Sumber : Dokumen pribadi |
Gambar 2
Kembali Tim Futsal Tarki 2 menimang piala juara 3 dari ajang SMA Tarki 2 Cup tahun 2015. ini adalah prestasi kedua Tim Futsal Tarki 2 setelah sebelumnya pada bulan Oktober kemarin juga memperoleh juara ke-3 di ajang Tarlim Cup 2015.
Gambar 3
Tinggal selangkah lagi. Bisa jadi beginilah kata-kata yang tak sempat terucap namun melekat kuat di benak anak-anak Tim Futsaal Putri SMP kita. Setelah hampir satu pekan berlaga tanding di ajang P 6 CUP Penabur musim CUP tahun ini, Tim Putri Tarki memastikan diri melangkah di putaran final.
Gambar 4
Mendengar istrumen gamelan jawa barangkali bayangan yang muncul di benak Anda adalah suara musik yang ditimbulkan dari seperangkat alat musik gamelan yang berjumlah besar dan dimainkan atau ditabuh oleh banyak orang. Dalam menabuh gamelan tersebut, sebagian penabuh dalam posisi duduk bersila dengan mengenakan pakaian tradisional dan dilengkapi berbagai asesoris. Begitulah visualisasi sebenarnya terkait dengan instrumen gamelan Jawa.
Friday, 11 January 2013
Friday, 23 November 2012
Pedagang-pedagang kaki lima berderet, berjajar di kiri kanan jalan di emper-emper toko. Mereka menggelar berbagai macam souvenir dan perhiasan, aneka busana laki-laki dan perempuan dari yang anak-anak sampai yang tua. Dari sepatu, sandal, juga sepatu-sandal semua ada. Tas-tas pria wanita tampak terpajang rapi berjajar. Di latar belakangnya sorot lampu-lampu toko masih jelas terlihat dari kejauhan.
Berjalan sendiri di Malioboro malam hari ketika rintik-rintik hujan. Seorang perempuan setengah baya tegak berdiri sendiri di depan Maal yang besar dan megah. Bibirnya bergincu merah, alisnya hitam tipis. Berkaus ketat dengan celana jeans yang ketat pula seperti hendak memamerkan lekuk-lekuk pada sekujur tubuhnya. Pada pundak kirinya bergantung sebuah tas kosmetik dengan warna merah cerah tergantung sebatas pinggulnya. Pada pergelangan tangannya sebuah gelang besar tampak berkilat. Sebatang rokok terjepit di sela-sela kedua jari-jemari tangan kirinya dengan kuku-kukunya yang dibiarkan panjang dan bercat merah cerah. Sesekali terlihat kilatan cahaya terpancar dari anting-anting besar yang menghias di kedua telinga, ketika dengan sengaja disibakkannya rambutnya yang dibiarkan panjang tergerai itu sampai menyentuh dada. Tatap matanya nakal dan binal. Di bibirnya terus tersungging senyum. Sesekali asap rokok mengepul dari bibirnya yang merah mengembang itu. Senyum yang menurutku penuh dengan keterpaksaan dan kehampaan. Sempat mataku beradu pandang, matanya mengedip, senyumnya tersungging. Aku merasa geli dan tersenyum juga karenanya.
Menyusur Malioboro di malam hari ketika rintik-rintik hujan. Kakiku terus melangkah. Di belakang tak jauh dariku perempuan itu pun berjalan seperti mengekorku. Tepat di depan KFC lama langkahku terhenti. Perempuan itu pun berhenti. Di dalam KFC cukup sepi. Hujan yang mengguyur sedari sore memang belum berhenti. Mungkin ini yang menjadikannya sesepi ini. Padahal dari cerita teman-teman, tempat ini tak pernah sepi, selalu saja dipadati oleh pejalan kaki atau masyarakat sekitar untuk bermakan malam. Sebuah meja yang berukuran sedang dengan empat buah kursi yang masih kosong terletak di sudut ruangan itu, ke situ langkahku menuju. Terlebih dulu kupesan dua porsi makan. Masing-masing dua potong paha ayam, satu potong dada lengkap dengan nasi dan juga kentang goreng, lalu dua cup Coca-Cola sebagai minumannya. Sengaja aku pesan dua porsi malam itu. Belum juga aku duduk, kuliat perempuan itu telah berdiri dengan tubuh setengah bersandar pada pintu KFC. Matanya terus memandangku penuh harap. Ada perasaan iba kali ini aku pada perempuan itu. Seabrek pertanyaan tentang perempuan itu seolah menggugah hasratku untuk mencari jawab dari mulut perempuan itu. Kuberikan ia senyum kedua kalinya malam ini. Lambaian tanganku yang begitu pelan menuntunnya berjalan mendekatiku kemudian duduk tepat menghadap ke arahku.
