Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Monday 20 May 2019


Seekor tupai melompat-lompat dari dahan ke dahan pada rumpun bambu di pekarangan belakang rumah Karto. Dikibas-kibaskan ekornya, ditengak-tengokkan kepalanya, dijulur-julurkannya lidahnya. Dijuntai-juntaikan kakinya, dan dibelalak-belalakkannya matanya. Di depan rumpun bambu itu, tegak berdiri sebatang pohon kelapa tepat di tengah-tengah pekarangan. Daunnya melambai-lambai diterpa angin yang sepoi-sepoi bertiup sore itu. Dari sela-sela lebatnya daun yang merunduk ke bawah, tampak beberapa buah kelapa dengan kulitnya yang mulai keriput dan mengering….
Begitulah kutipan paragraph pertama sebuah cerpen dengan judul Tupai di Kelapa Karto. Cerpen yang kebetulan menjadi judul untuk antyologi cerpen tersebut. Antologi Cerpen Tupai di Kelapa Karto merupakan antologi cerpen perdana yang saya tulis dan dibukukan. Butuh kurun waktu lama untuk menghimpun lebih kurang 23 cerpen dalam buku ini. Sebelumnya cerpen-cerpen tersebut telah terpublikasikan via blog ini.

Antologi Cerpen Tupai di Kelapa Karto menghadirkan kisah perjalanan seorang insan laki-laki yang mencoba memahami mahkluk Tuhan yang disebut wanita. Banyak pengalaman batin baik suka maupun duka yang dialaminya. Namun justru pengalaman-pengalaman tersebut justru yang mampuy menempa batin laki-laki tersebut sehingga pada akhirnya mampu menemukan jati dirinya sebagai seorang laki-laki yang memiliki banyak tanggung jawab atas kewajibannya sebagai seorang laki-laki yang telah terikat oleh sebuah tali perkawinan.

Tupai di Kelapa Karto sendiri bercerita tentang sosok laki-laki sederhana dengan pola pikir yang begitu sederhana, yang menjalani hidup dengan apa adanya tanpa aneh-aneh, narimo ing pandum-jawa- yang dalam kesahajaannya namun tetap memiliki rasa percaya dan berharap akan kemurahan Tuhan. Kepasrahan dan ketidakneko-nekoan ini justru mampu memberikan kebahagiaan dalam hidupnya.

Antologi Cerpen Tupai di Kelapa Karto, terbit petama Februari 2019 dengan tebak halaman 121 dengan kertas HVS A4 size 13Cm x 19Cm, diterbitkan melalui Diandra Creative.com yang bisa Anda peroleh via online dan beberapa market place yang ada.

Thursday 10 March 2016

Pada pagi hari aku bersama teman-temanku ingin mengikuti pertandingan futsal. Kami mendaftarkan tim kami, kemudian kami mengajak teman-teman kami datang ke lapangan murni untuk latihan bersama.

Kami latihan bersama di lapangan murni pada pukul 10.00 pagi. Kami latihan bersama dengan keras, kemudian kami pulang ke rumah masing-masing untuk makan siang. Kami pulang dan akan datang kembali pada saat pertandingan sudah akan dimulai.

Aku membeli makanan kesukaanku dan memesannya, lapangan murni itu terletak di dekat rumahku, sehingga aku hanya perlu naik sepeda untuk datang ke lapangan murni. Dan akhirnya, kami berkumpul kembali di lapangan murni. Kami melaksanakan pertandingan pertama, dan kami memenangkan pertandingan pertama itu.

Pertandingan itu diikuti oleh aku, Andrew, dan Rinky. Kemudian kami melanjutkan pertandingan, yang kedua. Kami memenangkannya juga. dengan skor 12-5. Kami selalu bermain dengan baik dan sportif. Aku dan teman-temanku selalu berusaha bermain yang terbaik untuk dapat memenangkan setiap pertandingan yang kami jalani.

Aku dan teman-temanku sangat senang kami menang. Aku dan teman-teanku menjadi juara 1 dalam pertandingan itu. Kami pun pulang ke rumah kami masing-masing untuk beristirahat.  Sesampai di rumah, aku enceritakannya kepada orang tuaku bahwa aku dan teman-temanku dapat memenangkan pertandigan itu, dan menjadi juara 1 dalam pertandingan itu.

***
Pada hari Senin, kami melaksanakan retret. Kami retret terdiri 2 gelombang. Kelas kami terasuk gelombang 2. Kami jalan-jalan pagi-pagi sekali, puku 10.00 - 12.00 WIB. Di sana kami mengendarai bus. Kami sampai sana sekitar pukul 14.00 WIB. Di sana kami sempatkan untuk bermain bola, mandi dan berstirahat. Tepat pukul 16.00 WIB kami masuk aula, pukul 17.00 WIB kami diberi snack dan pukul 19.00 WIB kami makan malam. Setelah beberapa jam kemudian, jam menunjuk pukul 10.00 malam. Kami pun diperbolehkan istirahat.

Hari esoknya kami mandi, berdoa dan snack dan langsung ke aula. Kami diberi game, pelajaran, dll. Pada saat jam 10.00 WIB pagi kami makan pagi, setelah makan pagi, kami kembali ke aula dan melakukan kegiatan, 2 jam kemudian kami makan siang. Sehabis makan, saya dan yang lainnya bermain bola sebentar dan sehabis  dari aula kami tidur pukul 11.00 WIB.

Hari Rabu, hari terakhir saya refleksi dan bermain saya senang saya menjalankan semua dengan sesama saya menunggu bus sehabis itu pulang.

***
Pada saat liburan Christmas tahun 2015, aku dikejutkan dengan kedatangan teman masa kesilku. Kami sudah lama tidak bertemu sejak dia pindah rumah ke Medan. Dahulu kami sering bermain bersama karena rumah kami berdekatan. Dia pun datang ke rumahku dengan kedua orang tuanya. Orang tuaku sudah kenal dekat dengan orang tua Sisca. Ya.... karena rumah kami dulu tetanggaan. Sisca pun mengajakku ke mall karena dia sudah lama tidak pergi ke mall yang ada di Jakarta. Dia pun mengajakku untuk nonton bioskop di Emporium Mall. Kami pun berangkat ke sana menggunakan mobil Sisca. Karena mamaku lagi sibuk di rumah, akhirnya hanya aku yang ikut.

Sesampai di Emporiu, kami pun langsung ke bioskop XXI untuk membeli tiket. Namun, karena film yang ingin ditonton Sisca sudah habis tiketnya, akhirnya kami pun tidak jadi nonton. Kami pun memutuskan untuk bermain Time Zone. Kami mengisi 200 ribu untuk bermain. Aku dan Sisca pun bermain banyak wahana permainan. Kami adu balapan, adu basket, adu haskey table dan masih banyak lagi. Pukul 2 siang kami pun pergi ke Gramedia setelag bermain di Time Zone. Kami melihat berbagai macam komik di sana. Kami berdua suka membaca komik. Bagi kami, komik dapat menambah imajinasi kam dengan membawa komik. Di samping itu, kami juga dapat merefresingkan diri dari stres dan lain-lain.

Setelah mutar-mutar di Gramedia, kami pun makan sore di Foodcort. Kira-kira pukul 4 sore kami makan. Aku memesan makanan di Pepperlunch. Aku pesan menu Beef peper Rice . Aku sangat suka menu itu. Sisca memesan steak di sana. Sambil makan kami pun bercerita tentang sekolah kami masing-masing dan kehidupan kami sekerang. Sangat seru rasanya bersama Sisca. Sudah lama tidak berbicara langsung dengannya. Rasanya hari ini sangat bahagia melebihi apapun. Jam menunjukkan pukul 6 sore, kami pun segera bergegas ke loby utama. Kami pun bersiap-siap untuk dijemput orang tua kami masing-masing. karena tidak mau merepotkan orang tua Sisca, papaku menjemputku di Emporium. Beberapa saat kemudian, orang tua Sisca datang menjemput. Kami pun saling melembaikan tangan. Rasanya sedih karena besok Sisca akan pulang ke medan.

Walaupun kami hanya bertemu sebentar, tetapi kami berdua sangat bahagia karena dapat bertemu kembali dari sekian lamanya. Beberapa saat setelah Sisca dijemut, papaku datang menjemputku. Aku segera masuk ke mobil dan dan pulang ke rumahku dengan hati gembira.

