Friday 28 October 2011

 Di langit mendung masih tampak bergelayut. Mentari seperti enggan memancarkan sinarnya. Titik-titik embun terlihat di atas dedaunan. Seperti butir-butir pasir putih. Sesekali jatuh ke tanah dan hilang. Perlahan suara musik mulai terdengar mengalun dari halaman tengah sekolah ini. Beberapa orang mulai sibuk dengan aktivitasnya. Sibuk dengan tugas masing-masing. Sudah menjadi tradisi di sekolahku. Setiap kali menjelang acara tutup tahun, selalu didahului dengan pentas seni yang biasa disebutnya dengan PENSI. Kegiatan ini dilakukan hampir selama satu minggu.

Hari ini adalah hari ketiga dari rangkaian kegiatan yang dilakukan selama tujuh hari.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, dalam acara yang demikian aku tidak mempunyai banyak andil. Karena memang aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk terlibat di dalamnya. Itu tak jadi soal bagiku. Sebab pada dasarnya aku adalah orang yang paling tidak bisa menikmati acara-acara yang bersifat ceremonial dan terkesan berhura-hura. Aku tak bisa larut di dalam hingar-bingar acara yang begitu. Aku lebih memilih sibuk dengan diriku sendiri, dengan seabrek pekerjaan pribadiku yang memang masih menumpuk. Di ruang kerja yang kali ini tidak dipenuhi orang-orang aku asyik dengan sebuah komputer, membuka-buka situs wibe siteku.

Di tempat yang agak jauh dari posisi dudukku. Di sudut ruangan ini. Kulihat seorang teman yang juga sedang duduk sendiri di meja kerjanya. Ia tampak asyik dengan sebuah handphone di tangan. Jari-jemarinya nampak lincah menari-nari di atas huruf dan angka dan tanda baca pada panel handphone itu. Mungkin sedang bermain game atau chating aku tak tahu pasti. Sesekali kudengar dia berbicara dan tertawa juga tersenyum ringan. Pasti dia sedang terima telepon, pikirku. Sudah satu jam lebih dia duduk di situ. Itu berarti, sudah lebih satu jam juga aku diam-diam memperhatikannya. Seperti tak ada sedikitpun aktivitasnya yang luput dari perhatianku.

***
Aku mengenalnya dua belas tahun yang lalu. Ia telah lebih dulu bekerja di sini. Pertama kali melihatnya ia adalah wanita yang menurutku biasa-biasa saja. Penampilannya sederhana dan apa adanya. Wajahnya bulat dan lebar dengan sebuah kaca mata menutup kedua bola matanya. Bibirnya yang tipis dibiarkan apa adanya tanpa berlipstik. Wajahnya pun dibiarkan begitu saja tanpa dipoles bedak sedikit pun. Rambutnya pun dibiarkan alami. Panjang dan berombak condong ke ikal. Tapi itu penampilan dia yang dulu. Sekali lagi, itu penampilannya yang dulu, dua belas tahun yang lalu.

Sebuah setelan blazer berwarna hijau kebiruan ia kenakan pagi ini. Sebuah pilihan warna yang menurutku sangat serasi sekali dengan warna kulitnya yang kuning sawo matang. Begitu orang Jawa bilang. Dengan corak pakaian seperti itu, penampilannya terlihat begitu rapi dan perfec sekali. Seperti layaknya pegawai kantoran saja. Belakangan memang kulihat ia lebih sering mengenakan jenis pakaian demikian. Ketika lain kulihat dia mengenakan blazer dengan pilihan warna cokelat muda maupun cokelat tua. Menurutku corak-corak warna itu memang pas untuk dia pilih. Ditopang dengan ukuran yang pas melekat di badan, nyatanya setelan blazer itu benar-benar membuat penampilannya begitu sempurna. Wajar saja bila kemudian di lingkungan kerjaku terutama di kalangan anak-anak didikku menyebutnya sebagai sosok yang berpenampilan paling rapi. Itu sering tanpa sengaja aku dengar jadi perbincangan di kalangan anak didikku.

Selai rapi, ia juga dikenal pintar. Aku harus akui itu. Di lingkungan kerjaku ialah satu-satunya yang mendapat predikat the best teacher atau guru teladan. Sebuah predikat yang diberikan oleh lembaga di mana ia bekerja. Predikat yang hanya akan melekat pada orang-orang yang memang memiliki kemampuan intelektual yang lebih seperti dia tentunya. Entah sudah berapa jam aku duduk dan mencuri-curi memandangnya. Aku tak tahu lagi. Yang aku tahu hanyalah sosok di depan mataku itu memang benar-benar sosok yang sempurna. Aku harus akui itu. Nyatanya, di usianya yang kian berumur justru di mataku ia terlihat semakin cantik dan tampak kian muda. Suatu keadaan yang berbanding terbalik dengan bertambahnya usia bukan?

