mungkin karena warna itu sama dengan warna buah sawo ketika sudah matang, maka disebutlah kulit kuning sawo matang. Pendek kata, mungkin ini kali pertama aku melihat mahkluk Tuhan, sesosok mahkluk Hawa yang terlahir sempurna. Atau, apakah karena mataku belum benar-benar melek? Aku sempat ragu, kuusap-usap kedua telapak tanganku sampai terasa hangat dan kulekatkan di kedua mataku. Kali ini terasa lebih terang, mataku menjadi lebih jelas. Dan, astaga...! Benar, tak salah lagi aku, sosok ini memang benar-benar sempurna.

"Dik, maaf ya, bisa saya duduk di sini!" kembali suara itu terdengar. Dan entah sudah yang keberapa kali, aku tak tahu pasti. Yang jelas, kali ini suara itu terasa begitu jelas dan sugestif sekali. Tampak begitu kuat dan bertenaga, seolah mampu membuatku bangkit berdiri. Nyatalah memang, kini aku telah berdiri. "Silakan Mbak, silakan!" jawabku. Tampak ia tersenyum, dicoba angkatnya koper itu, sepertinya berat. Tanganku bergerak cepat, kuambil alih koper darinya, kuangkat, kutaruh di bagasi tepat di atas kursi duduk, dan kupersilakan duduk. Dia pun tersenyum seraya berterima kasih barang kali.
"Dik, kira-kira sampai di Jakarta nanti jam berapa ya?"
"Eh, jam berapa ya. Aduh, maaf ya Mbak, saya tidak tahu. Saya baru pertama kali ini naik kereta," jawabku polos.
"Oh, begutu. Ya sudah."Hanya itu percakan yang terjadi antara aku dan dia. Kulihat dia mulai menyandarkan tubuhnya di kursi. Sebentar kemudian tertidur. Kini aku tak lagi sendiri di kursi ini. Di sebelahku ada orang lain. Orang yang belum aku kenal dan mungkin juga tak akan mengenalnya. Yang aku tahu, wanita ini benar-benar cantik. Semilir angin lewat celah-celah jendela kereta, membawa hawa dingin yang kian menusuk kulit. Melihat keluar lewat celah-celah jendela yang ada hanya kegelapan malam. Sesekali cahaya lampu di kejauhan terlihat kecil bahkan kecil sekali, seperti sebuah lentera yang hampir padam.

Tepat pukul 02.00 kereta sampai di Stasiun Cirebon. Berhenti sebentar dan berjalan lagi. Konon katanya, selepas Stasiun ini perjalanan akan menjadi lancar, kereta tak lagi banyak berhenti. Tak lagi ada penumpang naik. Tak ada lagi mondar-mandir pedagang asongan. Kereta terus berjalan menembus gelapnya malam. Lajunya cepat dan semakin cepat. Lajunya menerbangkan asaku untuk mengenalnya sebelum sampai di stasiun tujuan.

---&&&---