***
Bebek party ini berawal dari acara makan yang diadakan oleh Samantha karena ia berulang tahun. Kami diundang makan di restoran Bebek Tepi Sawah di Baywalk Mall. Acara in diadakan pada tanggal 1 September 2015 tepat di hari ulang tahun Samantha. Orang yang kami panggil Tata itu, mengundang sekitar 16 orang yaitu aku, Abigail, Ratna, Vania, Odi, Andy, Kevin, Ervan, Morris, Bryan, Angel, Graciela, SA, Christian, Victor, dan Alvina. Kami makan dan berfoto-foto. Selesai acara, kami mempunyai rencana untuk pergi ke Hype di PIK dan bermaksud ingin memakan dessert. Kami pergi ke Hype dengan menggunakan 1 mobil inova. Kami bersempit-sempitan karena kapasitas mobil  inova adalah hanya 9-10 orang saja. Sedangkkan kami pergi dengan 16 orang.

Sesampai di Hype, kami membeli minuman dengan menggunakan sedotan yang berbentuk kacamata. Saya dan kawan-kawan lebh tertarik dengan minuman karena terik matahari yang sangat panas ditambah lagi Hype yang tidak memiliki AC. Awalnya, kami ingin membuat bean boozled challenge tetapi tdak jadi karena bean boozled yang kami cari tidak ada.

Setelah dari Hype, kami ke depan Tzu Chi dan menunggu jemputan Tata datang. Setelah Tata pulang sekitar pukul 6, kami pun gabut dan berencana untuk pulang. Sesampainya di rumah, kami membuat grup yang bernama Bebek party di Line dan memposting foto yang kami ambil di Hype.

***

Sunday 20 December 2015

Hari pertama sampai hari keempat sekolah di antar mamanya. Di hari pertama, ditemani di dalam kelas sampai pulang. Hari kedua, ditunggui di luar kelas sampai pulang juga. Hari ketiga, diantar sampai di depan kelas. Begitu masuk kelas ditinggal pergi kerja. Hari keempat diantar mamanya juga. Hanya sampai gerbang sekolah. Dijemput guru dibawa ke kelas. Empat hari pertama sekolah bisa dibilang aman. Tak ada gelagat mencurigakan. Anakku menikmati sekolahnya.

Hari kelima anakku sekolah. Masih diantar mamanya. Kemudian ditinggal kerja. Dipikirnya anak sudah terbiasa. Nyatanya sesuatu terjadi. Di tempat yang jaraknya jauh dari sekolah. Di tempat biasa orang-orang mengurus surat izin mengemudi. Tiba-tiba saja Hp-ku berbunyi. Ibu guru sekolah anakku meneleponku. Ibu guru memberi tahuku, anakku nangis dan muntah-muntah. Badannya dingin sekali. Mungkin masuk angin. Bu guru minta kumenjemputnya pulang. Tak mungkin kumenjemputnya sendiri. Kutelepon pengasuhnya, kusuruh dia menjemputnya. Hari keenam dan ketujuh, anakku istirahat di rumah. Kesehatannya sedang terganggu rupanya.

Hari pertama minggu kedua sekolah. Anakku minta masuk sekolah. Dia mandi dan pakai seragam sendiri. Baru keluar rumah dia bilang malas dan sakit perut. Mamanya tetap mengantar ke sekolah. Di ruang kelas tidak mau ditinggal. Dia minta ditunggui. Diam-diam ditinggal pergi. Pakai acara dibohongi oleh mama dan bu gurunya. Tahu dibohongi, anakku ngambeg. Nangis dan minta pulang. Pengasuhnya pun menjemputnya pulang. Sore hari, saat aku menjemputnya. Anakku bilang, dia kesel sama mama dan bu gurunya. Kesel karena dibohongi, katanya.

Hari kedua minggu kedua. Pagi-pagi anakku mandi sendiri. Pakai baju sendiri. Disuruhnya mamanya menelepon bu guru. Untuk menanyakan seragam apa yang dipakainya. Selesai berpakaian, dia mogok. Tidak mau berangkat sekolah. Katanya malas dan sakit perut lagi. Diantar saja ke rumah pengasuhnya. Oleh pengasuhnya dibujuk-bujuk sekolah. Dia mau diantar sekolah. Sampai di depan pintu pagar sekolah, anakku minta pulang. Tiba-tiba badannya dingin dan muntah-muntah. Dipikirnya masuk angin, pengasuhnya membawanya pulang. Nyatanya di rumah anakku segar bugar. Bisa ketawa-tawa dan bermain-main lagi.

Aku dibuatnya pusing oleh sikapnya. Mengapa dia tak mau sekolah? Aku tak tahu sebabnya. Bila ditanya kenapa? Jawabnya selalu saja, tidak ada apa-apa. Aku kehabisan akal. Aku tak dapat membujukknya. Tak ada cara lain yang dapat kulakukan. Kecuali mencoba menghubungi bu gurunya. Lewat telepon kusampaikan permasalahan itu. Aku minta bu guru membujuk anakku. Siapa tahu anakku mau nurut dengan ibu gurunya. Bu guru pun bersedia membantu. Entah gimana caranya, bu guru pasti punya caranya tersendiri.

Benar saja. Hari ketiga minggu kedua sekolah. Pagi-pagi benar ketika anakku baru bangun tidur. Ibu guru menelepon. Bu guru bicara langsung dengan anakku. Entah bu guru bilang apa? Aku tak tahu. Tiba-tiba saja anakku minta mandi kemudian berpakaian sendiri. Minta diantar sekolah oleh pengasuhnya. Pagi itu anakku diantar pengasuhnya dan mamanya. Sampai di depan gerbang sekolah. Bu guru menjemputnya. Menggandeng tangan anakku dan menuntunnya masuk kelas. Anakku nurut saja dibawa bu guru. Pengasuh dan mamanya seperti tak dihiraukan lagi. Mamanya pun pergi kerja. Hanya pengasuhnya tetap mengawasi dari luar kelas.
Di dalam kelas hari itu, anakku didampingi Bu guru untuk beberapa saat. Pelan-pelan dilepas dan disuruhnya bergabung dengan teman-temannya. Terdorong oleh rasa penasaran. Aku cari tahu kabar anakku dari Bu guru. Kutelepon bu guru. Bu guru bilang aman. Anakku sudah mau bergabung dengan teman-temannya. Bermain-main dan bernyanyi bersama. Bahkan hari itu anakku tidak lagi nangis dan nyari-nyari mamanya lagi. Hari itu anakku bertahan sampai pulang sekolah.

Saat sore hari aku menjemputnya. Pengasuhnya bilang, kata bu guru anakku termasuk pintar. Baru sekali dikenalkan dengan pensil dan buku tulis, anakku sudah bisa menulis namanya sendiri. Bisa juga menggambar dan mewarnai dengan rapi. Ini terlihat menonjol jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Di perjalanan ke rumah, anakku bercerita dengan senangnya. Tentang apa yang baru saja dia kerjakan di sekolah pagi tadi. Sesampai di rumah, kupeluk anakku. Kucium beberapa kali. Dalam hati kuberharap. Semoga besok sekolahmu makin enjoy lagi Nak...!