Siang merangkak perlahan. Matahari tak lagi terik. Perlahan deru pesta menghilang. Orang-orang satu-satu berjalan pulang. Kutersentak dari lamunan. Kumatikan PC di depanku yang sedari tadi kubiarkan saja menyala. Kuambil tas kerjaku dan kuberjalan pulang. Kini dia seorang diri di dalam ruangan. Di halaman kantor depan, kulihat sebuah mobil Kijang Inova biru seri terbaru. Di dalamnya laki-laki setengah usia. Wajahnya tampan dan perkasa. Dialah Rama kekasih hati Dewi Shinta bisikku dalam hati.
---&&&---




Friday 14 October 2011

Pagi ini dia berjalan masuk ke dalam kantor dengan langkah seperti diburu. Langkahnya cepat. Wajahnya tertunduk. Kedua bola matanya memancarkan sinar kekesalan. Pemandangan yang begini sudah sering sekali aku lihat sebelumnya. Tapi pagi ini, pemandangan itu sungguh luar biasa. Pasti dia sedang marah besar, atau apakah perang besar itu terjadi lagi? tanyaku dalam hati. Ke arah dapur dia berjalan. Diambilnya secangkir kopi yang sudah mulai dingin itu. Di bangku kecil di tepi dapur dia duduk. Sambil menopang dagu dengan tangan sebelah kiri, dia menarik nafas panjang. Sesekali diteguknya kopi itu. Matanya menatap jauh ke depan. Seperti menembus di kejauhan. Semilir angin bertiup dari celah-celah jendela. Perlahan sinar keteduhan mulai terpancar dari raut wajahnya. Rasa amarah tampaknya perlahan mulai menghilang.
"Hiiiihhhhhhhhhhhh...!" Suara itu muncul dari mulutnya. Tampak deretan gigi yang berjajar manis di sisi atas dan bawah itu saling bertemu seperti terkatup kuat-kuat. Sementara tangannya terkepal seperti hendak meninju. Tak ada yang dia tinju. Hanya angin kosong di depan muka yang ia tinju. Dia memang begitu. Ekspresi itu sering ia lakukan. Terlebih jika sedang bermasalah besar. Tapi jangan salah, bila ia berekspresi begitu, itu artinya emosi dan kemarahan telah sepenuhnya dalam kendalinya. Bila sudah demikian, aku biasa mulai mendekatnya, sekedar tahu apa yang terjadi. Sok pura-pura ingin tahu, begitu tepatnya.
"Ada apa.., kok sewot banget?" tanyaku seperti mau menyelidik.
"Tahu enggak, sebel banget gua tuh sama si BB-nya." dia mulai buka suara.
"Lha,.. Emang kenapa lagi?"
"Gak tau tuh, maunya apa tuh orang. Masak ngomong kok mencla-mencle. Esok dele sore tempe. Kemarin bilang apa-sekarang ngomong apa. Mau nyari senengnya sendiri kali. Masa jadual sudah jadi dan disepakati bareng masih saja mau diunggreh-unggreh sesuka dia. Dia pikir apaan kita? Dia gak punya tanggungan, lha kita?" sejenak dia terdiam, ditariknya nafas perlahan.
"Pasti trus perang mulut ya?"
"Pastilah."
"Tapi, pasti kamu yang menang khan?"
"Ya, iyalah."
Meski tak jelas dia bercerita tentang duduk persoalannya, tapi buatku itu cukup jelas. Bahkan sangat jelas. Benar juga dugaanku. Dia baru saja berselisih faham dengan si big bos. Pasti seputar acara yang akan kami lakukan kali ini. Ada perbedaan jadual pulang antara dia dan bos rupanya. Aku tak mau terlalu jauh masuk ke urusan itu. Yang aku tahu, dalam persilangan pendapat itu dia tampil sebagai pemenang.
Di mataku dia adalah seorang teman yang secara fisik termasuk beruntung. Tubuhnya tidak kurus dan juga tidak gemuk. Tidak tinggi tapi tidak juga pendek. Posturnya sedang. Sebuah postur yang ideal untuk ukuran tubuh wanita timur. Itulah kelebihan yang aku lihat pada dirinya. Wajahnya cantik, bulat telor dengan kulit kuning langsat. Tampak serasi sekali dengan dandanan rambut yang hitam panjang berombak itu. Penampilannya sederhana tapi bersahaja. Dia ramah, luwes dan supel dalam bergaul. Banyak teman yang merasa senang berteman dengannya.

Tapi siapa sangka, di balik penampilannya yang begitu lembut dan sederhana itu, tersimpan sebuah kemauan yang kuat. Kuat dalam berprinsip dan berpendirian. Lebih-lebih jika ia punya keyakinan akan sesuatu yang menurutnya adalah benar. Ia gigih dalam memegang kebenaran. Tak pantang menyerah demi memperjuangkan yang benar itu. Maka, tak jarang konflik kecil sampai ke yang besar sering terjadi antara dia dengan pihak lain yang berseberangan. Tentang resiko, atau akibat dari keberaniannya bersikap sepertinya tak ia hiraukan, tak diambilnya pusing.
Kali ini dia berjalan pelan, tampak di bibir tersungging senyum yang begitu manis. Membuat wajahnya semakin begitu manis. Dia tersenyum ceria, terpancar sinar kemenangan dari kedua bola matanya. Kucegat dia. Kujabat tangannya. Kemudian kuacungkan kedua jempol tanganku. "Kau hebat...!" Diam-diam aku mengaguminya.


---&&&---


 

Wednesday 12 October 2011

Belajar dari kegagalan dalam event PENABUR 6 CUP baru-baru ini, Tim Futsaal Tarki mulai melakukan pembenahan diri. Sebagai langkah awal, dua hari belakangan ini Tim Futsaal Tarki menggelar latihan sparingg dengan tim SMA Tarki.

Berlatih bersama Tim SMA
Tim Putri Tarki
Pada kegiatan sparing pertama  Selasa 11 Oktober, Tim Putra SMP Tarki berlatih tanding dengan Tim Putra SMA selama 2 kali 15 menit dengan hasil akhir 1-5 untuk kemenangan Tim SMA. Berhadapan dengan personal pemain Tim SMA yang mayoritas memiliki kemampuan bermain individual yang lebih baik dan kondisi fisik pemain yang lebih besar, Tim Putra SMP Tarki dibuat kelabakan dan tampak menguras tenaga hampir di seluruh waktu bertanding. Hampir dalam seluruh waktu bertanding penguasaan bola didominasi oleh Tim dari SMA. Hanya beberapa kali Tim Putra SMP memperoleh peluang mencetak gol. 

