Tuesday, 15 December 2015

Selepas senja nanti kau pun kan pasti berlalu
Dan aku kan tetap tertinggal di sini dengan sekeping hati menyisa rasa
Lalu air mata hanyalah isyarat cinta yang tercabik-cabik menyesak di dada
Hingga tergores luka menetes titik-titik rindu dan benci

Tergores di tanah-tanah merah berdebu dalam langkah sebuah kisah
Kisah usang nan panjang penuh halang melintang hingga lelah menyerah
Kini kau benar-benar telah berlalu demi mimpi indahmu
Yang kau nantikan sepanjang sisa usiamu

Biarlah, dalam desah nafas ini tinggal harap bahagia menghias hidupmu
Sendiri berdiri aku di sini dalam deru hujan badai yang kian kencang
Tetap tegak dan tegar kucoba berdiri demi hidup yang terus bejalan
Meski tanpamu lagi selepas senja ini

***

Monday, 14 December 2015

Sepuluh  tahun lalu ialah bayi mungilku
Buah cintaku dengan bekas pacarku
Hanya susu dan sesuap nasi kuberi kala itu
Kini dia bukan lagi bayi mungilku itu
Kumenyebutnya anak, ialah kini anakku
Yang tumbuh dari buah cintaku dan bekas pacarku itu

Ya, kini dialah anakku
Dia tak lagi berguling merambat dan merangkak
Dia tak hanya bisa menangis dan merengek
Dia telah berjalan, melompat bahkan  berlari
Dia telah punya rasa dan juga kehendak
Dia ingin dimengerti, dipuji dan dihargai
Bukan sekedar didoktrinasi apalagi diintimidasi
Dia butuh kompromi dan toleransi
Mungkin dia mau berekspresi
Demi sebuah prestis dan prestasi

Maka biarkan aku sejenak di depanmu anakku
Dan biarkan juga aku di samping bersamamu anakku
Dan bila tiba waktu, biarkan aku di belakangmu anakku
Seperti Eyang pernah bilang Ing Ngarso Sung Tuladha
Ing Madya Mangun Karsa Tut Wuri Handayani 

 ***

Sunday, 13 December 2015

Sudah lebih dua belas tahun saya menyandang predikat Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sebuah sekolah swasta di ibu kota. Sejak menyandang predikat itu pula, sebenarnya saya sudah punya impian untuk memanfaatkan sisa waktu di sela-sela kesibukan saya mengajar untuk saya gunakan menulis. Harapan saya waktu itu tidaklah muluk-muluk. Sekedar bisa nulis puisi sampai ke cerpen sudahlah cukup. Sebuah impian yang biasa-biasa saja bukan? Impian yang sudah membumi, lebih-lebih untuk orang-orang yang memang berlatar belakang akademis di bidang sastra barangkali. Itulah idealis saya waktu itu. Namun, nyatanya tidaklah mudah buat saya untuk mewujudkan sebuah impian yang seperti itu. Tidak sebagaimana membalikkan kedua telapak tangan ternyata.

Faktanya memang, sejak saat itu saya pernah mencoba menulis. Sudah berapa banyak waktu saya habiskan untuk berlama-lama duduk buat sekedar memulai menulis. Tak terhitung lagi, sudah berapa lembar kertas habis untuk menuangkan mimpi-mimpi saya itu. Tapi hasilnya apa “NIHIL” tak satu pun tulisan dapat saya hasilkan. Kertas-kertas bekas coretan itu pun berakhir di tempat sampah atau kalau tidak menjadi barang kiloan belaka. Saya pun mengalami kebuntuan, kemudian dengan mudahnya saya mengatakan tak ada waktu, tak ada ide, dan saya vonis diri saya tidak ada bakat menulis. Lalu, selama dua belas tahun itu juga impian itu seperti terkubur dalam-dalam. Pasrah begitu saja.

Ternyata tidaklah selamanya saya dapat mengubur mimpi-mimpi saya itu. Saya terbentur oleh tanggung jawab saya. Tanggung jawab moral sebagai pendidik. Terlebih-lebih ketika saya sedang mengajar di kelas, tak jarang saya harus memberi contoh kepada anak didik saya. Mau tidak mau saya harus mau akhirnya. Suatu kondisi yang tak bisa saya mengelak dari padanya. Ujung-ujungnya, mimpi itu pun seperti menggelitik niatan saya untuk menjadikannya sebuah kenyataan. Perlahan niatan itu muncul kembali dan membimbing saya untuk sedikit demi sedikit keluar dari jurang kebuntuan itu.

Beruntung, di awal tahun ini, tanpa sengaja saya dipertemukan dengan seorang teman lama saya melalui jejaring sosial Facebook. Meski hanya di dunia maya saya berkomunikasi, melalui teman saya inilah saya mendapatkan penguatan sekaligus semangat untuk menulis. Awalnya, di FB teman saya ini, saya melihat beberapa tulisannya yang sebagian besar berupa cerpen. Dari hari ke hari kian banyak saja cerpen-cerpen baru yang diposting di Kompasiana. Kebetulan teman saya ini juga seorang Kompasianer. Saya berpikir, produktif sekali orang ini? Lewat sebuah komentar di sebuah posting cerpennya, saya menanyakan hal ini. Tentang kiat-kiat dia dalam menulis sampai bisa seproduktif itu. Lantas, bagaimana penjelasannya?