***

Tuesday 15 December 2015

Pagi ini aku mengajar di kelas 8. Kebetulan materi pembelajarannya tentang menanggapi pementasan drama. Belum juga saya selesai menyampaikan maksud dan tujuan pembelajaran, seorang anak kemudian bertanya: "Pak, untuk materi seperti ini kenapa Bapak tidak membawa saja kami ke laboratorium bahasa. Di sana, ntar Bapak bisa putarkan VCD drama dan kami tinggal menyimaknya, enakkan...?" Mendengar pertanyaan tersebut aku tersenyum saja, lalu menjawab: "Wah, itu ide yang sangat bagus..., tapi...!" "Tapi.., tapi.. kenapa Pak?" Anak tersebut balik bertanya. Aku pun menjawab dengan sedikit berdiplomasi untuk sekedar menutupi kemalasanku dalam mengoperasikan perangkat-perangkat di ruang laboratorium bahasa yang memang masih baru tersebut. "Begini Nak, Bapak bisa memperbaiki radio, televisi, maupun AC itu, karena terlebih dulu Bapak belajar dari barang-barang tersebut yang masih baru. Maksud Bapak, Bapak harus merusak barang-barang itu untuk kemudian dicoba-coba perbaiki berulang kali sampai berhasil." Aku menghela nafas sejenak. Kulihat semua murid terdiam seperti tak sabar menunggu kelanjutan bicaraku. "Nah, haruskah perangkat-perangkat di laboratorium itu terlebih dulu rusak oleh Bapak, supaya Bapak bisa memakai dan mengoperasikannya...!" Terlihat wajah-wajah mereka semakin penasaran mendengarnya dan aku pun melanjutkan bicara. "Ogah ah. Kalau harus begitu. Bapak takut dimarahi teman-teman Bapak. Malah bisa-bisa anak dan istri Bapak setahun nggak makan nantinya..!" Terlihat wajah-wajah mereka seperti memelas kali ini. "Sudahlah, daripada hanya menjadi penonton saja. Yuk kita main drama-dramaan sendiri saja di kelas. Trus nanti ganti-gantian kita ngasih komentar. Tapi jagan hanya komentar-komentaran." Kemudian seorang murid bertanya : "Kenapa gak boleh komentar-komentaran Pak?" "Materi pembelajaran kali ini kan menanggapi pementasan drama. Jadi dramanya boleh drama-dramaan, tapi komentarnya harus benar-benar yang berisi tanggapan atas drama-dramaan tersebut. Jadi, harus logis dan disertai bukti atau alasan yang masuk akal. Ini inti pelajaran pagi ini." Kemudian anak-anak bergabung dalam beberapa kelompok kecil. Mereka mulai mempersiapkan kelompoknya untuk memerankan sebuah drama secara sepontan. Beberapa saat kemudian kelompok-kelompok itu pun bergantian saling memerankan drama. Sementara kelompok yang sedang tidak mendapat giliran di depan menyimak dan kemudian saling memberikan tanggapan dengan sangat antusias. Pelajaran pagi ini berjalan dengan penuh kegembiraan, tampak wajah-wajah mereka berseri kembali setelah disuntukkan oleh Ulangan Matematika pada jam pelajaran pertama tadi.
***

Sunday 13 December 2015

Sedang asyiknya menikmati waktu kosong di sela-sela kesibukan mengajar. Menghabiskan waktu dengan duduk-duduk santai di kursi piket. Sesekali tangan membuka-buka buku daftar hadir kelas. Merekap siswa-siswa yang tidak masuk pada hari ini. Tiba-tiba di kejauhan secara tidak sengaja, mataku menatap dan beradu pandang dengan seseorang yang kemungkinan adalah orang tua murid sekolah ini. Dari raut wajahnya, tampak jelas kegelisahan padanya. Gurat-gurat di wajahnya menampakkan kekecewaan yang benar-benar mendalam dia rasakan.
Tepat di depan meja piket dia berdiri. Kucoba sapa dengan ramah dan penuh sopan.

"Selamat siang, Bu! Ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat siang, Pak! Bisa saya bertemu dengan Pak Anto, wali kelas 8F?" dia bertanya dengan suaranya yang lemah.
"Oh, bisa-bisa Bu, silakan dan sayalah Pak Anto." seraya kuulurkan tanganku sambil memperkenalkan diri.
"Ibu ini siapa ya?"
"Perkenalkan Pak, nama saya Lisa, orang tua dari Lenni kelas 8F." dia mulai berbicara secara perlahan dan tampak begitu sopan.
"Pak, saya bingung dengan perkembangan anak saya akhir-akhir ini. Di rumah jarang sekali belajar. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk bermain-main di depan komputer." Ibu itu mulai membuka pembicaraannya.
"Pernah suatu kali saya lihat hasil ulangan hariannya, dan sungguh mengecewakan sekali hasilnya. Ulangan-ulangannya semuanya hampir tidak ada yang beroleh di atas KKM, dan harus remedial, Pak," suara ibu itu semakin tinggi dengan nada yang penuh kekecewaan.
"Dan Pak..! Yang membuat saya semakin bingung sekaligus kesal, setiap kali saya saya nasihati, anak saya ini malah berontak dan melawan. Terus terang Pak, saya selaku orang tuanya menjadi bingung." Ibu itu kemudian terdiam, seperti hendak menunggu tanggapan dariku.

"Maaf ya, Bu..! Boleh saya bertanya?" aku mulai membuka suara.
"Silakan, Pak..!"
"Sekali lagi, maaf ya Bu, Ibu punya anak berapa?" Aku mulai dengan pertanyaan ini yang mungkin adalah pertanyaan yang tidak sama sekali diduga oleh Ibu tersebut. Nyatanya, Ibu itu sempat terbelalak dan baru menjawab pertanyaanku.
"Dua, Pak..! Yang pertama sudah lulus kuliah dan tahun ini sudah mulai bekerja di sebuah bank swasta di kota ini." Dia mulai bercerita tentang anak pertamanya. " Dan.., dan yang kedua si Lenni. Saya bingung. Pak, Lenni nyatanya tidak seperti kakaknya."
"O... dua ya Bu...!" seolah aku memastikan
"Betul Pak..!" jawabnya.
"Nah, begini Bu, Ibu punya anak dua saja sudah bingung begitu. Lah saya, 30 Bu..!"
Aku diam sejenak.
"Coba Bu, bayangkan..! Apa saya tidak lebih bingung...!"jelasku dengan nada yang sedikit tinggi.
"Saya strees Bu, melihat anak-anak sekarang yang susah diatur..! he..he...he...!

Sengaja kulemparkan kata-kata ini dengan sedikit berseloroh. Harapanku bisa sedikit menenangkan kegundahan dan kegelisahan sang ibu itu. Dan benar nyatanya, dari sorot matanya kulihat mulai berbinar. Emosinya mulai tertata dan kegelisahan perlahan mereda. Tampak seutas senyum tertahan di sudut-sudut bibirnya.
"Jadi begini Bu. Kita ini orang tua, hendaknya memiliki kesabaran lebih ketika menghadapi anak-anak yang nakal dan susah diatur sekalipun. Niscahya dengan kesabaran ini, insya Allah secara perlahan anak-anak tentu dapat kita arahkan menjadi lebih baik. Daripada marah-marah menguras energi, belum tentu anak-anak akan menurut. Malah bisa-bisa berontak dan bersikap lebih keras ketimbang yang tua-tua seperti kita ini. Eh, malah jadi menggurui. Tapi begitukan Bu..!" tegasku.

"Hmmm, betul juga ya Pak...! Jadi merepotkan Bapak saja ini saya. Kalau begitu permisi Pak. Maaf telah merepotkan Bapak."
"Ah, tidak apa-apa Bu. justru saya yang berterima kasih atas kedatangan Ibu."
Kemudian kami pun berjabat tangan. Ibu itu pun mulai beranjak dari meja piketku dan aku kembali merekap absensi kelas yang sempat tertunda. "Apa jadinya seandainya tadi dengan serta merta larut terbawa emosi sang ibu tadi?" Gumanku dalam hati