Nasib serupa sama dengan yang terjadi pada Tim Putri Tarki. Pada pertandingan pertama kemarin juga dibuat kerepotan oleh Tim Putri SMA dengan hasil akhir 1-3 untuk keunggulan Tim SMA. Tampaknya predikat juara 1 tidak menjadi jaminan untuk memberikan perlawanan yang berarti pada Tim Putri SMA. Kendala utama tentu perbedaan fisik yang terpaut jauh antara tim SMP dengan tim SMA.

Di sisi lain, bagi Tim SMA, latihan sparing ini merupakan langkah awal untuk persiapan mengikuti kegiatan-kegiatan CUP tingkat SMA. Sejauh ini TIM SMA terbentuk dengan sendirinya oleh mereka yang rata-rata selagi di SMP bergabung dengan ekstrakurikuler futsaal. Sementara ini di SMA belum ada wadah untuk ekstrakurikuler futsaal ini. Dengan berlatih bersama TIM SMP mereka berharap lebih beroleh kesiapan nantinya.

Menurut Ruland K, pelatih Tim TARKI, latihan sparing ini diharapkan dapat memberikan pengalaman yang berharga bagi pemain khususnya dalan ketahanan fisik dan kesiapan mental. Sebab, masih menurut pelatih, hambatan utama yang dihadapi Tim saat ini adalah ketidaksiapan secara fisik maupun mental pemain. Ketidakseimbangan antara waktu latihan dan jumlah peserta membuat pembinaan yang dilakukan selama ini kurang maksimal, tuturnya.
Secara umum latihan sparing hari pertama kemarin berjalan lancar sesuai dengan rencana. Sesuai rencana, Rabu 11 Oktober sore nanti akan dilangsungkan latihan sparing hari kedua. Akan kembali berhadapan Tim Putra-Putri SMP dengan Tim Putra-Putri SMA. Semoga dalam latihan sparing kedua ini semakin memberikan banyak manfaat. Semoga...!

***


Monday 10 October 2011

Bassia Putri
Lahir di Jakarta 13 tahun yang lalu, gadis yang satu ini memiliki kegemaran yang jarang sekali melekat pada teman-teman seusianya. Dia memiliki kegemaran yang mayoritas menjadi kegemaran kalangan anak laki-laki. Bagaimana tidak? Hobi yang ditekuninya adalah bidang olah raga futsaal. Kemampuan bermain futsaal mulai terlihat sejak pertama kali bergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler futsaal tahun lalu, ketika ia masih duduk di kelas 7.

Anak pertama dari tiga bersaudara ini mengukir prestasi pertamanya di bidang futsaal ketika memperkuat Tim Putri Tarki pada Tarki Cup tahun 2010. Ketika itu ia berhasil menghantarkan timnya meraih juara ke-2 setelah menyisihkan tim-tim putri dari sekolah lain. Berbekal fisik yang sangat atletis dengan kekhasan tendangan keras dari jarak jauhnya, gadis yang memiliki nama lengkap Bassia Putri ini telah sering  merobek gawang lawan setiap kali turun bertanding.Hampir dalam setiap kali dilakukan tanding persahabatan dengan tim-tim dari sekolah lain Bassia selalu menjadi penentu kemenangan timnya.

Beruntung, pada awal tahun pembelajaran 2011-2012 ini kembali Bassia bergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler futsal. Dengan demikian ia masih tetap menjadi motivator bagi teman-temannya yang lainnya. Dalam ajang Penabur 6 Cup tahun ini kembali Bassia Putri menghantarkan Tim Tarki meraih juara ke-1 Futsal Putri setelah menaklukan Tim tuan rumah dengan kemenangan 3-2. Selain menghantarkan Tim Putri Tarki meraih juara ke-1, Bassia Putri juga menyandang sebutan sebagai Top Score Putri, sebagai pencetak gol terbanyak. Dalam ajang Penabur 6 Cup ini, Bassia Putri berhasil mencetak gol sebanyak 11 kali.

Selain aktif dalam kegiatan eksrakurikuler futsaal, di lingkungan sekolah Bassia juga terlibat aktif dalam kepengurusan OSIS sebagai seksi olah raga. Semoga prestasinya di dalam bidang keolahragaan ini juga diimbangi dengan prestasinya di bidang akademis. Profeciat...!

***

Saturday 8 October 2011

Penerimaan piala kejuaraan dan uang pembinaan

Tim Futsaal Putri SMP Tarki akhirnya menggondol piala juara 1 dan uang pembinaan setelah mengungguli Tim Putri tuan rumah dalam ajang PENABUR 6 CUP tahun 2011 dengan skor 3–2 melalui perpanjangan waktu 2 kali 5 menit.

Pada menit awal babak pertama dimulai Tim Putri Tarki berhasil menyarangkan satu gol di gawang lawan melalui tendangan jarak jauh Bassia Putri yang juga menjadi kapten tim. Kedudukan 1–0 tidak bertahan lama, pada menit ketujuh Tim Putri tuan rumah P6A berhasil menyamakan skor menjadi 1–1. Kemudian pada menit-menit terakhir babak pertama kembali bola merobek ke gawang Tim Putri Tarki maka skor sementara 1–2 untuk keunggulan Tim tuan rumah. Skor 1–2 bertahan sampai turun minum babak pertama.

