Friday 23 November 2012

Malam hari menyusuri jalan Malioboro Yogyakarta ketika rintik-rintik hujan sungguh sangat menakjubkan. Titik-titik air yang jatuh dari langit tampak berkilauan dalam terpaan lampu-lampu mobil yang lalu lalang. Kemilaunya seperti butir-butir mutiara yang jatuh tak beraturan. Sungguh suatu pemandangan yang begitu memesona.

Pedagang-pedagang kaki lima berderet, berjajar di kiri kanan jalan di emper-emper toko. Mereka menggelar berbagai macam souvenir dan perhiasan, aneka busana laki-laki dan perempuan dari yang anak-anak sampai yang tua. Dari sepatu, sandal, juga sepatu-sandal semua ada. Tas-tas pria wanita tampak terpajang rapi berjajar. Di latar belakangnya sorot lampu-lampu toko masih jelas terlihat dari kejauhan.

Berjalan sendiri di Malioboro malam hari ketika rintik-rintik hujan. Seorang perempuan setengah baya tegak berdiri sendiri di depan Maal yang besar dan megah. Bibirnya bergincu merah, alisnya hitam tipis. Berkaus ketat dengan celana jeans yang ketat pula seperti hendak memamerkan lekuk-lekuk pada sekujur tubuhnya. Pada pundak kirinya bergantung sebuah tas kosmetik dengan warna merah cerah tergantung sebatas pinggulnya. Pada pergelangan tangannya sebuah gelang besar tampak berkilat. Sebatang rokok terjepit di sela-sela kedua jari-jemari tangan kirinya dengan kuku-kukunya yang dibiarkan panjang dan bercat merah cerah. Sesekali terlihat kilatan cahaya terpancar dari anting-anting besar yang menghias di kedua telinga, ketika dengan sengaja disibakkannya rambutnya yang dibiarkan panjang tergerai itu sampai menyentuh dada. Tatap matanya nakal dan binal. Di bibirnya terus tersungging senyum. Sesekali asap rokok mengepul dari bibirnya yang merah mengembang itu. Senyum yang menurutku penuh dengan keterpaksaan dan kehampaan. Sempat mataku beradu pandang, matanya mengedip, senyumnya tersungging. Aku merasa geli dan tersenyum juga karenanya.

Menyusur Malioboro di malam hari ketika rintik-rintik hujan. Kakiku terus melangkah. Di belakang tak jauh dariku perempuan itu pun berjalan seperti mengekorku. Tepat di depan KFC lama langkahku terhenti. Perempuan itu pun berhenti. Di dalam KFC cukup sepi. Hujan yang mengguyur sedari sore memang belum berhenti. Mungkin ini yang menjadikannya sesepi ini. Padahal dari cerita teman-teman, tempat ini tak pernah sepi, selalu saja dipadati oleh pejalan kaki atau masyarakat sekitar untuk bermakan malam. Sebuah meja yang berukuran sedang dengan empat buah kursi yang masih kosong terletak di sudut ruangan itu, ke situ langkahku menuju. Terlebih dulu kupesan dua porsi makan. Masing-masing dua potong paha ayam, satu potong dada lengkap dengan nasi dan juga kentang goreng, lalu dua cup Coca-Cola sebagai minumannya. Sengaja aku pesan dua porsi malam itu. Belum juga aku duduk, kuliat perempuan itu telah berdiri dengan tubuh setengah bersandar pada pintu KFC. Matanya terus memandangku penuh harap. Ada perasaan iba kali ini aku pada perempuan itu. Seabrek pertanyaan tentang perempuan itu seolah menggugah hasratku untuk mencari jawab dari mulut perempuan itu. Kuberikan ia senyum kedua kalinya malam ini. Lambaian tanganku yang begitu pelan menuntunnya berjalan mendekatiku kemudian duduk tepat menghadap ke arahku.