Malam ini di depan meja yang berukuran tak begitu besar duduk sudah seorang perempuan separuh baya tepat di depanku.
"Saya mulai melihat Anda sedari depan maal itu. Dan dari situ saya merasa Anda terus mengikuti saya sampai di sini. Tapi..., maaf..., kalau saya salah menduga..!" Begitulah caraku membuka pembicaraan dengannya. Aku orangnya memang tak suka basa-basi maka bertanyapun terkesan to the point. "Apa yang Anda lakukan?"
"Maaf, Om.., Panggil saja saya Mirah..!" Dia memulai pembicaraannya.
"Nama lengkap saya Samirah, tapi orang-orang di sini memang lebih mengenal saya Mirah. Sebutan Mirah mulai lekat pada diri saya sejak sepuluh tahun lalu, Om. Sejak saya bekerja di sini."
"Bekerja..! Bekerja di sini? Apa maksud Mirah bekerja di sini?" tanyaku penuh selidik.
"Ya bekerja cari uang sekedar buat makan, Om..! Di sini, ya di sini, di sepanjang jalan ini Om, Mirah bekerja."Jari telunjukknya menuding ke arah keluar, menunjuk arah selatan dan utara, seperti merentang jalan dari ujung ke ujung.
"Trus gimana cara Mirah bekerja?" tanyaku sedikit penasaran.
"Ya seperti ini Om, seperti yang Om lihat sendiri tadi. Mirah cukup berdiri saja di suatu tempat sampai ada laki-laki yang mau menghampiri Mirah. Kemudian mengajak pergi Mirah, dari sekedar menjadikan Mirah sebagai teman ngobrol, makan malam, sampai teman di ranjang, Om."Mirah berhenti sejenak, diambilnya beberapa potong kentang goreng yang sedari tadi masih dibiarkan utuh di atas meja itu.
"Mengapa dan sudah berapa lama Mirah melakukan itu?"
Kali ini Mirah terdiam. Dari sudut-sudut matanya tampak butir air mata meleleh perlahan. Diambilnya sebuah Coca-Cola yang tak lagi dingin lalu diminumnya beberapa sedot. Dengan suara yang terpatah-patah Mirah pun bercerita mengapa Mirah menjadi seperti ini. Tentang banyak peristiwa di kehidupan Mirah yang memaksanya keluyuran di tengah malam seperti ini.
Samirah nama lengkapnya. Mirah nama panggilannya. Tiga puluh empat tahun umurnya. Dua puluh tahun lalu Mirah masih duduk di kelas 3 sebuah SMP swasta. Di SMP-nya dulu Mirah tergolong remaja yang berparas cantik. Banyak teman-teman lawan jenis Mirah yang kagum padanya. Kecantikan Mirah dua puluh tahun lalu menggelapkan mata Pak Dol guru honorer di SMP itu. Di sebuah gudang lawas di pojok dekat kantin sekolah Pak Dol merenggut dengan paksa kegadisan Mirah. Hancur sudah masa depan Mirah. Mirah tak mau lagi sekolah. Mirah mengurung diri di rumah. Tak pernah Mirah ke luar rumah, apalagi ke tetangga rumah sebelah.
Baru lima tahun kemudian, Mirah mau ke luar rumah. Setelah Karyo si juragan minyak dari desa sebelah mengawininya. Dari perkawinan itu beroleh satu orang anak laki-laki. Mirah mulai menjalani kehidupan barunya. Hari-hari dijalani dengan penuh kebahagiaan seiring semakin membaiknya kehidupan ekonomi keluarganya. Kebahagiaan dalam hidup berumah tangga hanya lima tahun dirasakan oleh Mirah. Semuanya berakhir, ketika sebuah kebakaran besar memusnahkan rumah tinggal dan usahanya. Suami dan satu-satunya anak Mirah tak selamat dalam peristiwa itu. Mirah menjadi sendiri lagi. Hatinya berkeping-keping. Pernah Mirah mencoba bunuh diri. Menjatuhkan diri dari jembatan kali. Niatnya urung ketika Tante Neni mencegahnya. Bersama Tante Neni itulah Mirah menjadi seperti malam ini.