Foto bersama pelatih
Tertinggal satu gol, tidak membuat Tim Putri Tarki patah semangat. Pada babak kedua Tim Putri Tarki meningkatkan ritme permainan. Serangan bertubi-tubi dari berbagai lini dilancarkan ke sektor pertahanan lawa. Pada babak kedua ini terlihat Tim Tarki menguasai jalannya permainan. Beberapa peluang mencetak gol tercipta melalui tendangan sudut. Hingga pada menit kedua belas babak kedua, memanfaatkan tendangan dari sudut kanan gawang tim tuan rumah kembali Bassia menyamakan skor menjadi  1 –2. Kedudukan 2–2 bertahan sampai peluit babak kedua berakhir.

Dengan skor imbang 2–2 maka pertandingan dilanjutkan dengan perpanjangan waktu 2 kali 5 menit. Sampai  5 menit pertama perpanjangan waktu kedudukan masih berimbang. Gol penentu kemenangan Tim Tarki dicetak oleh Bassia sang kapten setelah memanfaatkan tendangan sudut pada 5 menit kedua perpanjangan waktu. Selain membawa Timnya meraih juara satu, gol ini juga menghantarkan dirinya sebagai pencetak gol terbanyak di ajang PENABUR 6 CUP ini. Sebagai pencetak gol terbanyak, Basia mendapatkan piala, piagam dan sejumlah uang pembinaan.

Nasib baik tampaknya tidak berpihak pada Tim Putra Tarki. Dalam ajang Penabur 6 Cup kali ini Tim Putra Tarki harus puas menempatkan diri di posisi keempat besar. Sebelumnya dalam babak semifinal Tim Putra Tarki berhadapan dengan Tim 21B dan harus mengakui ketangguhan lawan dengan skor akhir 1–8  untuk kemenangan Tim 21B. Kemudian dalam babak final untuk perebutan juara ketiga pun Tim Putra Tarki dijamu oleh Tim tuan rumah P6A dengan skor 2–5 untuk kemenangan tim tuan rumah sekaligus menempatkan tim tuan rumah sebagai juara ke-3.  Di posisi juara ke-1 ditempati tim 21B kemudian untuk juara ke-2 tim 261A setelah dalam pertandingan perebutan juara 1 Tim 21B memenangi pertandingan atas tim 261A.

Ketidakberhasilan Tim Putra Tarki kali ini, menurut pelatih lebih disebabkan karena keterbatasan pemain pengganti. Lebih-lebih setelah salah satu kipper tidak dapat turun bermain dalam putaran semifinal dan putaran final karena mengalami cidera lutut pada putaran sebelumnya.

***

Friday 7 October 2011


Tim Putri Tarki
Tinggal selangkah lagi. Bisa jadi beginilah kata-kata yang tak sempat terucap namun melekat kuat di benak anak-anak Tim Futsaal Putri SMP kita. Setelah hampir satu pekan berlaga tanding di ajang P 6 CUP Penabur musim CUP tahun ini, Tim Putri Tarki memastikan diri melangkah di putaran final.

Di babak semifinal, Tim Putri yang dimotori Bassia Putri berhasil mencuri skor 3-0. Gol pertama dicetak oleh Bassia sang kapten Tim di menit ke-7 babak pertama.  Menit ke-13 sebelum turun minum babak pertama,  kembali  sang kapten melalui tendangan jarak jauhnya berhasil menambah skor menjadi 2-0. Sampai  peluit terakhir babak pertama dibunyikan kedudukan bertahan 2-0 untuk keunggulan sementara Tim Tarki.
Skor sementara 2-0 semakin membangkitkan semangat bertanding. 

Di  babak kedua Tim Tarki terlihat semakin percaya diri. Panas terik matahari yang semakin menyengat seperti tidak mereka rasakan. Suasana panas dan begitu gerah tak menyurutkan semangat pemain.  Mereka semakin gencar melakukan serangan-serangan melalui berbagai lini ke sektor lawan. Pada menit ke-25 babak kedua, tendangan kaki kiri Jennifer dari lini sebelah kiri gawang lawan berhasil menyarangkan bola ke gawang lawan. Kemenangan bertambah 3-0. Sampai berakhir babak kedua skor bertahan 3-0. 

Dengan kemenangan 3-0 ini Tim Putri Tarki memastikan diri masuk ke babak final yang rencananya dijadualkan esok pagi jam 08.35 WIB. Di babak final nantinya Tim Tarki akan bertemu dengan Tim dari IPTO untuk memperebutkan posisi juara 1.
Pada hari yang sama, Tim Tarki Putra juga memantapkan diri masuk ke babak semifinal setelah meraih kemenangan 3-2 di babak perempat final. 

Berbeda dengan Tim Putri kita, perjalanan Tim Putra kita menuju babak semifinal ini bisa dibilang sangat menegangkan. Sebelumnya di pertandingan pool dalam 4 kali tanding Tim Putra beroleh skor 6 dari 2 kali menang dan 2 kali kalah. Skor 6 memposisikan diri menjadi peringkat tiga terbaik antar pool melalui perhitungan selisih gol. Predikat peringkat 3 terbaik antar pool menghantarkan Tim Putra melangkah di babak perempat final. Berlaga di perempat final dengan Runner Up pool B, Tim Putra berhasil menang dengan skor tipis 3-2.   

Pertandingan semifinal
Pertandingan memperebutkan tiket ke semifinal ini berlagsung dalam tempo yang tinggi dan terkesan keras. Selama pertandingan berlangsung, beberapa pemain inti mengalami cidera dan harus digantikan dengan pemain cadangan. Dalam satu kali sisa pertandingan pool dan perempat final kali ini, Tim Putra diperkuat oleh kipper cadangan dikarenakan kipper inti mengalami cidera sebelum bertanding. Putaran semifinal putra dijadualkan digelar esok pagi mulai jam 11.00 WIB. Di semifinal ini nantinya Tim Putra Tarki berhadapan dengan tim 21B. Tim yang notabene diunggulkan menjadi juara.
Tinggal selangkah lagi. 


