Showing posts with label Puisi. Show all posts
Showing posts with label Puisi. Show all posts

Sunday 17 January 2016

Bumi kupijak tak lagi berseri
kicau burung-burung di pagi hari
hanyalah segumpal rindu menyisa
menambat pada pucuk-pucuk cemara kelabu
satu-satu dedaunmu melepas dahan
meranggas sebatas batang

Bumi kupijak kini hanyalah
tanah-tanah merah mendebu terhampar
padang-padang ilalang kian gersang
tersengat terik mentari siang
melepuh batang tinggalkan akar
tersisa asa hidup di masa mendatang

Tiada lagi bening telaga biru terbentang
tiada lagi tarian ikan
bangau-bangau enggan terbang
lalu hinggap di punggung kerbau berkubang
sebab kerbau pun menghilang
dari kubang yang kian kering kerontang

Padamu mega-mega biru
kutambatkan harap rinduku
atas hijau dedaunan kembali bercumbu
dalam dekap mesra si embun-embun pagi
bersama rintik-rintik hujan di akhir musim
kembali basuh lusuh peluh bumi

***

Thursday 14 January 2016

Kudengar gelegar tapi bukan halilintar
Kudengar gemuruh tapi bukan pula guruh
Memancar awan panas memerah pijar
Menyembul dari ujung sebuah gunung
Gulung bergulung menyebar arah

Berarak menyusur lereng menurun lembah
Meliuk menyisir kali mesra menyapa semua
Dalam hangat selimut abu debu dan batu 
Dedaunan pun luruh, pepohonan pun lusuh
Gersang meranggas hangus mengarang batu

Menggeliat gelepar tubuh -tubuh berseluruh
Bergelimpang orang-orang meraung mengerang
Larut terhanyut dalam dekap dicumbu awan
Kemudian tenggelam dalam bisu menyisa anyir darah

Berbalut lumpur hitam melepuh tubuh-tubuh
Orang-orang tunggang langgang melintang pukang
Di belakang mengejar awan hitam bergulung-gulung
Menerkam melumat segala apa terkejar

Merapi...
Geliatmu petaka kami lelapmu nikmat kami
Barangkali kau sedang tepati janji menebar rezeki di muka bumi
Mungkin begitu kau imbangkan perut dan muka bumi
Kini waktu menjadi milikmu buatmu menari-nari

Dan biarkan sejenak ku menepi menyingkir diri
Di bawah kemah-kemah berserah pasrah
Demi keselamatan jiwa dan raga kami
Berharap kau kembali lelap dalam tidur panjangmu
Dalam selimut segar hijau dedaunan di seluruh muka bumi

***

Tuesday 12 January 2016

Kurasa kesendirian itu kian nyata
menyusup di relung-relung hidup
bersama seisi alam
yang kian mengasing dariku

Kini, tak kulihat lagi senyum manis itu
yang dulu memesonaku
Kini, tak kudengar lagi gelak tawa itu
yang pernah menggetarkan jiwaku

Barang kali di matamu
aku hanyalah seonggok debu
dan pada saatnya nanti
kan kau kibas berlalu dari telapak kakimu

Tapi, biarkan saja dia berlalu
bersama sinar mentari penghabisan di senja nanti
Tapi, biarkan saja dia sirna
bersama hujan penghabisan di musim ini

Hingga pada akhirnya
bayang-bayang itu kian memudar
kemudian lalu dan
melupamu

***

Monday 11 January 2016

Hanya titik-titik embun
tersisa di atas dedaunan di pagi ini
kemudian hilang tanpa bekas
oleh sengat sinar mentari pagi
yang merangkak pelan membelah bumi

Seperti juga kicau burung-burung pagi
yang kian samar terdengar menjauh
oleh gemuruh roda kehidupan
dan deru degup mesin peradaban
kemudian lenyap dan senyap

Pun seperti debu yang mendebu
di tanah-tanah merekah merah
yang serak-menyerak kemudian terbang
tak berarah oleh terpa angin
di kemarau musim ini

Asaku hanyalah....
titik-titik embun tersengat mentari itu
Asaku hanyalah....
kicau burung-burung yang kian samar di pagi itu
Asaku hanyalah....
debu mendebu yang serak menyerak itu
Asaku kini hanyalah mimpi-mimpi
yang kian tiada kan bertepi lagi

