Thursday, 14 January 2016

Kudengar gelegar tapi bukan halilintar
Kudengar gemuruh tapi bukan pula guruh
Memancar awan panas memerah pijar
Menyembul dari ujung sebuah gunung
Gulung bergulung menyebar arah

Berarak menyusur lereng menurun lembah
Meliuk menyisir kali mesra menyapa semua
Dalam hangat selimut abu debu dan batu 
Dedaunan pun luruh, pepohonan pun lusuh
Gersang meranggas hangus mengarang batu

Menggeliat gelepar tubuh -tubuh berseluruh
Bergelimpang orang-orang meraung mengerang
Larut terhanyut dalam dekap dicumbu awan
Kemudian tenggelam dalam bisu menyisa anyir darah

Berbalut lumpur hitam melepuh tubuh-tubuh
Orang-orang tunggang langgang melintang pukang
Di belakang mengejar awan hitam bergulung-gulung
Menerkam melumat segala apa terkejar

Merapi...
Geliatmu petaka kami lelapmu nikmat kami
Barangkali kau sedang tepati janji menebar rezeki di muka bumi
Mungkin begitu kau imbangkan perut dan muka bumi
Kini waktu menjadi milikmu buatmu menari-nari

Dan biarkan sejenak ku menepi menyingkir diri
Di bawah kemah-kemah berserah pasrah
Demi keselamatan jiwa dan raga kami
Berharap kau kembali lelap dalam tidur panjangmu
Dalam selimut segar hijau dedaunan di seluruh muka bumi

***

Tuesday, 12 January 2016

Kurasa kesendirian itu kian nyata
menyusup di relung-relung hidup
bersama seisi alam
yang kian mengasing dariku

Kini, tak kulihat lagi senyum manis itu
yang dulu memesonaku
Kini, tak kudengar lagi gelak tawa itu
yang pernah menggetarkan jiwaku

Barang kali di matamu
aku hanyalah seonggok debu
dan pada saatnya nanti
kan kau kibas berlalu dari telapak kakimu

Tapi, biarkan saja dia berlalu
bersama sinar mentari penghabisan di senja nanti
Tapi, biarkan saja dia sirna
bersama hujan penghabisan di musim ini

Hingga pada akhirnya
bayang-bayang itu kian memudar
kemudian lalu dan
melupamu

***

Monday, 11 January 2016

Hanya titik-titik embun
tersisa di atas dedaunan di pagi ini
kemudian hilang tanpa bekas
oleh sengat sinar mentari pagi
yang merangkak pelan membelah bumi

Seperti juga kicau burung-burung pagi
yang kian samar terdengar menjauh
oleh gemuruh roda kehidupan
dan deru degup mesin peradaban
kemudian lenyap dan senyap

Pun seperti debu yang mendebu
di tanah-tanah merekah merah
yang serak-menyerak kemudian terbang
tak berarah oleh terpa angin
di kemarau musim ini

Asaku hanyalah....
titik-titik embun tersengat mentari itu
Asaku hanyalah....
kicau burung-burung yang kian samar di pagi itu
Asaku hanyalah....
debu mendebu yang serak menyerak itu
Asaku kini hanyalah mimpi-mimpi
yang kian tiada kan bertepi lagi

****

Saturday, 9 January 2016

Indahnya pagi bukan milikku lagi
Hanya daun-daun yang bergoyang
mesra dicumbu embun-embun pagi hari
Hanya bunga-bunga yang riang
dalam dekap hangat sinar mentari

Hanya kupu-kupu terbang girang
di antara mekar bunga-bunga berseri
Akulah Sang Dewi Malam
pelita di kegelapan malam

Ingin kuikat malam pada tiang terpancang
penopang istana malam
Kutahan malam berganti pagi
Enggan kubersua mentari bila esok tiba
 
Dan bila kutatap mentari pagi
pucat pasi tubuh ini
hilang bayang-bayang diri
Di balik mega-mega biru kuberlari
menyepi diri mengurai mimpi
menanti malam menjemputku lagi

***

Monday, 4 January 2016

Terbangun pagi ini
mencoba meraih mimpi
yang telah terenda sejak dini hari
bersama pahitnya secangkir kopi
sayang, hanya sedikit lagi

Di depan mata kini menanti
bagai mata logam dengan dua sisi
antara kepentingan mengabdi dan diri sendiri

satu sisi,
di sana, pagi ini
anak-anak itu tengah menanti
untuk berbagi ilmu
bergelut dengan buku-buku
dan bukan cuma tugas dan tugas melulu

Lain sisi,
di sini, juga pagi ini
tampak begitu bingung si kecilku ini
dengan siapa dan bagaimana sekolahnya nanti
sebab Mbok pengasuh telah pergi
pulang kampung menyambut idul fitri

mungkinkah aku perlu mengundi
guna tetapkan pilihan, mana harus kulaku
antara anakku dan anak-anak itu

***