Semoga langkah terakhir menjadi langkah terbaik bagi kedua tim futsaal kita utuk mewujudkan impian tim menjadi yang terbaik. Sekaligus sebagai pengalaman pertama terjun di kompetisi/Cup antar sekolah. Semoga. Semangat….!
***

Thursday 6 October 2011

“Yah.., nanti kita ke pasar malam ya!” Pernyataan itu spontan keluar dari mulut anakku. Bagiku pernyataan ini bukan yang pertama kali aku dengar. Sudah terlalu sering malah. Setiap kali aku menjemputnya terutama jika sedang hari Jumat, anakku selalu melontarkannya padaku. Bagiku pernyataan itu sudah layaknya sebuah salam pembuka saja setelah seharian kutinggalkan bekerja dari pagi hingga sore hari. Biasanya, aku pun lantas mengiyakan saja atas pernyataan tersebut. Seperti juga dengan sore ini.

“Iya.., iya…!”

“Emang Atha mau beli apa?” tanyaku sekedar menyelidik saja.

“Ada deh..!”

“Lho, kok ada deh..! Harus jelas donk Atha mau apa?”

“CD, yah..!” jawabnya dengan manja sambil ngelendot di pangkuanku.

“Bener, CD doank ya, jangan minta yang lain-lain..!”

“Iya-iya, Yah…!” giliran kini anakku yang mengiyakanku.

Aku tak lagi perlu bertanya lebih lanjut. Jika Atha sudah bilang demikian, memang yang dibelinya cuma CD saja, tidak yang lain-lainnya lagi. CD yang dibelinya pun pasti sekedar CD film anak-anak, Doraemon, Dora the Explorer, sampai ke Babby Bola, dan yang sejenisnya.


Jalan Adam. Sebuah jalan yang membelah lurus di tengah-tengah kampungku. Merupakan jalan pintas penghubung antara Jalan Kebayoran Lama Raya dengan Jalan Panjang. Dari mulai matahari terbit sampai kembali terbenam, jalan ini tak pernah sepi. Jalan yang tidak begitu lebar ini, setiap hari selalu dijadikan jalan pintas oleh para pengguna jalan baik dari arah Barat dari Jalan Panjang yang bertujuan ke Palmerah, Slipi, Kemanggisan dan sekitarnya. Sebaliknya, dari arah timur, dari Jalan Kebayoran Lama Raya menuju Kelapa Dua, Srengseng, Meruya dan sekitarnya.


Di jalan ini pula, jika hari Jumat malam Sabtu. Jika matahari sudah terbenam, atau ketika adzan mahgrib selesai berkumandang. Adalah suasana satu malam yang berbeda jauh dengan suasana enam malam yang lainnya. Malam ini Jalan Adam berubah menjadi pasar dadakan atau pasar kaget. Orang-orang di sini sering menyebutnya PM alias pasar malam. Di kiri-kanan jalan banyak lapak-lapak darurat pedagang kaki lima. Lapak-lapak itu diatapi deklit beraneka warna dengan penerangan sebuah bola lampu pada setiap lapaknya. Lampu-lampu saling terhubung dengan sebuah kabel yang membentang panjang dari Timur ke Barat, berkelok-kelok bagaikan jejaring laba-laba. Di dalam lapak tersebut, mereka para pedagang itu, menjajakan berbagai macam barang dagangan. Ada yang menjual peralatan rumah tangga, beraneka ragam barang keperluan rumah tangga, pakaian anak-anak sampai dewasa dan juga tua. Aneka mainan anak-anak dan macam-macam makanan kecil pun tersedia di sana.


Jika hari sedang tidak hujan, tempat ini selalu penuh dijejali oleh orang-orang untuk berbelanja murah, atau sekedar jalan-jalan saja. Hampir seisi kampung dari yang anak-anak, muda tua berjubel-jubel di sini. Saling berdesak-desakan bahkan bertabrakan berebut jalan. Pernah suatu ketika, seorang nenek tua terpaksa harus dievakuasi dari kerumunan orang-orang karena mendadak pingsan. Ketika yang lain, konon katanya, di tempat ini pula seorang anak kecil terpisah dari orang tuanya. Dua hari kemudian, si anak baru ditemukan nyasar di kampung sebelah.


Di depan seorang penjual CD dan VCD yang penuh dikerumuni pengunjung, aku bawa anakku. Kuarahkan dia ke tempat di mana CD dan VCD anak-anak dipajang. Kubiarkan dia memilih-milih sendiri apa yang dia mau. Ia bolak-balik tumpukan CD atau pun VCD kartun. Dia ambil kemudian letakkan lagi. Hal itu, ia lakukan berulang kali. Tidak biasa anakku berbuat demikian. Aku jadi penasaran, apa yang dia cari kali ini?

"Tha, Atha benernya mau nyari CD apa sih?" Anakku diam saja, tangannya masih terus membolak-balik tumpukan CD di depannya.

"Bukannya, Atha mau cari CD Spongebob Squarepant, Doraemon dan juga Dora The Explorare."

"Iya, Yah...!" "Tapi..."

"Tapi apa?" tanyaku dengan sedikit mendesak.

"Gini, Yah...! Di TV kemarin, Atha denger ada berita tentang Ariel dan Luna. Itu kan penyanyi duet khan, Yah? Pasti itu lagunya bagus. Atha masih inget, gimana waktu itu dengan pasangan duet Annang Shyahrini. Mereka khan bisa punya lagu bagus. Itu Yah, judulnya "Jangan Memilih Aku," anakku terdiam sejenak, kemudian lanjutnya," Pasti pasangan duet yang kali ini, lagunya lebih bagus ya, Yah!'" anakku diam lagi, seperti menunggu persetujuan dariku.