***

“Anak-anak meriah lho, pestanya. Gak ada yang mendampingi!" Tiba-tiba suara memecahkan kesunyian di ruang ini. Sunyi bukan karena tidak ada orang. Banyak orang malah. Orang-orang di sini terlihat asyik dengan diri sendiri. Duduk diam di depan meja. Matanya menatap tajam pada layar kaca di meja depannya. Layar monitor komputer PC tentunya. Bukan sedang mengerjakan administrasi mengajar, melainkan asyik membuka-buka halaman FB. Sebuah situs jejaring sosial yang sedang jadi trand di saat sekarang ini. Dari anak-anak sampai yang tua, dari desa sampai perkotaan banyak dari mereka yang sudah kenal dengan situs FB ini.Orang-orang di sini sedang asyik mengupdate status, kemudian memberi komentar atas status teman, atau berkomentar balik atas komentar teman tentang status yang ditulisnya. Sebagian lagi asyik dengan ikan-ikannya, membersihkan kolam, memberi makan sampai menjual kemudian membeli ikan lagi. Jangan berpikir ikan beneran. Ikan-ikan itu hanyalah ikan maya yang didapatnya dari sebuah permainan. Biasa disebut happy aquarium. Membaca namanya saja, permainan ini tentunya menyenangkan dan mengasyikkan. Siapa yang memainkannya ditanggung pasti happy.
Dari pintu belakang kembali BB berjalan cepat menuju pintu depan. Terlihat matanya melirik ke arahku dan beberapa teman yang duduk-duduk di tengah ruangan ini. Matanya menatap dalam seolah tak hendak melupakan apa yang dilihatnya itu. Kemudian merekamnya masuk ke dalam otak dan dijadikannya real file yang mungkin nanti akan digunakannya saat waktu pengadilan tiba. Oh ya, terhadapnya aku lebih senang menyebutnya BB, sebab tak mungkin bagiku untuk menyebutnya secara lugas. Tak ada keberanian dalam diriku untuk menyebutnya dengan lugas tanpa tedeng aling-aling. Istilah BB sengaja aku pinjam dari teman-teman yang lebih awal menyebutnya begitu. Aku sendiri belum paham benar dengan maksud BB di sini. Apakah itu kependekan dari big boss? atau menyebut produk HP Black Barry? Sebuah produk Hp yang saat ini sedang banyak digandrungi oleh orang banyak, karena kecanggihannya dan kelengkapan fiturnya. Ataukah BB di sini yang dimaksudkan adalah pertautan antara kedua konsep di atas? Entah metonimia entah apa namanya, bodo amat. Aku tak tahu banyak. Aku tak tertarik menganalisisnya lebih jauh. Yang aku tahu BB yang ini lain dari pada BB yang sudah-sudah.
"Bu Anu ke mana?" kembali suara terdengar keras. Tak jelas kepada siapa pertanyaan itu dimaksudkan. Aku dan beberapa teman cuma bengong dan saling memandang. Tak sepatah katapun keluar dari mulut kami. Tak ada respon atas pertanyaan itu. Gak perlu direspon pertanyaan itu, bisikku kepada teman-teman lewat sinyal mataku. Untung teman-teman tanggap akan sinyal itu sehingga tak satupun yang menanggapi pertanyaan itu. Sampai akhirnya BB pun berlalu terkesan terburu-buru.
Waktu tepat tengah siang. Di luar sana, hingar bingar suasana pesta telah terhenti. Alunan musik yang sedari tadi silih berganti tak terdengar lagi. Pendopo telah menjadi sepi. Kerumunan anak-anak satu persatu pergi. Giliran para pesuruh yang menjadi sibuk, beres-beres dan bersih-bersih. Para pesuruh bekerja seperti robot-robot, terkesan kaku dan setengah hati. Di bawah kendali peluit dan komando BB. Di ruangan lain, aku dan beberapa teman tak lagi asyik dengan FB-nya. Kami duduk-duduk saja, sekedar menunggu waktu. Di depan sana BB seperti terpaku. Diam dan kaku. Di matanya sinar kesal terpancar. Mungkin kesal pada kami. Pada kami yang hari ini tampak apatis dan tak mau tahu dengan pesta itu.
***


Saturday 12 December 2015

"Ini adalah kali kedua saya memanggil kamu!" kata Bu Guru sambil mendudukkan diri di kursi yang tepat menghadap denganku.
"Iya, Bu" jawabku dengan nada rendah.
"Jadi, kamu tahu, apa konsekuensinya?" Kemudian Ibu itu sibuk dengan beberapa kertas ulangan harian yang belum sempat dikoreksinya.

"Ya, Bu. Saya tahu."

Tanpa harus bertanya lagi, aku sudah tahu. Apa yang Bu Guru mau dengan memanggil aku sekarang ini. Tak salah lagi, pasti Bu Guru menghendaki mama datang ke sekolah. Ini adalah kesepakatan di antara saya dengan Bu Guru. Bilamana aku melakukan kesalahan lagi, atau tepatnya pelanggaran. Begitu Bu Guru biasa menyebutnya, mama harus datang ke sekolah. Saya baru diperbolehkan mengikuti pelajarannya lagi setelah mama datang dan menandatangani surat perjanjian yang saya buat. Selama mama belum datang, sudah tentu aku belum boleh mengikuti pelajarannya.
"Jadi, tunggu apa lagi?" suara Bu Guru kali ini terdengar lebih bertenaga, seperti hendak menyuruhku keluar dari ruangannya.
"Baik, Bu..! Selamat Siang..!" Aku pun keluar dari ruangan itu, tanpa menghiraukan lagi, apakah salamku disambut atau tidak. Kali ini aku dipanggil Bu Guru, karena aku tidak mengerjakan PR yang diberikannya. Aku bukan sengaja tidak mengerjakannnya, tapi memang karena aku tidak bisa.

Seminggu yang lalu Bu Guru juga memanggilku. Itu kali pertma aku dipanggil Bu Guru. Ketika itu Bu Guru sedang mengajar tentang penjumlahan di kelasku. Sebuah materi yang bisa dibilang cukup mudah untuk anak-anak seusiaku, sebab hanya berkisar mengenai penjumlahan sederhana. Jangankan untuk anak-anak seusiaku, anak-anak TK pun barangkali bisa mengikuti materi itu.
"Baik, sekarang berapakah hasil penjumlahan dari satu ditambah satu? Hayo, siapa bisa jawab, angkat tangan...!" Suara Bu Guru dapat aku dengar dengan jelas dari belakang. "Duaaaa......, Bu....., Duaaaa....!" Begitu jawaban yang muncul hampir dari semua siswa seisi kelas secara bersamaan. Seperti sebuah koor tanpa pemandu suara. Di pojok belakang kelas aku terdiam sendiri seperti kebingungan. Aku tak paham dengan jawaban teman-teman itu. Aku hanya bersungut-sungut saja, seolah ragu. Aku tidak mengerti, bagaimana teman-teman memahami penjumlahan yang demikian. Aku terus bersungut-sugut dengan sesekali garuk-garuk kepala dan manggut-manggut.

Sikapku yang demikian, ternyata tak lepas dari perhatian Bu Guru.
"Cavin..!" Tiba-tiba saja terdengar Bu Guru memanggilku. Aku terkaget sejenak dan kubenahi dudukku.
"Iiii,ii ya.., Bu...!"jawabku dengan terbata.
"Kalau menurut kamu berapa hasil penjumlahan satu ditambah dengan satu?" begitu Bu Guru mengulang pertanyaan itu.
"Tiga, Bu..!" jawabku dengan lantang.
"Gueeerrrr, Huuuuuuhhhhhhhhhhhhh, !' Tiba-tiba kelas menjadi sangat riuh rendah, bercampur gaduh. Semua mata seperti menatap ke arahku. Semua perhatian tertuju padaku. Tatap-tatap mata seolah meragukan jalan pemikiranku. Pun Bu Guru, seperti terhentak oleh jawabanku. Mukanya menegang, dan dari sinar matanya terpancar sebuah kemarahan besar. Sudah tentu kemarahan itu muncul oleh jawabanku yang seperti itu. Jawaban yang menurut orang banyak sangat tidak masuk akal. Sangat tidak logis dan jauh dari jangkauan akal sehat.
"Berapa...., berapa...., Cavin?" Sekali lagi Bu Guru bertanya, seperti tak yakin dengan jawabanku.
"Tiga, Bu" jawabku kali ini dengan sedikit berani.
"Kamu ngeledek saya ya..?" suara Bu Guru semakin meningkat.
"Ngeledek, ngeledek gimana, Bu?" tanyaku seolah tak percaya.
"Lha itu, dengan jawabanmu seperti itu, kamu ngeledek saya khan...!"
"Enggak..., enggak...., Bu, memang saya menjawab tiga."
"Sudah, Ibu tak perlu penjelasan darimu. Sekarang kamu ke luar !" Bentak Bu Guru sambil mengarahkan jaru telunjukknya ke arah pintu. Aku pun ngeloyor meninggalkan ruang kelas itu, tanpa menghiraukan lagi kemarahan Bu Guru.

Di luar kelas, aku masih tak mengerti juga, mengapa di mata teman-teman dan juga Bu Guru satu ditambah satu sama dengan dua, bukannya satu ditambah satu sama dengan tiga. Aku menjadi tak mengerti dan semakin bingung saja. Pada sebuah kursi yang terbuat dari beton berlapiskan keramik usang aku duduk bersandar di dinding. Mataku memejam dan keningku berkerut memikirkan hal itu. Riuh tawa teman-teman di dalam kelas samar-samar mulai tak kudengar lagi. Semilir angin yang bertiup di siang itu membawa pikiranku masuk ke dalam lamunan yang panjang.
Aku terbawa ke masa laluku. Masa dimana aku masih bersama dengan kakekku. Ketika itu umurku belum genap lima tahun. Bersama kakek itulah aku menghabiskan hari-hariku. Mama dan papaku terlalu sibuk bekerja. Jarang sekali aku bisa bertemu dengan kedua orang tuaku. Mama dan papa sering pulang malam karena urusan kantor yang katanya harus diselesaikan. Maka tak heran jika pada akhirnya aku lebih dekat dengan kakekku ketimbang dengan kedua orang tuaku. Dari kakekku inilah pertama kali aku mengenal yang namanya menghitung. Masih kuingat jelas pitutur kakek ketika itu. Ketika untuk pertama kalinya kubertanya tentang asal mula manusia di dunia ini. Dan bagaimana pula kakek menjelaskan akan hal itu. Sungguh suatu penjelasan yang mampu melekat kuat di benakku sampai sekarang ini. Sebuah penjelasan yang menurutku sungguh masuk diakal. Dari penjelasan kakek itulah aku tahu bahwa sesungguhnya satu ditambah satu sama dengan tiga, bukan dua. Tiga adalah jawaban yang benar. Dua adalah jawaban yang salah. Tapi kenapa justru pendapat yang menurutku benar, justru di mata teman-teman dan juga guruku sendiri dikatakan salah. Aku kian tak mengerti.