****

Saturday 9 January 2016

Indahnya pagi bukan milikku lagi
Hanya daun-daun yang bergoyang
mesra dicumbu embun-embun pagi hari
Hanya bunga-bunga yang riang
dalam dekap hangat sinar mentari

Hanya kupu-kupu terbang girang
di antara mekar bunga-bunga berseri
Akulah Sang Dewi Malam
pelita di kegelapan malam

Ingin kuikat malam pada tiang terpancang
penopang istana malam
Kutahan malam berganti pagi
Enggan kubersua mentari bila esok tiba
 
Dan bila kutatap mentari pagi
pucat pasi tubuh ini
hilang bayang-bayang diri
Di balik mega-mega biru kuberlari
menyepi diri mengurai mimpi
menanti malam menjemputku lagi

***

Monday 4 January 2016

Terbangun pagi ini
mencoba meraih mimpi
yang telah terenda sejak dini hari
bersama pahitnya secangkir kopi
sayang, hanya sedikit lagi

Di depan mata kini menanti
bagai mata logam dengan dua sisi
antara kepentingan mengabdi dan diri sendiri

satu sisi,
di sana, pagi ini
anak-anak itu tengah menanti
untuk berbagi ilmu
bergelut dengan buku-buku
dan bukan cuma tugas dan tugas melulu

Lain sisi,
di sini, juga pagi ini
tampak begitu bingung si kecilku ini
dengan siapa dan bagaimana sekolahnya nanti
sebab Mbok pengasuh telah pergi
pulang kampung menyambut idul fitri

mungkinkah aku perlu mengundi
guna tetapkan pilihan, mana harus kulaku
antara anakku dan anak-anak itu

***

Monday 28 December 2015

Malam pun kian berkabut tebal hitam nan kelam
mengurai dalam rinai rintik-rintik hujan
dingin menembus menusuk relung kalbu
Adakah bahagia dalam gelapnya malam
ketika setitik cahaya berlomba di gulitanya malam
Sementara semilir angin di senja itu
telah benar-benar membawamu berlalu
teriak dan sapaku pun tak lagi menahan langkahmu
mengejar bayang-bayangmu seperti tak kuasa lagi kulaku
hingga di penghujung waktu aku tertimpuk batu
biru dan membeku

***

Friday 25 December 2015

Rinduku pada bumiku begitu menggebu
 sebuah desa di balik punggung bukit itu
 hawa sejuk dingin menusuk kalbu
semilir bertiup angin di sela-sela pepohonan menghijau
dedaunan merindang  bagai mendendang sebuah tembang
tembang-tembang kenangan yang kian membayang
yang tak akan menghilang hingga sekarang

Masih melintas jelas berjuta kenangan padanya
senyum canda dan tawa bahagia berjuta insan di sana
dalam kesahajaan dan penuh bersaudara
para punggawa yang bijaksana
para dara yang begitu jelita
para pemuda yang begitu perkasa
para tentara yang begitu setia

Rinduku pada anak-anak itu
mereka begitu lucu dan lugu
tanpa malu-malu bergelut dengan buku-buku
juga bangku-bangku itu demi menuntut ilmu
bekal hidup di masa depanmu

Kini bumiku tempat berpijak bukanlah bumi itu
kini indahnya pagi bukan milikku lagi
tak kudengar kicau burung di pagi hari
tak kulihat bening titik embun di atas dedaunan

tak kunikmati hangat sinar mentari di pagi hari
Dinding-dinding tinggi merintang
beton-beton batu menjulang
sekat-sekat jeruji menghalang
jalan-jalan panjang merentang
Desa kusayang
ingin kuberlari pulang


***




Thursday 24 December 2015

Kau lempar aku bagai sebutir pelor
melesat dari ujung popor
Kau tampar aku bagai sebuah selancar
terdampar pada batu berpadas keras

Kau kibas aku bagai setitik debu
melekat di ujung jemarimu
Kau pangkas aku bagai segumpal benalu
bercokol di pangkal bahumu