"Dik, kalo yang itu, Abang tidak jual..!" Spontan Si Abang penjual CD memotong pembicaraanku dengan anakku.

"Ariel dan Luna belum punya album lagu duet." tegas Si Abang.

"Kalau lagu-lagunya Ariel dengan Peterpennya, Abang ada nih..! Adik mau?" seraya tangannya mengambil seikit CD dan menyodorkannya ke anakku.

"Ya.., Udah deh, gak papa!" jawab anakku dengan sedikit kecewa. Kemudian diambilnya tiga buah VCD kartun, lalu diberikannya uang sepuluh ribu di tangan ke pada Si Abang penjual tersebut. Kutuntun anakku berjalan menjauh meninggalkan keramaian di pasar malam, malam itu. Kubawa dia pulang.


Di sepanjang jalan pulang, aku dan anakku lebih banyak diam. Nampaknya dia begitu senang dengan tiga buah CD di tangan. Masih teringat jelas di benakku, apa yang dimaksud anakku di depan Abang tukang CD tadi. Aku tahu, yang dia dengar tentang Ariel - Luna dari berita TV tersebut tak lain adalah skandal yang menimpa Ariel dan Luna belakangan ini. Begitu santernya berita itu, sampai-sampai anakku yang belum cukup umur pun mengetahui hal itu. Ataukah ini buah dari keteledoranku sselama ini, yang terlalu memberikan kebebasan kepada anakku untuk menghabiskan waktunya di depan TV tanpa pendampinganku? Hatiku terasa perih dan pedih seperti tersayat-sayat, kupeluk anakku erat-erat. Tanpa terasa tetes air mata mulai menggenang di kedua pelupuk mataku.



***

Sunday 2 October 2011


Malam merangkak menuju pagi. Suasana di desa Jambuasri masih teramat sunyi. Ayam jantan belum juga terdengar kokoknya. Udara malam di penghujung kemarau ini begitu dingin. Seperti jarum-jarum kecil dan tajam yang menusuk-nusuk kulit, ngilu dan linu sekali. Jalan-jalan kecil dengan diterangi lampu-lampu kecil yang redup masih terlihat lengang. Belum satu pun insan terbangun malam ini. Baru selepas subuh, biasanya beberapa orang terlihat mulai lalu di jalan itu. Mereka adalah penduduk kampung yang hendak pergi ke pasar desa di ujung jalan tepat di tepian desa. Di pasar itu para petani menjual hasil buminya. Di pasar itu pula para pengrajin menjual hasil kerajinannya.

Penduduk Jambuasri memang tergolong maju. Mereka yang sebagian besar petani itu rata-rata memiliki lahan persawahan sendiri. Dari sawah-sawah yang ada, selain mereka manfaatkan untuk bercocok padi, mereka juga manfaatkan untuk menanam umbi-umbian, sayur-sayuran dan aneka palawija lainnya. Sebagian lain warga yang tidak bertani memilih menekuni kerajinan anyaman bambu. Di desa itu masih banyak tumbuh pohon-pohon bambu sehingga untuk kebutuhan pokok menganyam mereka tidak perlu membelinya. Dari bambu-bambu itulah mereka menyulapnya menjadi bermacam-macam perabot dapur sampai perabotan rumah tangga. Belakangan, mereka membuat juga berbagai macam asesoris dari bambu. Hasil kerajinan mereka tidak hanya dikenal oleh masyarakat sekitar tetapi juga oleh masyarakat di luar propinsi. Bahkan melalui jasa seorang pengusaha muda di kota, asesoris-asesoris dengan bahan bambu di desa itu telah berhasil menembus pasar internasional. Sudah barang tentu kondisi perekonomian penduduk desa itu pun kian meningkat bersama berjalannya sang waktu.

Lain dengan kebanyakan warga desa itu. Lain pula dengan bapakku. Babapku memang tinggal di deasa itu, tapi tidak seperti warga-warga yang lain. Bapakku tergolong keturunan orang terpandang di desa itu. Konon katanya, kakek buyutku adalah seorang Lurah Desa, begitu juga dengan kakekku yang adalah ayah dari bapakku. Kakekku juga mewarisi kedudukan Kepala Desa dari kakek buyutku. Jabatan Lurah kala itu merupakan jabatan yang cukup terpandang di mata orang-orang desa tempat tinggalku. Lurah tidak mendapat gaji memang, tapi penghasilan dari sawah bengkok yang adalah sawah desa yang boleh digarap selama menjabat Lurah sudahlah cukup menopang kehidupan ekonomi kakekku kala itu. Setidaknya untuk menghidupi seorang istri dan seorang anaknya yang adalah bapakku itu, tentu sudah cukup malah bisa dibilang lebih. Mungkin berawal dari kondisi yang serba terpenuhi inilah bapakku menjadi seperti sekarang ini. Lebih-lebih setelah semua warisan harta dari kakekku lama-lama terkuras oleh kebiasaan bapakku yang kurang baik atau mungkin dipandang hina oleh kebanyakan warga sedesa itu.