Lonceng tiba-tiba berbunyi. Aku tersentak. Satu demi satu teman-temanku mulai keluar dari ruang kelas. Seperti membentuk barisan panjang. Di paling belakang kulihat Bu Guru membawa setumpuk kertas ulangan. Aku berdiri setengah menunduk. Tepat di mana aku berdiri, Bu Guru berhenti. Tak ada senyum sedikit pun.
"Cavin...! Hari ini Ibu ulangan, kamu tidak boleh ikut susulan sebelum mama kamu datang. Usahakan besok mama kamu bisa datang. Dengan demikian kamu tidak banyak ketinggalan pelajaran." Suara Bu Guru seperti memberiku pengharapan.
"Kamu paham, Cavin?"
"Paham, Bu." jawabku dengan sedikit mengangguk.
"Baik kalau begitu. Sekarang pulanglah!" suruh Bu Guru dengan lembut.
"Baik, Bu. Selamat siang!"
"Siang Cavin." sambut Bu Guru seraya meninggalkanku.

Kuambil tasku yang masih di dalam kelas. Kelas telah sepi. Tak satu pun teman di sini lagi. Aku pun melangkah pergi kian menjauh dari halaman sekolahku. Langkahku tertuju pada deretan rumah yang letaknya tak seberapa jauh dari sekolah itu. Di situlah rumah kakekku. Ke rumah itulah langkah kakiku menuju. (bersambung...)

Friday 11 December 2015

Hari masih pagi-pagi benar. Sinar mataharbaru saja memancar dengan cerahnya. Kebetulan langit di atas sana tampak begitu bersih tanpa segumpal awan pun. Aku segera bergegas dengan sepeda ontelku menyusuri jalan-jalan yang masih sunyi. Menyusuri jalanan kecil di tepi desa di sepanjang kampungku di kanannya tampak hamparan tanaman padi yang mulai menguning. Padi-padi itu tampak menunduk dan memancarkan cahaya keemasan ditimpa sinar mentari pagi ini. Setiap pagi aku biasa menyusuri jalan dalam jarak 15 km ini dari rumah menuju sekolah. Jarak yang demikian biasa kutempuh dalam waktu 30 menit. Tepat dipertigaan di sudut kampungku, aku mengambil arah ke kanan menuju sebuah kampung yang hanya terpisahkan oleh sebuah tanah pekuburan desa. Tepat tiga rumah dari pekuburan itu, di situlah rumah Riri. Aku berhenti sejenak. Tapi pagi ini, tak kulihat Riri di depan rumah. Mungkin Riri telah berangkat duluan pikirku. Dan perjalanan pun aku lanjutkan. Pagi ini Riri tidak bersamaku, tidak memboncengku. Toh nanti ketemu juga di sekolah, pikirku. Kupacu sepedaku sekuat tenagaku, tak sabar aku ingin menjumpai Riri di sekolah nanti.