Aku lelah
Aku gerah
Dan aku mara
Tapi, tak berdaya  aku

Aku lemah
Aku kalah
Dan aku menyerah
pasrah dalam sandiwaramu

***

Bila kita tak lagi bicara
dan kata-kata hilang mak
hanya asa tersisa
merangkai berjuta tanya

Mengapa....
kau diam....
kau bungkam....
dan membisu
Adakah...
salahku....
dosaku...
hingga kau begitu

Dalam seribu bahasa kau terdiam
Tanpa bicara lewat kata dan tatap mata
Dalam diam kau bertahan
Dalam diam ku tak tahan

***

Bila saja kita tak cukup dewasa
bisa saja kita tak pernah lagi bicara
tenggelam dalam diam seribu bahasa
menekan hasrat ingin melupa
tentang sepenggal kisah di antara kita

Pernah bersama kita terbang berkali
melayang, melambung kian meninggi
menuju langit biru dan menjauh bumi
hendak menggapai bintang-bintang berseri
pada bulan dan bintang di malam hari
telah kita bersaksi dua hati mengikat janji

Dan ketika angin meniup kencang
halilintar menyambar terang
hujan badai pun datang menerjang
menghempas kandas biduk cinta terlarang
pada batu-batu keras bercadas berkarang

Sempat kita bahagia meski hanya sesaat saja
usai sudah sepenggal kisah
berlalu dalam hening angin senja
tapi biarkan kisah kita menjadi sepenggal kisah
penuhi warna-warni kehidupan ini

***



Tuesday 22 December 2015

Aku tak mau kalau sampai kau tahu
bila rasa itu masih tersimpan di hatiku
Jangan pula kau baca pada tatap kedua bola mata
jika rasa itu masih bicara bila kita bersua muka

Sungguh aku tak juga ragu ingin kuusir rasa itu
dari sisa-sisa usia hidupku utukku bisa melupamu
Tapi, aku bukanlah pelupa yang bisa begitu saja
melupa semua fakta dan realita yang pernah menyapa kita

Dan bila gundah, resah dan gelisah
datang menyapa dan kian  membuncah
kutahu rasa itu tak pernah punah
dan aku kian lelah pasrah dan berserah

***

Monday 21 December 2015

Mengenangmu
adalah wajah-wajah beku yang
samar-samar terukir di dinding-dinding kamar
di malam-malam sepiku

 Mengingatmu
adalah nyala pelita di kejauhan sana
meski redup nyalamu tapi
di mata ini cahyamu begitu biru 

Melupamu
bagai berjalan di atas bebatuan nan terjal
tapak-tapak kaki kecilku menapak
lalu tersandung, terseok
dan  terjatuhlah aku 

Dan bayang-bayangmu
Seolah tak mau  berlalu dariku


***



Bila kulihat bintang-bintang yang gemerlapan
dan rembulan dalam  wajahnya penuh cerah
hatiku terbayang selalu padamu
duhai dara nan jelita
di kala siang telah kubersua muka
senyummu begitu memikat hati
terbayang selalu dalam ingatanku
mencipta rasa rindu ingin bertemu
siang dan malam terasa sepi
bila tanpamu di sampingku

Di tengah-tengah sepinya malam ini
kubertanya pada diri ini
tentang apa telah terjadi
sebab antara aku dan dirimu
dicipta sebagai sahabat saja
terbentang sudah dinding begitu tinggi
merentang jarak antara kita

Di tengah malam yang begini sepi
kuberjanji pada diri sendiri
begitu pun padamu
dengan disaksikan bintang dan rembulan
di malam ini kuucapkan janji
hanyalah kau sahabatku satu-satunya
tak kan pernah ku ingkari janji

***
Pagi tadi sebenarnya aku merasakan kecewa
Tapi kekecewaanku tadi, tidaklah seperti kecewaku ketika itu
Aku pun berfikir, apakah aku benar-benar kecewa?
Apakah jika aku bilang kecewa, itu berarti aku benar-benar kecewa?
Aku tak tahu…!

Siang tadi sebenarnya aku merasakan marah
Tapi kemarahanku tadi, tidaklah seperti marahku ketika itu
Aku pun befikir, apakah aku benar-benar marah?
Apakah jika aku bilang marah, itu berarti aku benar-benar marah?
Aku tak tahu juga...!