Bapakku memang bukan bapak yang baik. Aku tak malu mengakui itu. Sejak kakekku masih hidup, bapakku punya kebiasaan buruk bermain judi dengan teman-temannya. Bermain perempuan pun dilakukan oleh bapakku. Tak terhitung lagi berapa banyak harta kakekku kala itu dihabiskan oleh bapakku untuk menuruti kesenangannya semata. Sepeninggal kakekku, perbuatan bapak makin menjadi. Satu demi satu tanah warisan kakek tergadaikan bahkan terjual habis untuk di meja judi. Sampai-sampai ibuku sendiri tak lagi kuasa melihat tabiat bapak. Lima tahun lalu pun ibuku pergi meninggalkan bapak bersama seorang laki-laki yang adalah duda di desaku itu. Aku tak menyalahkan sikap ibuku. Kupikir itu pilihan yang mungkin terbaik setidak-tidaknya menurut ibuku. Sejak lima tahun itu pula aku tinggal di rumah berdua dengan bapakku. Tinggal berdua di rumah yang besar tapi kosong melompong tanpa perabotan sama sekali. Satu-satunya rumah peninggalan kakek yang masih tersisa.
***
Udara pagi semakin menggigit kulit. Subuh mulai tiba. Sesuatu telah terjadi memecah sunyinya pagi. Bukan suara bedug dan adzan subuh yang terdengar. Dari ujung desa sayup-sayup terdengar bunyi kentongan. Kian lama suaranya kian bersautan dan semakin dekat di telingaku. Teriak dan hojatan warga dengan langkah kaki yang bergemuruh kian jelas di telingaku. Kian mendekat ke arah rumahku. Tepat di depan rumahku sejenak gemuruh suara terhenti oleh suara gedebug seperti sesosok tubuh yang roboh dan terhempas ke tanah. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Untuk melongok ke luar rumah pun tak ada nyali bagiku. Aku hanya terdiam dan menunggu apa yang sebenarnya sedang terjadi tepat di depan rumahku sendiri. "Mau ke mana lagi kamu Karyo?" teriak salah seorang warga. "Mampus kamu sekarang, Dasar Maling..! Habiskan saja...!" seru beberapa orang yang lain secara bersamaan. "Ya, habisi saja dia malam ini. Bikin mampus sekalian...!" teriak yang lainnya lagi secara bersamaan pula. Kali ini teriakan-teriakan menjadi seperti tak terkendalikan lagi. Jelas merupakan ungkapan emosi yang mencapai puncaknya. Bulu kudukku pun kian berdiri dan ngeri membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi. "Tenang..., Tenang..., kalian semua tenang. Kita tak boleh main hakim sendiri. Bagaimana pun bejatnya dia, kita tak bisa menghakiminya sendiri. Baiknya kita serahkan saja dia pada yang berwajib. Biar nanti hukum yang berbicara." Kudengar suara itu dengan jelas mencoba menenagkan warga yang mulai tersulut emosi. Aku tahu persis, itu adalah suara bapak RT di desaku. "Bagaimana..., kalian setuju....?"tegas Pak RT. "Baik, Pak...!"suara warga hampir secara bersamaan. Lalu mereka pun secara bersamaan menggelandang seseorang tersebut, mungkin untuk di bawa ke kantor polisi sesuai saran Pak RT.

Suasana sunyi kembali. Satu-satu warga pun pergi. Di dalam rumah aku seorang diri. Perlahan kulangkahkan kaki ke arah kamar tidur bapakku. Pelan-pelan kubuka pintu yang kebetulan tidak terkunci. Tak kulihat bapakku di dalam. Aku tak terkejut lagi. Kini aku yakin pasti. Seseorang yang di bawa ke kantor polisi tadi, tak lain adalah bapakku. Kututup kembali pintu kamar tidur bapak. Entah kapan pintu itu terbuka lagi untuk bapak. Dalam hati kuberharap, bila nanti bapak membuka pintu ini, bapak tidak lagi seperti bapaku di pagi ini.
---$$$---

Seekor tupai melompat-lompat dari dahan ke dahan pada rumpun bambu di pekarangan belakang rumah Karto. Dikibas-kibaskan ekornya, ditengak-tengokkan kepalanya, dijulur-julurkannya lidahnya. Dijuntai-juntaikan kakinya, dan dibelalak-belalakkannya matanya. Di depan rumpun bambu itu, tegak berdiri sebatang pohon kelapa tepat di tengah-tengah pekarangan. Daunnya melambai-lambai diterpa angin yang sepoi-sepoi bertiup sore itu. Dari sela-sela lebatnya daun yang merunduk ke bawah, tampak beberapa buah kelapa dengan kulitnya yang mulai keriput dan mengering. Buah kelapa yang sudah tua memang mengering kulitnya. Bagi si tupai bentuk buah seperti ini tak lagi menarik. Tak lagi membuat tupai tergiur. Tak akan tupai menyeringai memamerkan gigi-giginya yang runcing dan teramat tajam. Terlalu sayang gigi-giginya buat mengoyak buah itu. Kalau pun beberapa kelapa tua tampak bolong-bolong, pasti bolongnya selagi kelapa masih muda. Bukan baru saja, bukan ketika kelapa telah menjadi tua seperti itu. Buat tupai, kelapa-kelapa yang demikian tak berguna lagi. Maka dibiarkannya saja kelapa-kelapa itu terkulai jatuh ke tanah. Kelapa-kelapa yang sudah tua dan mengering itu kini menjadi jatah Karto si empunya pohon.