Malam ini di depan meja yang berukuran tak begitu besar duduk sudah seorang perempuan separuh baya tepat di depanku.
"Saya mulai melihat Anda sedari depan maal itu. Dan dari situ saya merasa Anda terus mengikuti saya sampai di sini. Tapi..., maaf..., kalau saya salah menduga..!" Begitulah caraku membuka pembicaraan dengannya. Aku orangnya memang tak suka basa-basi maka bertanyapun terkesan to the point. "Apa yang Anda lakukan?"
"Maaf, Om.., Panggil saja saya Mirah..!" Dia memulai pembicaraannya.
"Nama lengkap saya Samirah, tapi orang-orang di sini memang lebih mengenal saya Mirah. Sebutan Mirah mulai lekat pada diri saya sejak sepuluh tahun lalu, Om. Sejak saya bekerja di sini."
"Bekerja..! Bekerja di sini? Apa maksud Mirah bekerja di sini?" tanyaku penuh selidik.
"Ya bekerja cari uang sekedar buat makan, Om..! Di sini, ya di sini, di sepanjang jalan ini Om, Mirah bekerja."Jari telunjukknya menuding ke arah keluar, menunjuk arah selatan dan utara, seperti merentang jalan dari ujung ke ujung.
"Trus gimana cara Mirah bekerja?" tanyaku sedikit penasaran.
"Ya seperti ini Om, seperti yang Om lihat sendiri tadi. Mirah cukup berdiri saja di suatu tempat sampai ada laki-laki yang mau menghampiri Mirah. Kemudian mengajak pergi Mirah, dari sekedar menjadikan Mirah sebagai teman ngobrol, makan malam, sampai teman di ranjang, Om."Mirah berhenti sejenak, diambilnya beberapa potong kentang goreng yang sedari tadi masih dibiarkan utuh di atas meja itu.
"Mengapa dan sudah berapa lama Mirah melakukan itu?"
Kali ini Mirah terdiam. Dari sudut-sudut matanya tampak butir air mata meleleh perlahan. Diambilnya sebuah Coca-Cola yang tak lagi dingin lalu diminumnya beberapa sedot. Dengan suara yang terpatah-patah Mirah pun bercerita mengapa Mirah menjadi seperti ini. Tentang banyak peristiwa di kehidupan Mirah yang memaksanya keluyuran di tengah malam seperti ini.

Samirah nama lengkapnya. Mirah nama panggilannya. Tiga puluh empat tahun umurnya. Dua puluh tahun lalu Mirah masih duduk di kelas 3 sebuah SMP swasta. Di SMP-nya dulu Mirah tergolong remaja yang berparas cantik. Banyak teman-teman lawan jenis Mirah yang kagum padanya. Kecantikan Mirah dua puluh tahun lalu menggelapkan mata Pak Dol guru honorer di SMP itu. Di sebuah gudang lawas di pojok dekat kantin sekolah Pak Dol merenggut dengan paksa kegadisan Mirah. Hancur sudah masa depan Mirah. Mirah tak mau lagi sekolah. Mirah mengurung diri di rumah. Tak pernah Mirah ke luar rumah, apalagi ke tetangga rumah sebelah.

Baru lima tahun kemudian, Mirah mau ke luar rumah. Setelah Karyo si juragan minyak dari desa sebelah mengawininya. Dari perkawinan itu beroleh satu orang anak laki-laki. Mirah mulai menjalani kehidupan barunya. Hari-hari dijalani dengan penuh kebahagiaan seiring semakin membaiknya kehidupan ekonomi keluarganya. Kebahagiaan dalam hidup berumah tangga hanya lima tahun dirasakan oleh Mirah. Semuanya berakhir, ketika sebuah kebakaran besar memusnahkan rumah tinggal dan usahanya. Suami dan satu-satunya anak Mirah tak selamat dalam peristiwa itu. Mirah menjadi sendiri lagi. Hatinya berkeping-keping. Pernah Mirah mencoba bunuh diri. Menjatuhkan diri dari jembatan kali. Niatnya urung ketika Tante Neni mencegahnya. Bersama Tante Neni itulah Mirah menjadi seperti malam ini.