Tiba di sekolah waktu belum genap jam 7 pagi. Masih dua puluhan menit lagi kurangnya. Buru-buru kutaruh sepedaku di parkiran belakang sekolah. Dari situ, aku langsung ke ruang kelasku, kutaruh tas berisi buku-buku. Kemudian bergegas ku ke arah ruang kelas di sebelah kelasku. Di situlah ruang kelas Riri. Segera kulongok ke dalam, mataku mencari-cari Riri. Nyatanya belum ada juga. Maka berlarilah aku menuju ke arah gerbang sekolah. Maksudku ku mau menunggu Riri di sana, sebab bisa jadi Riri belum datang.
Terdengar bel pagi berbunyi. Teman-teman yang semula duduk-duduk dan bergerombol di halaman dan emper-emper kelas mulai beringsut ke kelas masing-masing. Mereka bersiap menerima pelajaran pagi ini. Baru kakiku mulai melangkah meninggalkan gerbang sekolah, kulihat dari arah depan sana, Riri berjalan menuntun sepeda ontelnya. Kudekati dia, kubantu bawa sepeda ke tempat parkir. Aku tahu sepedanya kempes, sepertinya terkena paku saat di perjalanan. Sementara aku menaruh sepeda di tempat parkir, Riri menungguku di pojok gedung sekolah.
"Ri..., saat pulang sekolah nanti, aku mau ketemuan. ada yang aku mau sampaikan ke kamu."
"Emang ada apaan..?"
"Nanti aja, aku kasih tau semuanya."
"Gimana, bisa nggak..?"
"Ya udah, aku bisa."
"Ok. aku tunggu di taman sekolah siang nanti."
Hanya itu percakapan yang tercipta di antara aku dan Riri pagi ini, sebab kami harus segera menuju ke kelas masing-masing. Tepat di ujung di depan perpustakaan kamu berpisah, Riri ke arah kiri, ruang kelas 7B ditujunya. Aku ke arah kanan ruang kelas 8C yang aku tuju.
Sampai di depan pintu kelas, aku berhenti sebentar. Tampaknya, Pak Harso guru Matematika sudah berada di dalam. Aku berdiri diam sebentar, ada perasaan takut seketika menghantui. Aku takut masuk ke kelas. Sebab pagi ini aku lupa mengerjakan PR yang kemarin diberikan Pak Harso. Aku tahu persis, Pak Harso pasti marah besar jika kedapatan muridnya tidak mengerjakan PR. Hukuman berdiri selama pelajaran berlangsung atau menyanyi di depan kelas itu jelas dialami siswa tersebut. Tiba-tiba aku ingat niatan ketemuan Riri siang nanti, niatan itu seperti menggugah keberanianku, seketika hilang rasa takut dan penakut itu.
Kuketuk pintu kelas, terdenga suara Pak Harso mempersilakanku masuk. Aku buka pintu perlahan dan kumelangkah ke dalam. Di depan Pak Harso kuberdiri. Kuucapkan selamat pagi, tak lupa kumeminta maaf atas keterlambatanku pagi ini. Sudah tentu sebelum kudiizinkan duduk di kursiku sebuah judul lagu harus aku nyanyikan terlebih dulu di depan kelas sebagai hukuman atas keterlambatanku. Namun begitu, aku bersyukur juga, sebab pagi ini sesi pembahasan PR sudah berlalu, dan Pak Harso mulai memberikan materi pelajaran yang baru. Dengan begitu aku lewat dari hukuman yang kedua. Hukuman atas kelalaianku mengerjakan PR pagi ini.
Pagi ini pelajaran Matematika yang dua jam pelajaran ini terasa lama sekali. Sepertinya jarum jam berat untuk berputar meninggalkan angka delapan. Belum lagi pelajaran berikutnya adalah Fisika dan Bahasa Inggris. Kedua mata pelajaran ini tak kalah menakutkan diriku. Baik Matematika, Fisika dan juga Bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang sudah dapat dipastikan nantinya beroleh angka 40 di rapor. Nilai minimal yang boleh ditulis di rapor untuk anak-anak yang tidak mempunyai kelebihan akademis seperti aku ini. Maka setiap kali pelajaran tersebut jika tidak terpaksa, alias ada kesempatan untuk membolos, pasti aku memilih membolos.
Tapi hari ini kesempatan membolos tidak terbuka untukku. Minggu lalu telah diumumkan, jika Fisika dan Bahasa Inggris hari ini akan ulangan. Mau tidak mau aku harus ikut ulangan. Setidak-tidaknya biar tidak mendapatkan nilai nol nantinya. Meskipun aku sadar bahwa aku sedikit pun tak ada kesiapan untuk ulangan itu. Tapi biarlah, tak ada salahnya aku mengikutinya. Meskipun sesungguhnya aku sendiri tidak yakin bisa dan tidaknya ulangan sebab semalam aku sama sekali tidak belajar. Pikiranku sedang tidak terfokus, tak dapat berkonsentrasi sedikit pun. Bila saja tubuhku di dalam kelas sesungguhnya pikiranku melayang jauh ke taman di depan sekolah. Sebuah taman di mana di sana nanti sepulang sekolah aku akan bertemu dengan Riri.
***
Bel berbunyi tiga kali. Jam di dinding sekolah menunjuk pukul 12.30 WIB. Waktunya pulang sekolah. Murud-murid yang semula suntuk belajar sebentar lagi bakal berhamburan ke luar kelas. Di antara mereka banyak yang langsung berhambur ke halaman sekolah untuk bermain-main bola. Sebagian lagi langsung menuju ke parkiran sepeda. Mengambil sepeda masing-masing kemudian pulang.
Sebuah taman yang tidak begitu luas terletak di sisi Barat halaman sekolah. Di taman itu ditumbuhi berbagai tanaman hias, dari yang berbunga atau sekedar berdaun saja. Tanaman-tanaman itu tampak terpelihara dan tertata dengan rapinya. Semua tampak segar dan menghijau dengan beberapa bunga beraneka warna yang sedang bermekaran. Rumput-rumput di taman ini pun terlihat begitu lebat dan menghijau seperti hamparan permadani yang bila tertimpa cahanya matahari tampak begitu berkilau. Sebuah pohon mangga dengan batangnya yang besar dan berdaun rindang tampak berdiri kokoh di tengah-tengah taman itu. Meskipun matahari sedang terik-teriknya, tak pernah sinarnya jatuh langsung menyentuh tanah di bawah pohon tersebut. Sinarnya terhalang oleh kelebatan pohon mangga itu. Di bawah pohon itu terdapat beberapa bangku panjang. Bangku-bangku tersebut sering dimanfaatkan oleh teman-teman untuk sekedar duduk bersantai atau pun belajar di sela-sela istirahat atau pun menunggu jemputan.
Di bangku panjang itu kulihat Riri sedang duduk sendiri. Mungkin dia sedang menungguku sebagaimana pagi tadi telah kusampaikan keinginan bertemu sepulang sekolah ini. Kulihat dia begitu menikmati kesendirian itu dengan membuka-buka sebuah majalah sekolah yang memang tadi pagi baru saja dibagikan secara gratis kepada murid-murid. Aku tahu halaman mana dari majalah itu yang selalu dia tunggu-tunggu. Tentu saja pada sebuah halaman yang memuat rubrik puisi. Rubrik ini memuat berbagai puisi karya murid-murid termasuk puisi tulisanku pun selalu dimuat dalam rubrik tersebut.
Dari arah belakang kucoba mendekati Riri. Langkahku teramat perlahan sampai tepat berdiri di belakang Riri. Riri belum juga sadar akan kedatanganku. Jarak di antara kami kian mendekat. Tinggal sejengkal saja. Malah kurang. Aku terdiam sejenak. Kemudian dengan kedua telapak tanganku, kudekap erat kedua pelupuk matanya. Dia tersentak seolah hendak berontak. Tapi, tak hendak kulepaskan juga. Biar Riri penasaran pikirku. Kemudian Riri terdiam. Hanya sebelah tangan kirinya memegang kedua tanganku yang masih saja lekat di kedua matanya. Perlahan dia coba melepasnya dan berkata lirih padaku.
”Sudahlah Din, lepaskan! Aku tahu kok, pasti kamu yang datang!” pinta Riri dengan penuh manja. Aku pun melepasnya kemudian kuposisikan duduk di sebelah Riri.
”Sorry, Ri. udah lama menunggu?” begitu aku memulai pembicaraan siang itu.
“Belum kok, baru juga. Belum ada satu jam!”
“Oh, satu jam. Sorry..sorry...!” sergahku dengan penuh rasa bersalah karena telah membiarkan Riri menungguku begitu lama.
“Trus.. tumben-tumbenan kamu ngajak aku ke sini. Ada apaan sih Din?”
”E.. Anu Ri. Sebenarnya ada yang aku mau sampaikan ke kamu.” Aku diam sejenak.
”Apaan Din?” Riri seperti tak sabar ingin segera mengetahui apa yang ingin aku katakan.
***
Matahari di siang ini begitu terik. Seperti tegak bergantung tepat di atas kepala. Udara begitu gerah dan panas. Angin yang sesekali bertiup sepoi menggoyang dedaunan rindang tak mampu meneduhkan insan yang berteduh di bawahnya. Hatiku semakin gundah, resah dan begitu gelisah. Sejenak kami larut dalam kebekuan. Masih teringat jelas kata-kata Papa semalam, bila esok aku harus sudah berangkat ke kotaku yang baru. Kucoba hirup nafas perlahan. Udara terasa berat mengalir ke dalam paruku melalui rongga tenggorokan. Tiba-tiba tenggorokan ini berasa tersumbat. Tertahan beberapa kata yang hendak aku ucap. Kucoba menata hati, patah demi patah kata kurangkai untuk segera diucap.
“Ri..., barangkali saja...” aku terdiam
“Barangkali apa...!” sambung Riri penasaran
”Barangkali pertemuan ini adalah....!”
Tiba-tiba terdengar detring telepon genggam dari dalam tas Riri. Aku berhenti bicara. Kubiarkan Riri mengangkat teleponnya dulu. Dari pembicaraan Riri aku bisa menebak apa isi pembicaraan itu. Ya, aku tahu. Riri harus segera pulang. Ayahnya sakit keras.
Raut muka Riri yang semula tampak berseri tiba-tiba menjadi muram dan urung sekali. Tampak kesedihan begitu nyata dari kedua tatap matanya. Riri menunduk lesu dan merebahkan kepalanya di bahuku. Aku tersentuh, aku merasakan kedukaannya yang begitu mendalam. Tanpa pikir panjang kuurungkan niatku untuk mengatakan perpisahan itu kepadanya. Aku tak rela menambah kesedihan di hati Riri yang memang sedang sedih karena ayahnya yang sakit. Kurauih tangan Riri perlahan kuajak dia bangkit dan berdiri.
Sudahlah Ri, ayo kuantar kamu pulang.” pintaku dengan tulus.
”Tapi, tapi.. kamu kan belum bicara apa-apa sama Riri.” katanya.
”Sudahlah, yang terpenting ayahmu harus segera ditengok barangkali perlu segera di bawa ke dokter.”
Dengan perlahan pula kugandeng tangan Riri sambil berjalan. Parkiran belakang sekolah yang kami tuju. Di sana sepeda kami telah siap mengantar pulang. Dalam hatiku masih tersimpan beban atas penjelasanku buat Riri. Mungkin suatu saat nanti aku akan menjelaskannya dengan cara yang lain. Di serpanjang jalan lebih banyak kami berdiam diri. ”Selamat tinggal Riri. Suatu saat nanti, aku pasti kembali.” Bisikku lirih dengan harap Riri tk mendengar jerit sedih di hati ini.
(Bersambung....)




Pada suatu tempat yang jaraknya tak jauh dari bukit itu, sebuah jalan setapak yang berkelok dan berliku. Batu-batu kerikil yang tajam dan terjal tampak berserakan di permukaannya. Di sisi kiri dan kanan jalan itu dipenuhi pepohonan yang tinggi dengan daunnya yang hijau lebat. Sesekali terdengar kicauan burung hutan yang beterbangan dari dahan ke dahan. Pada jalan yang hanya setapak itu, setiap hari jika pagi hari, langkah kaki Tarjo perlahan menelusur dari bawah, dari gubuknya menuju jalan yang melingkar bukit ke arah sebuah bangunan megah di sisi sebelah barat bukit itu. Dan jika petang hari, setiap hari langkah kaki Tarjo berbalik dari jalan yang melingkar bukit itu ke arah bawah, menyusur jalan yang hanya setapak itu menuju ke arah bawah pada sebuah gubuk tua yang letaknya di sisi sebelah timur bukit itu. Di kaki bukit itu tinggal gubuk Tarjo dan beberapa gubuk lagi yang masih terhuni. Banyak gubuk yang lainnya terlihat kosong dan yang beberapa lagi tinggal puing-puing saja. Tiga bulan lalu alam menunjukkan keganasannya. Bencana longsor melanda tempat itu. Sebagian besar gubuk musnah tertimbun bersama penghuninya. Istri dan dua anak Tarjo pun terenggut ketika itu.