Sore itu di beranda rumah, di atas balai-balai bambu, Karto terlihat sedang bersantai. Sebuah piring dengan ukuran kecil ada di situ, beberapa potong ubi goreng dan bakwan goreng dengan beberapa cabe muda masih tersisa. Sebuah cangkir berisi kopi hitam tinggal setengahnya saja. Di tangan kanannya tampak sebatang rokok tingwe alias lintingan dewe dipelintir-pelintir, diputar-putar dimainkannya dengan jari-jemarinya yang tampak keriput. Sesekali dihisapnya perlahan, ditariknya nafas panjang, lewat rongga tenggorokan dibawanya ke dalam dada, dalam dan dalam. Ditahannya kemudian dilepasnya dengan perlahan. Dimonyong-monyongkannya mulutnya, dibuatnya lingkaran-lingkaran asap besar dan kecil keluar dari dalam mulutnya. Asap tebal melingkar-lingkar, membubung, melambung, mengudara tinggi dan semakin tinggi. Seperti menerbangkan segala letih lesu Pak Karto yang baru saja dibawanya pulang dari pasar siang tadi.Ubi goreng, bakwan goreng, dan kopi hitam itu dibelinya tadi siang di Pasar Semprong yang letaknya di ujung desa tak jauh dari rumah Karto. Ke pasar itulah setiap hari Karto selalu menjual kelapa hasil panennya. Duit hasil menjual kelapa itu kemudian dibelikan makanan kecil, kopi dan segenggam tembakau. Hanya itu yang dapat ia beli, tak bisa lebih.


Sebenarnya tidak tepat untuk menyebut duit itu sebagai hasil menjual panenan kelapa Pak Karto. Sebab kelapa yang dijualnya tidaklah banyak, hanya dua atau tiga butir saja, tak pernah lebih. Lagi pula, kelapa itu jatuh sendiri bukan dipetik. Sejak kaki kirinya yang sebatas lutut itu, sepuluh tahun yang lalu, tergadaikan dengan sebilah mata gergaji mesin ketika sedang memotong pohon kelapa di pekarangan tetangga sebelah rumah, memanjat pohon kelapa kemudian memetik buahnya tak lagi dapat dikerjakannya. Yang dapat ia lakukan hanyalah memungut satu-satu kelapa yang kebetulan jatuh, mengumpulkan, dan kemudian menjualnya ke pasar. Sejak sembilan tahun yang lalu, sejak istri dan anaknya dibawa kabur oleh duda kaya tetangga desanya, Pak Karto lakukan sendiri pekerjaan itu. Sejak saat itu, hidup,Karto bergantung pada kelapa-kelapa di pekarangannya. Buat Karto yang seorang diri itu, di usianya yang semakin senja, kelapa-kelapa adalah pengharapannya, sumber penghidupannya, yang selalu ditunggu-tunggu di setiap waktu. Isi tidaknya perut Karto tergantung pada kelapa-kelapa itu. Jika ada kelapa jatuh Karto bisa makan. Jika tidak, Karto terpaksa menahan lapar sampai kelapa itu jatuh, kemudian dipungut dan di jual ke pasar utuk ditukar dengan makanan. Pernah Karto menahan lapar satu minggu lantaran kelapa-kelapa itu tak kunjung jatuh.


Dibuangnya puntung rokok ditangan, diteguknya sisa kopi pahit yang tidak lagi panas itu. Diambilnya sebilah tongkat bambu yang tersandar di balai-balai itu dengan tangan kirinya, pada tangan kanan dibawanya piring yang sudah menjadi kosong. Dengan payahnya Karto bangkit berdiri, dengan tertatih ia berjalan pelan. Sebuah tikar kusam di balik dinding dalam rumah yang ia tuju. Tikar itu yang selalu setia menemani Karto melewatkan malam-malamnya. Di ambang pintu, langkah Karto terhenti. Dua kali suara berdentum menahan langkah kakinya. Dua buah kelapa jatuh hampir bersamaan di pekarangan. Suara itu tak asing lagi di telinga Karto. Suara itu adalah pengharapan Karto. Terpikir olehnya dua buah kelapa di pekarangannya telah jatuh. Terbayang olehnya, besok ia bakalan makan. Raut mukanya tampak begitu berseri-seri.


Kembali Karto melangkah. Langkah Karto kali ini tampak bergegas. Tidak ke dalam rumah, tetapi ke arah pekarangan tempat di mana pohon kelapa itu berada. Karto sepertinya tak sabar lagi. Ia ingin segera mencari dan memungut kelapa itu. Karto tak rela, kalau Iyem janda tua tetangganya lebih dulu mengambilnya. Di bawah pohon kelapa langkah Karto terhenti. Pandangan matanya menyapu ke arah kanan dan kiri seperti menyelidik. Seketika mata Karto tertuju pada sebuah kelapa yang setengahnya menancap ke tanah. Buru-buru Karto mendekat. Ia bungkukkan badannya, dipegangnya kelapa itu dengan kedua tangan, digoyang-goyangkan ke kiri kemudian ke kanan, hingga tercabutlah kelapa itu. Betapa kecewa hati Karto, begitu tahu kelapa itu bolong alias cumplung. Separuh harapannya hilang, lepas bersama jatuhnya sang cumplung dari tangannya. Kemudian mata Karto menyisir, mencari kelapa satunya lagi. Tinggal pada kelapa itu harapan Karto tersisa. Pada rumpun bambu yang tak jauh dari tempat ia berdiri, Karto melihat kelapa itu setengah terjepit di antara dua batang bambu. Belum juga mendekat, sebuah lobang sebesar genggaman tangan orang dewasa pada kelapa itu seperti hendak berkata, ”Aku cumplung juga.” Tangan Karto gemetar, tongkat penopang tubuhnya terlepas, Karto jatuh terduduk lemas. Hatinya kecut, pedih dan perih. Sirna sudah harapan beroleh makan esok pagi. Dua kelapa yang jatuh senja itu nyatanya semuanya cumplung.


Sementara di atas sana, seekor tupai melompat dari batang bambu ke arah pohon kelapa. Menari-nari pada beberapa butir kelapa, seperti memilih-milih, butir mana hendak dimakannya malam nanti. Di bawahnya Karto berjalan tertatih.


---&&&---