Di luar rintik-rintik hujan belum juga reda. Dua jam lebih aku duduk mendengarkan cerita Mirah. Perutku mulai berasa lapar. Menu KFC yang sedari tadi terbiarkan begitu saja di atas meja, mulai kami sentuh. Kali ini Mirah lebih banyak diam. Dari sorot matanya aku melihat ada sedikit kelegaan, sepertinya Mirah merasa lepas dari beban batin yang selama ini mendera hidupnya. Atau bisa jadi di mata Mirah aku adalah sosok yang mau mendengarkan keluh kesahnya.
"Mirah,...Mirah....! Tidakkah kau merasa berdosa, atau setidaknya menyesal atas apa yang kau lakukan itu Mirah?" tanyaku dengan perlahan.
"Om, Kalau Mirah boleh jujur. Sampai detik ini Mirah terus dihantui oleh perasaan berdosa itu. Terkadang Mirah menangis seorang diri menyesali apa yang telah Mirah lakukan. Tak jarang hati Mirah menjerit-menangis dalam dekapan Om-Om yang mencari kesenangan atas diri Mirah. Tapi...!"
"Tapi, kenapa Mirah?"
"Setiap kali perasaan itu muncul, Mirah berusaha keluar dari kehidupan Mirah yang seperti ini. Tapi setiap kali Mirah mencoba, hanya kegagalan yang Mirah peroleh, Om..! Pernah Mirah keluar masuk dari pintu ke pintu pertokoan sampai perkantoran. Tapi setiap kali yang Mirah dapat hanyalah penolakan..., penolakan, dan penolakan. Mirah Putus asa Om," suara Mirah meninggi ada kekesalan di wajahnya.
"Pernah juga Mirah mencoba, sekedar untuk menjadi tukang cuci piring di warung-warung pinggir jalan. Tak ada satu warung pun yang mau terima Mirah. Mereka malah mencibir dan mencela Mirah." Di mata mereka mungkin Mirah terlanjur dipandang hina dan kotor."Mira diam sejenak.
"Om, Mungkin memang harus begini nasib Mirah. Sebagai orang yang tak punya pendidikan, tak punya ketrampilan apalagi keahlian. Mirah pikir, wajar saja mereka menolak Mirah dengan alasan tak ada lowongan atau tak ada pengalaman. Mirah pikir inilah pilihan terakhir Mirah untuk sekedar bertahan hidup."
"Kau tak boleh begitu Mirah, selama Tuhan masih memberi kita nafas kehidupan kita tak boleh putus asa. Selama itu pula kita harus berusaha. Percayalah Mirah, selama kita berusaha pasti Tuhan akan membuka jalan untuk umatnya." Aku diam sejenak, kuraih Coca-cola yang masih tersisa, sekali sedot habislah.
"Mirah, percayalah, Tuhan tidak buta. Tuhan pasti akan membuka mata kepada umatnya yang tak pernah merasa bosan untuk memohon kepadaNya. Lebih-lebih jika permohonan itu kita iringi dengan doa dan pertobatan yang tulus."

Kulihat tetes air mata kembali mengalir dari sudut-sudut matanya yang semakin sembab. Mungkin ini air mata penyesalan pikirku.
"Pernahkah kau berpikir untuk meninggalkan kehidupanmu dengan cara pergi jauh dari kota ini, Mirah?''
"Belum, Om,"jawab Mirah dengan tulus.
"Nah..! Jika belum, Cobalah Mirah...! Di tempat yang baru nanti, kamu bisa membuka lembaran hidup barumu."
Aku diam sejenak, kuambil sebuah kartu nama dari dalam tas kecilku. Kartu nama temanku, seorang teman di Jakarta yang kebetulan butuh orang untuk menjaga toko miliknya.
"Mirah, ini kartu nama temanku di Jakarta. Temanku ini mempunyai banyak toko kain. Ia sedang membutuhkan banyak tenaga untuk menjaga toko-tokonya. Bekerjalah di sana Mirah, mungkin itu akan membantumu!"
Dengan kedua belah tangannya Mirah menerima kartu nama itu, kemudian ia masukkan ke dalam tas kosmetiknya.
"Saya pikir itu lebih baik untukmu Mirah..! Berpikirlah dulu, Mirah. Tak perlu aku mendengar jawabanmu sekarang..!"
"Terima kasih, Om..! jawab Mirah lirih."

Malam kian larut, rintik-rintik hujan pun telah berlalu. Lampu-lampu pertokoan mulai dipadamkan. Kuiring langkah Mirah menuju jalan. Mirah berjalan pelan, bayangnya memudar lalu menghilang di kegelapan malam. Selamat jalan Mirah. Dan bila nanti kumelihatmu lagi, semoga kau bukanlah seperti Mirah yang berdiri di depan Maal yang baru saja kulihat malam ini.

***

Sunday 4 November 2012

Di bagian depan gedung itu, sebuah halaman luas terhampar. Tiang bendera tertancap kuat dan beberapa pohon tua berdiri kokoh, memberikan kerindangan yang luar biasa. Meski tua pohon itu masih tampak kokoh. Hanya daunnya sesekali bergoyang dihembus angin musim ini. Angin yang bertiup dari arah utara. Semilir bertiup, menerbangkan uap air yang terangkat dari pantai di sisi Pantai Mutiara. Hembusnya memberikan kesegaran tersendiri. Musim yang seperti inilah yang menjadi sangat dinanti-nanti oleh anak-anak. Banyak anak di sini yang memanfaatkan keadaan ini. Dengan sengaja mereka merebahkan diri di atas bangku taman yang memang disediakan di hampir setiap pohon-pohon gede itu. Anak-anak melepas kepenatan atau mungkin kejenuhan setelah sekian waktu bergelut dengan buku-buku. Maka tak heran lagi mana kala bel berderig, anak-anak itu kemudian berlarian, berhamburan saling mendahului sekedar berebut bangku .