Sore tadi sebenarnya aku merasakan bahagia
Tapi kebahagiaanku tadi, tidaklah seperti bahagiaku ketika itu
Aku pun berfikir, apakah aku benar-benar bahagia?
Apakah jika aku bilang bahagia, itu berarti aku benar-benar bahagia?
Aku juga tak tahu…!

Malam ini sebenarnya aku merasakan cinta
Tapi cintaku malam ini, tidaklah seperti cintaku ketika itu
Aku pun berfikir, apakah aku benar-benar mencintai?
Apakah jika aku bilang cinta, itu berarti aku benar-benar mencintai?
Aku semakin tak tahu…!

 Yang aku tahu hanyalah….
Kecewa, marah, bahagia dan cinta adalah rasa
Dan rasa adalah misteri


***





Sunday 20 December 2015


Di sepanjang jalan yang kian tajam nan terjal
Kucari jejak kakimu yang kian menyamar
Dan tangan kasihmu
Menuntunku sampai ke tujuan

Oh, kekasih jiwaku
Hanya padamu malam ini
Kuserahkan hidup dan penghidupanku

Dalam redup cahya lilin
Di tengah pekatnya malam
Yang kian sepi dan sunyi

***

Gerimis pagi
menahan mentari menyinari muka bumi 
lelap dalam dekap dinginnya pagi
Burung-burung pun enggan terbang
lelap dalam sangkar madu
Ingin kuikat pagi
dan kutambat di pucuk-pucuk perdu
biar  pagi ini tak berlari dariku
kutahu pagi ini milikku

***
Di matamu
aku hanyalah abu yang mendebu
lalu satu-satu kau sapu berlalu
mana mau debu membatu
membeku di sudut kalbu

Tapi,
meski itu hanya debu
debu itu adalah abu dan biru
tentu itu debu
tiada malu atau pun jemu
senantiasa kan bertamu dan menunggu
sampai di suatu waktu
bila kita bersatu

Tapi,
Mana mau kau tahu
bila debu itu aku
yang merindumu

***






Tuesday 15 December 2015

Selepas senja nanti kau pun kan pasti berlalu
Dan aku kan tetap tertinggal di sini dengan sekeping hati menyisa rasa
Lalu air mata hanyalah isyarat cinta yang tercabik-cabik menyesak di dada
Hingga tergores luka menetes titik-titik rindu dan benci

Tergores di tanah-tanah merah berdebu dalam langkah sebuah kisah
Kisah usang nan panjang penuh halang melintang hingga lelah menyerah
Kini kau benar-benar telah berlalu demi mimpi indahmu
Yang kau nantikan sepanjang sisa usiamu

Biarlah, dalam desah nafas ini tinggal harap bahagia menghias hidupmu
Sendiri berdiri aku di sini dalam deru hujan badai yang kian kencang
Tetap tegak dan tegar kucoba berdiri demi hidup yang terus bejalan
Meski tanpamu lagi selepas senja ini

***

Monday 14 December 2015

Sepuluh  tahun lalu ialah bayi mungilku
Buah cintaku dengan bekas pacarku
Hanya susu dan sesuap nasi kuberi kala itu
Kini dia bukan lagi bayi mungilku itu
Kumenyebutnya anak, ialah kini anakku
Yang tumbuh dari buah cintaku dan bekas pacarku itu

Ya, kini dialah anakku
Dia tak lagi berguling merambat dan merangkak
Dia tak hanya bisa menangis dan merengek
Dia telah berjalan, melompat bahkan  berlari
Dia telah punya rasa dan juga kehendak
Dia ingin dimengerti, dipuji dan dihargai
Bukan sekedar didoktrinasi apalagi diintimidasi
Dia butuh kompromi dan toleransi
Mungkin dia mau berekspresi
Demi sebuah prestis dan prestasi

Maka biarkan aku sejenak di depanmu anakku
Dan biarkan juga aku di samping bersamamu anakku
Dan bila tiba waktu, biarkan aku di belakangmu anakku
Seperti Eyang pernah bilang Ing Ngarso Sung Tuladha
Ing Madya Mangun Karsa Tut Wuri Handayani 

 ***