Di luar rintik-rintik hujan belum juga reda. Dua jam lebih aku duduk mendengarkan cerita Mirah. Perutku mulai berasa lapar. Menu KFC yang sedari tadi terbiarkan begitu saja di atas meja, mulai kami sentuh. Kali ini Mirah lebih banyak diam. Dari sorot matanya aku melihat ada sedikit kelegaan, sepertinya Mirah merasa lepas dari beban batin yang selama ini mendera hidupnya. Atau bisa jadi di mata Mirah aku adalah sosok yang mau mendengarkan keluh kesahnya.
"Mirah,...Mirah....! Tidakkah kau merasa berdosa, atau setidaknya menyesal atas apa yang kau lakukan itu Mirah?" tanyaku dengan perlahan.
"Om, Kalau Mirah boleh jujur. Sampai detik ini Mirah terus dihantui oleh perasaan berdosa itu. Terkadang Mirah menangis seorang diri menyesali apa yang telah Mirah lakukan. Tak jarang hati Mirah menjerit-menangis dalam dekapan Om-Om yang mencari kesenangan atas diri Mirah. Tapi...!"
"Tapi, kenapa Mirah?"
"Setiap kali perasaan itu muncul, Mirah berusaha keluar dari kehidupan Mirah yang seperti ini. Tapi setiap kali Mirah mencoba, hanya kegagalan yang Mirah peroleh, Om..! Pernah Mirah keluar masuk dari pintu ke pintu pertokoan sampai perkantoran. Tapi setiap kali yang Mirah dapat hanyalah penolakan..., penolakan, dan penolakan. Mirah Putus asa Om," suara Mirah meninggi ada kekesalan di wajahnya.
"Pernah juga Mirah mencoba, sekedar untuk menjadi tukang cuci piring di warung-warung pinggir jalan. Tak ada satu warung pun yang mau terima Mirah. Mereka malah mencibir dan mencela Mirah." Di mata mereka mungkin Mirah terlanjur dipandang hina dan kotor."Mira diam sejenak.
"Om, Mungkin memang harus begini nasib Mirah. Sebagai orang yang tak punya pendidikan, tak punya ketrampilan apalagi keahlian. Mirah pikir, wajar saja mereka menolak Mirah dengan alasan tak ada lowongan atau tak ada pengalaman. Mirah pikir inilah pilihan terakhir Mirah untuk sekedar bertahan hidup."
"Kau tak boleh begitu Mirah, selama Tuhan masih memberi kita nafas kehidupan kita tak boleh putus asa. Selama itu pula kita harus berusaha. Percayalah Mirah, selama kita berusaha pasti Tuhan akan membuka jalan untuk umatnya." Aku diam sejenak, kuraih Coca-cola yang masih tersisa, sekali sedot habislah.
"Mirah, percayalah, Tuhan tidak buta. Tuhan pasti akan membuka mata kepada umatnya yang tak pernah merasa bosan untuk memohon kepadaNya. Lebih-lebih jika permohonan itu kita iringi dengan doa dan pertobatan yang tulus."
Kulihat tetes air mata kembali mengalir dari sudut-sudut matanya yang semakin sembab. Mungkin ini air mata penyesalan pikirku.
"Pernahkah kau berpikir untuk meninggalkan kehidupanmu dengan cara pergi jauh dari kota ini, Mirah?''
"Belum, Om,"jawab Mirah dengan tulus.
"Nah..! Jika belum, Cobalah Mirah...! Di tempat yang baru nanti, kamu bisa membuka lembaran hidup barumu."
Aku diam sejenak, kuambil sebuah kartu nama dari dalam tas kecilku. Kartu nama temanku, seorang teman di Jakarta yang kebetulan butuh orang untuk menjaga toko miliknya.
"Mirah, ini kartu nama temanku di Jakarta. Temanku ini mempunyai banyak toko kain. Ia sedang membutuhkan banyak tenaga untuk menjaga toko-tokonya. Bekerjalah di sana Mirah, mungkin itu akan membantumu!"