Di sisi barat halaman itu, membentang sebuah taman. Bentuknya memanjang dari sisi kiri menuju ke kanan bangunan itu. Berbagai macam tanaman hias dan bunga-bungaan ada di situ. Ada yang tinggi, ada yang pendek, ada pula jenis pohon yang menjalar. Bila musim penghujan seperti ini, tanaman-tanaman itu tampak menghijau indah dipandang mata. Daunya bergoyang terumbai-umbai mengikuti ke mana angin menerpanya. Aneka bunga tampak bermekaran dengan berbagai warna. Kilau cahaya matahari yang terpancar pagi itu, semakin menjadikan sempurna. Sesekali terlihat, beberapa ekor kupu-kupu terbang kemudian hinggap di atas bunga-bunga yang sedang mekar.


Tepat di perbatasan antara halaman dan taman, berdiri kokoh di sana sebuah tugu peringatan yang bisa disebut prasasti, begitu biasa orang menyebutnya. Prasasti itu berbentuk prisma segitiga, berbahan beton keras. Di atas prasasti itu, diletakkan sebuah logo sekolah, berupa bintang besar dan kecil. Dan padanya terukir nama dan tanda tangan seseorang. Orang Gede yang pernah memimpin kota ini tempo dulu. Tak berani aku menyebut nama Beliau, takut salah eja nantinya. Perihal tugu itu, tak banyak yang aku tahu. Belum lama ini, aku dengar dari seorang teman yang katanya ikut andil dalam pembuatan tugu prasasti itu. Tapi itu katanya. Tapi, meski itu hanya katanya, aku juga mencoba percaya. Sebab jika aku tak percaya buat apa aku juga bercerita tentang itu. Maka, setiap kali aku bercerita tentang tugu itu, selalu saja cerita kuawali dengan kata ‘Katanya…’ atau kalau tidak ‘Barang kali saja…’ atau bahkan ‘Mungkin…” agar tidak disangkanya sekedar membual.

Katanya, di awal tahun 60-an, asal mulanya tempat itu adalah rawa-rawa. Sepanjang mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan rawa-rawa yang luas ditumbuhi pohon-pohon bakau dan semak beduri. Oleh tangan seorang pengembang perumahan yang tentunya mempunyai cukup modal, mulailah daerah ini disentuh kemudian disulapnya menjadi daerah pemukiman penduduk. Bukan kebanyakan penduduk yang bisa tinggal di sini tentunya. Mereka-mereka orang-orang yang berduit kala itu saja yang bisa empunya rumah di situ. Demikian kiranya, tempat yang semula adalah rawa-rawa pun berubah seketika menjadi sebuah daerah hunian yang cukup eksklusif untuk ukuran waktu itu. Satu demi satu fasilitas umum pun mulai dirasa perlu dihadirkan di situ. Dari sarana pendidikan sampai sarana hiburan, dari sarana perbelanjaan sampai kebugaran. Status Daerah Otorita semakin mempercepat berkembangnya wilayah ini bersaing dengan wilayah lain yang telah lebih dulu berkembang.

Katanya pula, kala itu sekolah belum banyak terbangun di situ. Mungkin atas kondisi itu, tergeraklah hati seorang biarawati untuk ikut ambil bagian dalam karyanya di bidang pendidikan. Maka sebuah kuminitas biarawati yang sebelumnya telah mengelola sebuah sekolah di daerah Jembatan Tiga pun berinisiatif pindah ke tempat itu. Tergeraklah hati sang biarawati. Semangatnya mengabdi pada sesama demi kemuliaan Tuhan, membuatnya tak kenal lelah. Semangatnya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Dari pintu ke pintu dituju, dicarinya dukungan dari masyarakat sekitar. Segala daya dan upaya pun dilakukan, hingga pada pertengahan tahun 70-an pun berdirilah sebuah sekolah di situ. Sejak saat itu, pelayanan pendidikan dipindahkan dari Jembatan Tiga ke tempat itu. Dan barang kali saja, tugu yang tertancap di tengah-tengah halaman itu dimaksudkan sebagai tengara atas peristiwa itu.