Gubuk tua itu berdinding kayu dan beratapkan daun-daun ilalang yang sudah tampak usang. Di beberapa bagian dinding dan atapnya terlihat sudah ada yang bolong-bolong. Lewat celah-celah itu, bila hari sedang turun hujan, air mengalir masuk ke dalam gubuk tepat di atas balai-balai usang. Lewat celah-celah di dinding angin yang bertiup pun seperti leluasa masuk menebarkan hawa dingin ke seisi gubuk. Bila malam sedang-sedangnya bulan purnama, lewat celah-celah itu pula sinar bulan memancar masuk tepat di wajah Pak Tarjo jika sedang terbaring di atas balai-balai usang itu. Balai-balai usang itulah tempat Pak Tarjo melewatkan malam-malamnya setelah seharian bekerja pada sang majikan. Tiga bulan lalu sepeninggal istri dan anaknya, pernah Tarjo diminta tinggal menetap di rumah sang majikan. Tapi Tarjo menolak. Tarjo memilih tinggal di gubuknya sendiri. Di gubuk itu Tarjo merasa istri dan kedua anaknya ada dan juga tiada. Di gubuk itu Tarjo menemukan kebahagiaan. Di gubuk itu pula kebahagiaan Tarjo berakhir. Kini kebahagian Tarjo bergantikan kedukaan yang dalam. Kedukaan akan kehilangan orang-orang yang dicintainya.

Malam kian larut. Hanya suara burung malam masih terdengar di kegelapan malam. Semilir angin menusuk-nusuk kulit. Mata Tarjo tak juga terpejam. Terpancar kedukaan yang dalam pada sinar kedua bola matanya. Sesekali air mata menetes deras dari kedua pelupuk matanya yang kian sembab dan lembab itu. Kedua tangan mengeplak-ngeplak kepala dan berkali-kali menarik-narik rambutnya. Seperti hendak memecah-mecah batok kepalanya. Tubuhnya tersandar pada dinding kayu di sudut gubuk itu, dengan hanya diterangi cahaya rembulan yang sinarnya tampak redup menyusup di celah-celah atap. Siang yang telah merangkak menuju malam tak ia hiraukan lagi. Tak sadar ia telah setengah hari duduk tersandar di tempat itu. Kali ini hati dan jiwa Tarjo benar-benar terpukul dan terbelenggu oleh kedukaan yang sangat dalam. Sebuah petaka maut yang dialaminya tadi pagi begitu mengguncangkan hati dan jiwanya. Kini ia larut dalam penyesalan yang tiada hentinya.

Pagi tadi, pada suatu tempat yang letaknya tak jauh dari jalan menikung yang melingkar bukit, sebuah mobil kijang biru melaju dari sebuah bangunan mewah di sisi barat bukit itu. Lajunya begitu cepat seperti hendak berburu waktu. Duduk di belakang kemudi Tarjo. Di jog bagian belakang Tirto sang majikannya duduk berdampingan dengan istrinya. Pagi itu sang majikan minta di antar ke salah satu patner bisnisnya untuk suatu urusan bisnis. Tarjo terlambat datang, Tarjo mendapat marah dari sang majikan. Itulah kali pertama Tarjo terkena marah setelah 10 tahun mengabdi majikannya. Takut sang majikan menjadi-jadi marahnya, Tarjo kian cepat memacu mobilnya. Tepat pada tikungan kedua di sisi bukit itu, Tarjo kehilangan kendali kemudi. Mobilnya oleng dan terperosok ke dalam jurang yang cukup terjal. Mobilnya hancur. Kedua majikannya tewas seketika dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Beruntung Tarjo terlempar ke luar dari kursi kemudi lewat kaca depan mobil yang pecah berantakan. Tarjo jatuh ke tanah yang berumput tebal dan hanya pingsan. Seorang pencari kayu bakar menolongnya dan kemudian mengantarnya pulang ke gubuk Tarjo di kaki bukit itu. Kini kembali Tarjo kehilangan dua orang dekatnya, setelah tiga bulan lalu anak dan istrinya lebih dulu mendahuluinya pergi.

Setengah mata Tarjo terpejam. Satu persatu peristiwa-peristiwa pilu datang silih berganti di pelupuk mata Tarjo. Tarjo kian memejam hendak mengusir bayang-bayang itu. Tapi sia-sia. Kedua telapak tangan dikatupkannya rapat-rapat pada kedua matanya. Tapi bayang-bayang itu seperti enggan berlalu. Hati Tarjo kian kecut. Nyali Tarjo menjadi ciut. Tarjo putus asa. Dalam keputusasaannya, tiba-tiba Tarjo seperti melihat sosok perempuan setengah baya dengan gaun putih bersih berdiri tepat di depannya. Rambutnya dibiarkan panjang mengurai sampai menyentuh pinggul. Selembar selendang yang juga putih tampak melekat di bahu kirinya. Di bibirnya tersungging senyum yang manis sekali. Di mata Tarjo seolah istrinya hadir kembali. Tarjo menjadi tak berdaya ketika tiba-tiba perempuan itu mengulurkan selendang putih di tangannya kemudian membimbing Tarjo bangkit berdiri menuju belakang gubuk tua itu. Langkah Tarjo terhenti pada sebuah pohon mangga yang tidaklah terlalu besar batangnya. Malam itu di bawah pohon mangga itu dilihat oleh Tarjo istrinya cantik sekali. Kerinduan Tarjo yang begitu dalam membuat Tarjo tak kuasa, ketika perempuan itu membelitkan selendang putih itu di leher Tarjo kemudian mengaitkannya pada sebuah dahan. Tarjo merasa seperti sedang berayun-ayun bersama sang kekasih hati. Di keheningan malam itu, di sela-sela kicauan burung malam hanya desah nafas Tarjo yang terdengar jelas. Kemudian pelan perlahan desah-desah nafas Tarjo menghilang di keheningan malam yang kelam itu
  
Esok paginya warga di sekitar bukit itu gempar. Seorang tukang pencari kayu bakar yang adalah tetangga Tarjo menemukan tubuh Tarjo tergantung di pohon mangga dengan kondisi tidak bernyawa lagi. Hanya sebuah senyum beku di bibir Tarjo yang tersisa. Barang kali di atas sana Tarjo sedang melayang-layang di awan mencari keabadian.
***

Thursday 10 December 2015

Materi kursus hari ini, masih melanjutkan pelajaran yang lalu. Biasa, di depan sana sang instruktur mulai menjabarkan tip-tip atau tepatnya sebut saja trik. Ya, katanya sih trik untuk supaya kita cepat mahir berbahasa Inggris. Dikatakan, akan lebih baik jika di samping belajar clasical, mungkin akan lebih cepat mahir kalau belajar lebih ke arah praktik langsung. Maksudnya, mulailah berkomunikasi dengan bahasa Inggris, meski kadang-kadang bercampur dengan bahasa Indonesia. Inggris-Indonesia barang kali.

Suara-suara mulai terdengar dari head shet computer di depanku yang baru saja aku pasang di kepalaku. Suara-suara itu benar-benar asing di telingaku. Sungguh tidak jelas artikulasi dan intonasinya. Menurutku sama sekali tak karuan. Tak sedap untuk didengar telinga. Sudah seperti lagu metal saja. Jauh dari nada dan irama yang biasa aku dengarkan di rumah. Tapi tidak buat sang instruktur itu, itu adalah contoh dialog atau percakapan dari orang asing, pemakai bahasa asli, native speaker katanya. Dan atas suara-suara itu, aku harus menirukannya. Sungguh suatu pekerjaan berat bagiku. Bagaimana tidak berat? Sebagai orang Jawa- jawa medhok- yang dari cilik sampai gede begini biasa berbicara dengan tempo yang pelan, sekarang harus mengikuti dialog yang menggunakan tempo tinggi, tentulah suatu pekerjaan yang berat. Lidah yang terpola ngomong klemah-klemeh, alon-alon disulap cepat untuk berbicara cepat seperti laju kereta api. Duh, ampun deh. Kesleo, kecetit bisa jadi keluhku.
“What is you name?”
“My name is Andi”
“Where do you live?”
“I live in Kebon Jeruk”
“How are you?”
“Fine, and you?”
Begitu kira-kira dialog kudengar lewat head shet. Dialog itu diputar terus-terusan, diulang-ulang, sampai terngiang-ngian di telingaku. Mulutku terasa kilu dan semakin kilu menirukannya. Tak satu pun dialog yang dapat aku tirukan dengan benar.

Di bagian depan sana, kulihat beberapa teman tampak begitu antusias mengikuti pelajaran. Mereka berpasang-pasangan, menyusun dialog kemudian mencoba berkomunikasi dengan bahasa asing tersebut. Di telingaku lafa-lafal mereka menjadi sangat asing bahkan lebih asing dari bahasa asing itu sendiri. Disisipi gelak dan canda tawa mereka tetap berlatih dan terus berlatih. Tampak sang instruktur tersenyum simpul setengah menahan ketawa melihat teman-teman itu berceloteh tak karuan dalam bahasa yang semakin tak aku mengerti.