Dengan kedua belah tangannya Mirah menerima kartu nama itu, kemudian ia masukkan ke dalam tas kosmetiknya.
"Saya pikir itu lebih baik untukmu Mirah..! Berpikirlah dulu, Mirah. Tak perlu aku mendengar jawabanmu sekarang..!"
"Terima kasih, Om..! jawab Mirah lirih."
Malam kian larut, rintik-rintik hujan pun telah berlalu. Lampu-lampu pertokoan mulai dipadamkan. Kuiring langkah Mirah menuju jalan. Mirah berjalan pelan, bayangnya memudar lalu menghilang di kegelapan malam. Selamat jalan Mirah. Dan bila nanti kumelihatmu lagi, semoga kau bukanlah seperti Mirah yang berdiri di depan Maal yang baru saja kulihat malam ini.
Sunday, 4 November 2012
Saturday, 3 November 2012
Hari kelima anakku sekolah. Masih diantar mamanya. Kemudian ditinggal kerja. Dipikirnya anak sudah terbiasa. Nyatanya sesuatu terjadi. Di tempat yang jaraknya jauh dari sekolah. Di tempat biasa orang-orang mengurus surat izin mengemudi. Tiba-tiba saja Hp-ku berbunyi. Ibu guru sekolah anakku meneleponku. Ibu guru memberi tahuku, anakku nangis dan muntah-muntah. Badannya dingin sekali. Mungkin masuk angin. Bu guru minta kumenjemputnya pulang. Tak mungkin kumenjemputnya sendiri. Kutelepon pengasuhnya, kusuruh dia menjemputnya. Hari keenam dan ketujuh, anakku istirahat di rumah. Kesehatannya sedang terganggu rupanya.
Hari pertama minggu kedua sekolah. Anakku minta masuk sekolah. Dia mandi dan pakai seragam sendiri. Baru keluar rumah dia bilang malas dan sakit perut. Mamanya tetap mengantar ke sekolah. Di ruang kelas tidak mau ditinggal. Dia minta ditunggui. Diam-diam ditinggal pergi. Pakai acara dibohongi oleh mama dan bu gurunya. Tahu dibohongi, anakku ngambeg. Nangis dan minta pulang. Pengasuhnya pun menjemputnya pulang. Sore hari, saat aku menjemputnya. Anakku bilang, dia kesel sama mama dan bu gurunya. Kesel karena dibohongi, katanya.
Hari kedua minggu kedua. Pagi-pagi anakku mandi sendiri. Pakai baju sendiri. Disuruhnya mamanya menelepon bu guru. Untuk menanyakan seragam apa yang dipakainya. Selesai berpakaian, dia mogok. Tidak mau berangkat sekolah. Katanya malas dan sakit perut lagi. Diantar saja ke rumah pengasuhnya. Oleh pengasuhnya dibujuk-bujuk sekolah. Dia mau diantar sekolah. Sampai di depan pintu pagar sekolah, anakku minta pulang. Tiba-tiba badannya dingin dan muntah-muntah. Dipikirnya masuk angin, pengasuhnya membawanya pulang. Nyatanya di rumah anakku segar bugar. Bisa ketawa-tawa dan bermain-main lagi.
Aku dibuatnya pusing oleh sikapnya. Mengapa dia tak mau sekolah? Aku tak tahu sebabnya. Bila ditanya kenapa? Jawabnya selalu saja, tidak ada apa-apa. Aku kehabisan akal. Aku tak dapat membujukknya. Tak ada cara lain yang dapat kulakukan. Kecuali mencoba menghubungi bu gurunya. Lewat telepon kusampaikan permasalahan itu. Aku minta bu guru membujuk anakku. Siapa tahu anakku mau nurut dengan ibu gurunya. Bu guru pun bersedia membantu. Entah gimana caranya, bu guru pasti punya caranya tersendiri.
Benar saja. Hari ketiga minggu kedua sekolah. Pagi-pagi benar ketika anakku baru bangun tidur. Ibu guru menelepon. Bu guru bicara langsung dengan anakku. Entah bu guru bilang apa? Aku tak tahu. Tiba-tiba saja anakku minta mandi kemudian berpakaian sendiri. Minta diantar sekolah oleh pengasuhnya. Pagi itu anakku diantar pengasuhnya dan mamanya. Sampai di depan gerbang sekolah. Bu guru menjemputnya. Menggandeng tangan anakku dan menuntunnya masuk kelas. Anakku nurut saja dibawa bu guru. Pengasuh dan mamanya seperti tak dihiraukan lagi. Mamanya pun pergi kerja. Hanya pengasuhnya tetap mengawasi dari luar kelas.