Di awal telah aku ceritakan perihal sebuah taman yang ada di sisi belakang tugu itu. Kata temanku, dulu tepat di belakang tugu itu ditanam bunga mawar. Hanya sebatang dan teramat kecil. Tapi jangan salah, dari yang sebatang itulah taman itu menjadi besar dan berkembang. Mawar itu tampak mungil. Daunnya hijau segar. Batangnya nampak kokoh dengan akar-akarnya yang menancap kuat ke tanah. Duri-duri di batangnya kian memperlihatkan keperkasaannya. Daunnya yang tegak berdiri seolah menatap jauh ke awan, dipenuhi pengharapan akan sebuah masa depan yang masih panjang. Mawar pun berkembang, seiring berputarnya sang waktu. Banyak halangan dan rintangan menghadang. Dari onak dan duri, dari topan dan badai, dari terik dan panas matahari, dan dari kemarau yang berkepanjangan. Mawar tetap bertahan dan terus berkembang. Batangnya kian besar dengan daun-daunnya yang lebat, merambat menjalar ke penjuru taman, menyusup-nyusup di antara pepohonan dan tanaman lainnya. Seperti sebuah rantai panjang yang melilit dari pohon ke pohon, seperti bergandeng-gandeng, bersatu berpadu yang sulit tercerai beraikan. Duri di batangnya kian kuat dan tajam, siap menghadang siapa pun yang coba menggoyang goncang.

Mawar kian mekar, kuncup menjadi kembang, warnanya putih bersih tampak segar berseri, berkilau-kilau ditimpa sinar matahari pagi. Sedap dipandang mata terasa begitu menggoda. Semerbak harumnya menebar ke segala penjuru, terbawa semilir angin yang bertiup dari arah pantai di ujung sana. Daunmu yang kian lebat dan menghijau, seolah melambai bila ditiup angin. Seperti mengundang kupu-kupu itu datang mendekatmu. Satu, sepuluh , seratus, sampai ribuan kupu-kupu datang padamu. Hinggap di dahan-dahan rimbunmu, dari kuncup-kuncupmu dihisapnya madumu. Terbang dari dahan yang satu ke dahan yang lain, saling berganti seperti menari-nari. Di bawah teduh daunmu kupu-kupu itu bertelur, dan oleh teduhmu, kau jaga, kau rawat telur-telur itu sampai menjilma menjadi kupu-kupu kecil. Dan padamu kupu kecil menjadi dewasa, bertelor kemudian pergi dari generasi ke generasi. Mawar pun kian anggun dan memesona di tengah taman itu.Tapi kata temanku, itu dulu. Mungkin, apa yang dikatakan temanku itu benar. Mawar yang kulihat saat ini tak seperti yang diceritakannya, tak lagi memesona, harumnya tak lagi semerbak. Atau apakah mawar itu bukan mawar yang dulu lagi? Bisa jadi begitu. Atau apakah bencana besar waktu itu telah mengubah segalanya? Barang kali saja begitu.

Masih tergambar jelas di ingatanku. Bagaimana bencana itu datang tiba-tiba dan begitu cepat. Ketika itu sedang deras-derasnya hujan di awal tahun 2002, lebih-lebih bulan Januari-Februari. Hampir tiada hari tanpa diguyur hujan. Tak khayal lagi, sungai dan laut tak lagi sanggup menampung tumpahan air yang terus-menerus dicurahkan oleh langit. Laut pun meluap, dan luapannya sempat merendam hampir seluruh wilayah ini. Termasuk taman ini, taman tempat di mana mawar itu tumbuh dan berkembang. Ketinggian air kala itu mencapai sebatas leher orang dewasa. Ketinggian itu bertahan hampir satu bulan lamanya. Meluluh lantakkan hampir sebagian tanaman yang ada di taman itu, termasuk pohon mawar itu. Seolah tanpa bekas, berbagai macam bunga dan jenis tanaman yang semula tampak indah di taman itu seperti tak terlihat lagi. Semuanya berubah seperti onggokkan sampah yang menunggu giliran si tukang taman mengangkut dan membuangnya. Tinggalah pohon mawar itu sendiri yang sepintas masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Mawar itu tak lagi berdaun indah, apalagi berbunga indah. Daunnya tampak layu kemudian kering dan jatuh satu demi satu luluh ke bumi lalu mati dan tinggalkan tonggak. Yang aku tahu, dari tonggak itu telah dua kali tumbuh tunas baru. Tunas penerus generasi, penyambung kejayaan.

Kali pertama tumbuh sebuah tunas di sisi kanan tonggak itu. Tunas itu tampak kecil. Hanya beberapa lembar daun terlihat pada batangnya yang begitu kecil dan lemah. Tak ada duri-duri tajam yang terlihat padanya. Terlalu kecil batangnya untuk sekedar berdiri dan menjalar menjangkau seisi taman. Onak dan duri telah lebih dulu subur dan menjamur di taman itu. Mawar tak sanggup bertahan, tubuhnya sakit-sakitan kemudian terkapar dan mati.