Kemudian tepat di sebelah kiri dari posisi tempat dudukku, kulihat seorang teman begitu asyik bermain soliter. Kartu-kartu disusun kemudian diberantakkan lagi. Disusun dan diberantakkan lagi. Mungkin ia bosan, atau bisa jadi sudah fasih dengan bahasa asing itu? Bisa jadi begitu, pikirku. Tapi, itu bukan urusanku, aku tak perlu tahu. Yang aku tahu hanyalah, wajah teman yang satu itu adalah wajah yang tak asing lagi buatku. Wajah yang tampak berseri di antara banyak wajah-wajah semu kali ini.

Alunan lagu dengan lirik bahasa asing terdengar di akhir pelajaran kali ini. Seiring langkah kakiku yang semakin menjauh dari ruangan itu, lagu itu kian lama kian sayup di telingaku. Sejenak kuterlepas dari keterasingan ini. Keterasingan atas sebuah ambisi pribadi dari seorang pribadi yang sesungguhnya masih teramatlah asing bagiku
***



 

Sunday 6 December 2015

Di sebuah desa di lereng perbukitan, hiduplah dua orang petani yang berkebun kopi. Keduanya tergolong berhasil dalam usahanya. Kehidupann ekonominya di atas rata-rata penduduk setempat. Tersebutlah petani kopi tersebut bernama Tarjo dan petani yang kedua bernama Manto. Meskipun secara ekonomi keduanya tidak berbeda, namun di mata penduduk setempat mereka mempunyai kesan yang jauh berbeda. Oleh penduduk setempat, Tarjo dikenal sebagai orang yang ramah, rajin dan dermawan. Setiap kali habis menuai hasil panenan kopinya, Tarjo selalu menyisihkan sebagian keuntungannya untuk dibelikan berbagai macam sembako dan kemudian dibagi-bagikan kepada warga di tempat itu. Tak jarang pula Tarjo terlibat dalam kegiatan amal dan bakti sosial di daerahnya. Tercatat namanya sebagai pengurus Masjid setempat. Lain halnya Tarjo, lain pula dengan Manto. Oleh penduduk di sekitarnya, Manto dikenal sebagai petani yang kikir, pelit dan tidak bermasyarakat. Tak banyak warga sekitarnya yang mengenal dekat dengan Manto. Manto tak pernah terlihat terlibat dalam semua jenis kegiatan sosial di tempatnya. Dia tak pernah ikut bergotong-royong, dan aktivitas sosial lainnya. Hampir semua hidupnya dicurahkan untuk kepentingan keluarga dan usahanya.

Hingga pada suatu ketika, di sore hari di pertengahan bulan Juli tahun ini. Pada bulan Juli ini biji-biji kopi yang di pohon itu, yang semula masih hijau muda mulai menguning menjelang tua. Tak lama lagi si empunya pohon bakal memanennya. Jika biji-biji kopi mulai menguning seperti ini, biasanya menarik perhatian mata musang atau luwak yang memang kesukaannya makan biji kopi. Maka tak heran jika sedang musim-musim kopi seperti ini, sebagian besar waktu Manto dihabiskannya di kebun untuk berjaga-jaga. Manto selalu menjaga pohon-pohon kopinya dari jangkauan Luwak. Tak pernah dia biarkan ada seekor Luwak pun yang akan mengambil biji kopinya, meski hanya sebutir saja. Pernah suatu ketika, seekor Luwak mencoba menerobos pagar kebun Manto, Manto tak membiarkan itu, Manto menguber Luwak tersebut. Dengan sebilah golok di tangannya Manto menebas leher sang Luwak, dan Luwak pun mati seketika. Begitu dia lakukan itu setiap kali Luwak mencoba mendekat, menerobos masuk ke kebun Manto. Entah sudah berapa ekor Luwak melayang di tangannya di musim kopi tahun ini. Sore itu, ketika Manto sedang berjaga di kebun kopinya. Manto melihat seekor Luwak sedang asyik bertengger pada sehelai batang di pohon kopi milik Tarjo. Luwak itu begitu menikmati biji demi biji kopi yang memang sudah ranum. Melihat hal itu, Manto bermaksud memberitahukan hal ini kepada Tarjo. Manto pun berteriak-teriak memanggil Tarjo. Teriakannya kencang sekali. Sampai terdengar di telinga Tarjo. Semula Tarjo tak menghiraukan teriakan itu. Hanya karena Tarjo berasa risi dengan warga yang lain saja, akhirnya Tarjo pun menyempatkan diri menuju ke tempat asal teriakan tersebut.

Dan bertanyalah Tarjo. "Ada apa Pak Manto, saya dengar Pak Manto memanggil-manggil saya?" tanya Pak Tarjo dengan sopannya. "Itu...tu..itu, Pak Tarjo lihat sendiri. Di pohon itu, ada seeokor Luwak yang sedari tadi memakan biji-biji kopi di kebun Bapak...!" jelas Manto seraya tangannya menunjuk ke arah pohon di mana Luwak itu berada. "Apakah Bapak tidak ingin mengusir binatang serakah itu...!" lanjut Manto. "Tidakkah Bapak akan dirugikan dengan ulah Luwak itu. Lihatlah Pak, Bapak bisa lihat sendiri di kebun saya. Biji-biji kopi itu masih utuh, tak satu pun tercuri oleh Luwak. Sebab saya tak pernah membiarkan seekor Luwak pun mencurinya. Siang dan malam saya menjaga kebun saya." Manto terdiam sejenak, menarik nafas panjang, kemudian lanjutnya, " Bukankah dari biji-biji kopi itu kita hidup..!" tegas Pak Manto.

Mendengar penjelasan Pak Manto, Pak Tarjo hanya bersungut-sungut saja. Dalam hati mungkin dia berfikir akan seseorang yang berdiri di depan matanya ini. Selama ini Pak Tarjo memang hanya mendengar dari pergunjingan orang tentang tabiat Pak Manto. Tapi kali ini benar-benar ia melihat dan mendengar sendiri tabiat itu dari diri Pak Manto. Ia menjadi sangat tidak percaya dan merasa sangat prihatin. Diam-diam tergeraklah hatinya untuk memberikan sesuatu yang mungkin baik bagi Pak Manto, sesuatu yang barang kali bisa menumbuhkan kesadaran diri bagi Pak Manto. Maka mendengar penuturan Pak Manto tentang Luwak di pohon kopi di kebun Pak Tarjo, berkatalah Pak Tarjo. "Pak Manto, aku tak risaukan Luwak itu memakan kopi-kopiku." Pak Manto membuka pembicaraannya. "Luwak-Luwak itu hanya menyukai kulit kopi yang sudah merah dan matang itu. Luwak tak suka dengan biji kopinya. Meskipun ia menelan biji kopi itu, tapi ia akan mengeluarkan kembali biji kopi itu, bersamaan dengan waktu ia buang kotoran." Pak Tarjo diam sejenak.

Sementara Pak Manto membelalakkan mata seolah tidak percaya dengan omongan Pak Tarjo. "Biji-biji kopi yang dibuang oleh Luwak itulah yang sebenarnya kita butuhkan, bukan biji-biji kopi yang masih menggantung di pohon yang kelihatan merah dan ranum itu. Kopi-kopi yang sepeerti itu biarlah menjadi jatah sang Luwak." Pak Manto tampak bersungut-sungut. Sementara Pak Tarjo masih terus berbicara dengan nada yang semakin datar. "Jadi, Pak Manto, buat apa kita risaukan Luwak di atas pohon kopi kita. Bukankah mereka mengambil apa yang menjadi bagian mereka. Dan mereka akan juga mengembalikan apa yang menjadi bagian kita." Pak Tarjo diam sebentar.

"Maka menurut hemat saya, sebaiknya mari kita pulang ke rumah masing-masing. Hari sudah merangangkak petang. Saya yakin, di rumah kita masing-masing anak dan istri kita lebih memerlukan perhatian kita. Daripada pohon-pohon kopi di kebun kita." Selesai berbicara demikian, Pak Tarjo menjabat tangan Pak Manto dan kemudian berlalu dari hadapan Pak Manto.

Hari di ujung rembang, matahari tak tampak lagi. Selimut malam mulai membentang di angkasa yang luas. Langkah Manto perlahan menjauh dari kebun kopi di lereng bukit itu. Ketiga anak dan istrinya telah sedari siang menunggu dia kembali.

***