Di dalam kelas hari itu, anakku didampingi Bu guru untuk beberapa saat. Pelan-pelan dilepas dan disuruhnya bergabung dengan teman-temannya. Terdorong oleh rasa penasaran. Aku cari tahu kabar anakku dari Bu guru. Kutelepon bu guru. Bu guru bilang aman. Anakku sudah mau bergabung dengan teman-temannya. Bermain-main dan bernyanyi bersama. Bahkan hari itu anakku tidak lagi nangis dan nyari-nyari mamanya lagi. Hari itu anakku bertahan sampai pulang sekolah.
Saat sore hari aku menjemputnya. Pengasuhnya bilang, kata bu guru anakku termasuk pintar. Baru sekali dikenalkan dengan pensil dan buku tulis, anakku sudah bisa menulis namanya sendiri. Bisa juga menggambar dan mewarnai dengan rapi. Ini terlihat menonjol jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Di perjalanan ke rumah, anakku bercerita dengan senangnya. Tentang apa yang baru saja dia kerjakan di sekolah pagi tadi. Sesampai di rumah, kupeluk anakku. Kucium beberapa kali. Dalam hati kuberharap. Semoga besok sekolahmu makin enjoy lagi Nak...!
---$$$---
Friday, 2 November 2012
Berkali-kali kupu-kupu itu terbang mengitari bunga itu. Seperti tak hendak pergi dari taman itu. Entah sudah berapa waktu dia habiskan di situ. Si kupu-kupu tak peduli lagi. Tak seperti kupu-kupu biasanya. Melihat bunga itu tak terpikir olehnya untuk hinggap pada bunga itu. Kemudian dengan moncongnya yang taumberjam ditusukkannya ke dalam putik bunga. Dihisapnya sari madu bunga yang memang disukai kupu-kupu. Kupu-kupu tahu bunga itu sedang mekar, pasti sari madunya sedang manis-manisnya. Nyatanya itu tidak kupu-kupu lakukan. Tak mau kupu-kupu melakukan itu. Kupu-kupu memilih terbang berkeliling di sekitar bunga itu. Sesekali mendekat kemudian menjauh. Entah sampai kapan kupu-kupu berbuat seperti itu. Mungkin sampai si bunga itu layu dan jatuh ke tanah, pikirku.
Dari luar pagar taman itu, mataku setia memperhatikan kupu-kupu itu. Tak sedetik pun mataku beralih pandang. Seperti setiap gerak dan gerik kupu-kupu itu tak satu pun yang lepas dari pandanganku. Maka tak heran, jika akhirnya pun aku tahu tentang kupu-kupu itu. Mengapa kupu-kupu enggan beranjak dari situ?
Barangkali kupu-kupu sadar diri. Terlalu lemah dan kecil di depan bunga itu. Di mata kupu-kupu bunga itu begitu anggun dan mempesona. Karisma bunga itu memancar sampai di sudut-sudut taman. Menebar pesona yang luar biasa. Menyejukkan semua mata yang memandangnya. Tak ingin kupu-kupu mengusiknya. Tak hendak kupu-kupu melukai si penjaga taman. Diam-diam si kupu-kupu malah ikut berjaga. Di belakang Paman tukang kebun dia ikut berjaga. Meski Paman Si tukang kebun itu, tak harus tau untuk apa kupu-kupu itu berada. Sebab belum tentu, Paman itu tahu dan mau mengerti maksud hati kupu-kupu. Yang aku tahu, kupu-kupu itu selalu setia menemani Paman itu, untuk selalu berjaga dan memelihara bunga itu.
Hujan yang turun tiba-tiba memecah perhatianku pada kupu-kupu itu. Aku beranjak pergi mencari tempat berteduh. Dari sebuah pos ronda yang letaknya tak jauh dari taman itu, aku masih melihat kupu-kupu itu masih bertahan berjaga di bawah guyuran air hujan yang kian derasnya...!
---$$$---