Kali kedua tumbuh sebuah lagi di sisi kiri tonggak itu. Tunas itu tampak kecil, tapi tak seperti tunas pertama. Bisa jadi ia belajar dari kegagalan tunas pendahulunya. Lembar demi lembar daun pun bermunculan pada batang tubuhnya. Daunnya segar, tegak seperti hendak menantang langit. Duri-duri tajam yang mulai bermunculan hampir di sekujur batang dijadikannya benteng dan juga senjata untuk bertahan dan juga menyerang. Bertahan dari terpaan angin, menyerang pada gejolak-gejolak alam di sekitarnya. Duri-duri itu seperti melindungi sekuntum mawar yang muncul di pucuk batangnya. Meski tampak kokoh mawar itu seperti tak bercahaya, penampilannya tak berseri, suram dan angker. Hanya kesombongan, keangkuhan, kedengkian, dan kemarahan yang terpancar dari sekuntum mawar itu. Tak ada lagi keteduhan terpancar dari padanya. Mawar itu seperti mau menekan dan menindas semua tanaman di sekelilingnya. Tanaman-tanaman kecil menjadi tak berdaya, tak ada semangat dan tampak begitu apatis.

Kupu-kupu yang dulu banyak beterbangan di taman itu pun satu-satu pergi, tak ada lagi yang menarik di matanya. Tak tercium lagi sedapnya aroma mawar seperti dulu. Mawar tak punya lagi senyum apalagi madu buat kupu-kupu itu. Kupu-kupu terus terbang berlalu. Asalkan mawar itu berseri lagi pastilah kupu-kupu itu kan kembali lagi.

---$$$---

Saturday 3 November 2012

Hari pertama sampai hari keempat sekolah di antar mamanya. Di hari pertama, ditemani di dalam kelas sampai pulang. Hari kedua, ditunggui di luar kelas sampai pulang juga. Hari ketiga, diantar sampai di depan kelas. Begitu masuk kelas ditinggal pergi kerja. Hari keempat diantar mamanya juga. Hanya sampai gerbang sekolah. Dijemput guru dibawa ke kelas. Empat hari pertama sekolah bisa dibilang aman. Tak ada gelagat mencurigakan. Anakku menikmati sekolahnya.

Hari kelima anakku sekolah. Masih diantar mamanya. Kemudian ditinggal kerja. Dipikirnya anak sudah terbiasa. Nyatanya sesuatu terjadi. Di tempat yang jaraknya jauh dari sekolah. Di tempat biasa orang-orang mengurus surat izin mengemudi. Tiba-tiba saja Hp-ku berbunyi. Ibu guru sekolah anakku meneleponku. Ibu guru memberi tahuku, anakku nangis dan muntah-muntah. Badannya dingin sekali. Mungkin masuk angin. Bu guru minta kumenjemputnya pulang. Tak mungkin kumenjemputnya sendiri. Kutelepon pengasuhnya, kusuruh dia menjemputnya. Hari keenam dan ketujuh, anakku istirahat di rumah. Kesehatannya sedang terganggu rupanya.

Hari pertama minggu kedua sekolah. Anakku minta masuk sekolah. Dia mandi dan pakai seragam sendiri. Baru keluar rumah dia bilang malas dan sakit perut. Mamanya tetap mengantar ke sekolah. Di ruang kelas tidak mau ditinggal. Dia minta ditunggui. Diam-diam ditinggal pergi. Pakai acara dibohongi oleh mama dan bu gurunya. Tahu dibohongi, anakku ngambeg. Nangis dan minta pulang. Pengasuhnya pun menjemputnya pulang. Sore hari, saat aku menjemputnya. Anakku bilang, dia kesel sama mama dan bu gurunya. Kesel karena dibohongi, katanya.

Hari kedua minggu kedua. Pagi-pagi anakku mandi sendiri. Pakai baju sendiri. Disuruhnya mamanya menelepon bu guru. Untuk menanyakan seragam apa yang dipakainya. Selesai berpakaian, dia mogok. Tidak mau berangkat sekolah. Katanya malas dan sakit perut lagi. Diantar saja ke rumah pengasuhnya. Oleh pengasuhnya dibujuk-bujuk sekolah. Dia mau diantar sekolah. Sampai di depan pintu pagar sekolah, anakku minta pulang. Tiba-tiba badannya dingin dan muntah-muntah. Dipikirnya masuk angin, pengasuhnya membawanya pulang. Nyatanya di rumah anakku segar bugar. Bisa ketawa-tawa dan bermain-main lagi.

Aku dibuatnya pusing oleh sikapnya. Mengapa dia tak mau sekolah? Aku tak tahu sebabnya. Bila ditanya kenapa? Jawabnya selalu saja, tidak ada apa-apa. Aku kehabisan akal. Aku tak dapat membujukknya. Tak ada cara lain yang dapat kulakukan. Kecuali mencoba menghubungi bu gurunya. Lewat telepon kusampaikan permasalahan itu. Aku minta bu guru membujuk anakku. Siapa tahu anakku mau nurut dengan ibu gurunya. Bu guru pun bersedia membantu. Entah gimana caranya, bu guru pasti punya caranya tersendiri.

Benar saja. Hari ketiga minggu kedua sekolah. Pagi-pagi benar ketika anakku baru bangun tidur. Ibu guru menelepon. Bu guru bicara langsung dengan anakku. Entah bu guru bilang apa? Aku tak tahu. Tiba-tiba saja anakku minta mandi kemudian berpakaian sendiri. Minta diantar sekolah oleh pengasuhnya. Pagi itu anakku diantar pengasuhnya dan mamanya. Sampai di depan gerbang sekolah. Bu guru menjemputnya. Menggandeng tangan anakku dan menuntunnya masuk kelas. Anakku nurut saja dibawa bu guru. Pengasuh dan mamanya seperti tak dihiraukan lagi. Mamanya pun pergi kerja. Hanya pengasuhnya tetap mengawasi dari luar kelas.

Di dalam kelas hari itu, anakku didampingi Bu guru untuk beberapa saat. Pelan-pelan dilepas dan disuruhnya bergabung dengan teman-temannya. Terdorong oleh rasa penasaran. Aku cari tahu kabar anakku dari Bu guru. Kutelepon bu guru. Bu guru bilang aman. Anakku sudah mau bergabung dengan teman-temannya. Bermain-main dan bernyanyi bersama. Bahkan hari itu anakku tidak lagi nangis dan nyari-nyari mamanya lagi. Hari itu anakku bertahan sampai pulang sekolah.

Saat sore hari aku menjemputnya. Pengasuhnya bilang, kata bu guru anakku termasuk pintar. Baru sekali dikenalkan dengan pensil dan buku tulis, anakku sudah bisa menulis namanya sendiri. Bisa juga menggambar dan mewarnai dengan rapi. Ini terlihat menonjol jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Di perjalanan ke rumah, anakku bercerita dengan senangnya. Tentang apa yang baru saja dia kerjakan di sekolah pagi tadi. Sesampai di rumah, kupeluk anakku. Kucium beberapa kali. Dalam hati kuberharap. Semoga besok sekolahmu makin enjoy lagi Nak...!

---$$$---

Friday 2 November 2012

Seekor kupu-kupu terbang rendah pada sebuah taman yang tidak begitu luas. Taman itu ditumbuhi beberapa macam bunga yang sedang bermekaran. Tampak sebuah bunga yang terlihat mencolok di tengah taman itu. Warnanya merah merekah. Bentuknya kecil dan mungil. Dengan daun yang runcing dan tajam. Daunnya yang runcing dan tajam itu, seperti perisai pelindung bunga itu dari hempasan angin dan kucuran hujan.

Berkali-kali kupu-kupu itu terbang mengitari bunga itu. Seperti tak hendak pergi dari taman itu. Entah sudah berapa waktu dia habiskan di situ. Si kupu-kupu tak peduli lagi. Tak seperti kupu-kupu biasanya. Melihat bunga itu tak terpikir olehnya untuk hinggap pada bunga itu. Kemudian dengan moncongnya yang taumberjam ditusukkannya ke dalam putik bunga. Dihisapnya sari madu bunga yang memang disukai kupu-kupu. Kupu-kupu tahu bunga itu sedang mekar, pasti sari madunya sedang manis-manisnya. Nyatanya itu tidak kupu-kupu lakukan. Tak mau kupu-kupu melakukan itu. Kupu-kupu memilih terbang berkeliling di sekitar bunga itu. Sesekali mendekat kemudian menjauh. Entah sampai kapan kupu-kupu berbuat seperti itu. Mungkin sampai si bunga itu layu dan jatuh ke tanah, pikirku.

Dari luar pagar taman itu, mataku setia memperhatikan kupu-kupu itu. Tak sedetik pun mataku beralih pandang. Seperti setiap gerak dan gerik kupu-kupu itu tak satu pun yang lepas dari pandanganku. Maka tak heran, jika akhirnya pun aku tahu tentang kupu-kupu itu. Mengapa kupu-kupu enggan beranjak dari situ?

Barangkali kupu-kupu sadar diri. Terlalu lemah dan kecil di depan bunga itu. Di mata kupu-kupu bunga itu begitu anggun dan mempesona. Karisma bunga itu memancar sampai di sudut-sudut taman. Menebar pesona yang luar biasa. Menyejukkan semua mata yang memandangnya. Tak ingin kupu-kupu mengusiknya. Tak hendak kupu-kupu melukai si penjaga taman. Diam-diam si kupu-kupu malah ikut berjaga. Di belakang Paman tukang kebun dia ikut berjaga. Meski Paman Si tukang kebun itu, tak harus tau untuk apa kupu-kupu itu berada. Sebab belum tentu, Paman itu tahu dan mau mengerti maksud hati kupu-kupu. Yang aku tahu, kupu-kupu itu selalu setia menemani Paman itu, untuk selalu berjaga dan memelihara bunga itu.

Hujan yang turun tiba-tiba memecah perhatianku pada kupu-kupu itu. Aku beranjak pergi mencari tempat berteduh. Dari sebuah pos ronda yang letaknya tak jauh dari taman itu, aku masih melihat kupu-kupu itu masih bertahan berjaga di bawah guyuran air hujan yang kian derasnya...!

---$$$---

Thursday 1 November 2012




Mendung pagi masih bergelayut di angkasa yang hitam. Jakarta pagi ini masih begitu sepi. Jalan-jalan masih lengang. Angkot-angkot yang biasa berkeliaran berebut penumpang baru satu-satu mulai terlihat. Beberapa pengendara motor berjaket berhelm melaju pelan di atas sepeda motor berlampu redup. Menembus pekatnya pagi yang berselimut kabut. Rintik-rintik hujan satu-satu mulai turun. Menetes di aspal hitam dan menghilang. Beberapa lampu jalan masih terlihat menyala. Kemudian satu demi satu padam dengan sendirinya. Angin sepoi-sepoi dingin berhembus pelan. Seperti jarum-jarum tajam yang menusuk-nusuk kulit. Nyeri dan dingin sekali.

Waktu belum juga pukul enam pagi. Aku sampai di tempat kubekerja. Belum banyak teman sejawat di sini. Hanya beberapa CS dan OB telah terlihat sibuk. Sibuk dengan pekerjaannya sendiri-sendiri. Seperti biasa, sesampai di sini, tempat pertama menjadi tujuanku tak lain adalah sebuah meja tua. Meja tua yang letaknya di pojok halaman yang lumayan luas. Di tempat inilah aku biasa menunggu mulainya jam kerja. Secangkir kopi hitam terlebih dulu telah kusedu dengan air hangat yang tersedia di dapur. Sementara di tanganku tak lepas dari sebatang rokok filter yang sudah menyala. Sesekali kuhisap perlahan kemudian secara perlahan kuhembus kembali. Asap putih tebal tampak mengepul. Menggumpal dan membubung menjauh kemudian menghilang. Seperti membawa terbang menjauh mimpi-mimpiku yang kurenda semalaman.

Pagi ini, kulihat dia tidak seperti pagi-pagi yang telah lalu. Tak kulihat keceriaan tampak di wajahnya. Terlebih dengan pakaian yang dikenakannya sepeti itu. Terkesan serampangan menurutku. Sebuah kombinasi warna yang tak serasi sama sekali. Potongan celana hitam panjang dipaksa menyatu dengan blazzer cokelat abu-abu. Tampak begitu kaku dan beku. Mungkin sebeku dan sekaku sikapnya padaku. Setidaknya, itu kesan yang kudapat darinya pagi ini. Nyatanya, dia kini memilih duduk berjam-jam di depan komputer. Lalu sibuk dengan seabrek pekerjaan-pekerjaan rutinnya tanpa memandang sebelah mata pun terhadapku.

Melihat dia seperti itu. Nyaliku kian ciut. Hatiku makin kecut. Pikiran pun bertambah kusut. Kuurungkan niatku berbincang dengannya untuk sekedar mengurangi beban pikiranku pagi ini. Biarlah beban dan persoalanku menjadi beban dan persoalanku sendiri. Mungkin itu lebih baik. Setidaknya aku tidak membebani sahabatku sendiri, yang mungkin juga sedang banyak beban.

---$$---

Thursday 3 May 2012

Itu batu-batu
Batu-batu itu beku
Itu hanyalah batu-batu beku
Batu-batu beku itu bisu
Batu-batu itu beku dan bisu

Tapi…
Batu beku dan bisu itu
Adalah saksi-saksi bisu
Kejayaan di masa lalu

Lihat…
Di batu-batu itu melekat kuat
Riwayat dan hikayat umat berumat
Dari abad ke abad
Batu batu itu pernah terkubur
membisu menunggu waktu
Ketika tiba saatnya batubatu itu mendunia
membuat terpana semua manusia
candi namanya
***