Sungguh suatu penjelasan yang cukup membuat saya tercengang. Penjelasan yang jauh dari apa yang saya bayangkan sebelumnya. Semula, saya berpandangan bahwa untuk menulis saya haruslah menyediakan waktu secara khusus. Kemudian dengan waktu khusus tersebut, saya harus memulai berfikir dan mencari-cari apa yang akan saya tulis. Selanjutnya, ketika sebuah ide sudah saya temukan, saya harus corat-coret terlebih dulu pada sebuah lembar kertas sebagai draf awal untuk kemudian diketik computer, jika memang menurut saya sudah siap menjadi sebuah karya jadi. Atas penjelasan teman saya, saya sadar bahwa ternyata pandangan saya yang seperti ini salah.

Rupanya, pandangan saya yang salah itulah menjadi penyebab utama saya selama dua belas tahun ini selalu menemukan kebuntuan’cunthel’ setiap kali ingin memulai menulis. Sebab, menurut teman saya itu, menulis tidak perlu persiapan yang sedemikian itu. Menurut teman saya, yang perlu dilakukan ketika hendak menulis adalah menulis. Ya, menulis, sekali lagi menulis. Tak perlu berlama berfikir tentang apa yang mau ditulis. Tak perlu itu mencoret-coret membuat draf, buang-buang waktu saja. Itu pemborosan namanya, pemborosan waktu, tenaga dan biaya tentu saja. Ingat, ini bukan berarti menulis tanpa dasar tentunya. Jangan sampai Anda salah paham dalam hal ini.

Tergerak oleh penjelasan teman tersebut, saya pun merubah pola pikir saya. Saya coba ikuti penjelasan temanku itu. Suatu waktu, ketika keinginan menulis itu datang, saya tak menyia-nyiakannya. Saya mulai melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Segera saya duduk di depan computer, dengan computer tersebut saya mulai menuliskan apa saja yang muncul di pikiran saya saat itu. Kalimat demi kalimat saya biarkan mengalir begitu saja tanpa ada yang harus saya delete. Itulah kali pertama impian saya menulis cerita bisa menjadi kenyataan. Saya tak peduli, apakah itu tulisan menarik atau tidak. Yang saya rasakan ketika itu hanyalah kesenangan batin semata. Sejak saat itu, tanpa saya sadari saya mulai kecanduan untuk menulis. Menulis apa saja yang mungkin bisa saya tulis. Meski sampai sekarang tulisan-tulisan itu baru sebatas untuk konsumsi pribadi dan hanya saya simpan di dalam file di laci meja saya. Jujur saja, saya sendiri tak yakin tulisan-tulisan itu layak atau tidak, menarik atau tidak, untuk dibaca orang banyak. Sekali lagi saya tak pedulikan itu, itu bukan target utama saya. Kalau saja saya tidak mengikuti saran teman tersebut, mungkin satu tulisan pun belum bisa saya buat sampai detik ini.

Masih tetap merujuk pada saran teman saya tersebut, saya disadarkan, bahwa untuk menulis sesungguhnya ketrampilan atau keahlian berbahasa bukanlah hal pertama yang mutlak harus kita punyai. Lebih penting dari itu adalah adanya niatan yang kuat dari dalam diri kita sendiri. Saya yakin niatan yang kuat itu pada akhirnya akan memacu kita untuk berfikir inovatif yang berarti selalu berusaha untuk menggali hal-hal baru sebagai sumber ide penulisan. Sekaligus berfikir kreatif yang berarti selalu berfikir untuk mengolah dan mengembangkan hal-hal baru yang kita temukan itu sehingga menjadi sebuah tulisan yang menarik.

Berpijak dari keyakinan inilah saya mencoba menulis. Tentu saja, membekali diri dengan pengetahuan dan pendapat orang lain yang lebih tahu persis tentang teori-teori menulis, yang bisa didapat dari beragam sumber adalah sesuatu yang tidak dapat saya tinggalkan.


***





Sedang asyiknya menikmati waktu kosong di sela-sela kesibukan mengajar. Menghabiskan waktu dengan duduk-duduk santai di kursi piket. Sesekali tangan membuka-buka buku daftar hadir kelas. Merekap siswa-siswa yang tidak masuk pada hari ini. Tiba-tiba di kejauhan secara tidak sengaja, mataku menatap dan beradu pandang dengan seseorang yang kemungkinan adalah orang tua murid sekolah ini. Dari raut wajahnya, tampak jelas kegelisahan padanya. Gurat-gurat di wajahnya menampakkan kekecewaan yang benar-benar mendalam dia rasakan.
Tepat di depan meja piket dia berdiri. Kucoba sapa dengan ramah dan penuh sopan.

"Selamat siang, Bu! Ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat siang, Pak! Bisa saya bertemu dengan Pak Anto, wali kelas 8F?" dia bertanya dengan suaranya yang lemah.
"Oh, bisa-bisa Bu, silakan dan sayalah Pak Anto." seraya kuulurkan tanganku sambil memperkenalkan diri.
"Ibu ini siapa ya?"
"Perkenalkan Pak, nama saya Lisa, orang tua dari Lenni kelas 8F." dia mulai berbicara secara perlahan dan tampak begitu sopan.
"Pak, saya bingung dengan perkembangan anak saya akhir-akhir ini. Di rumah jarang sekali belajar. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk bermain-main di depan komputer." Ibu itu mulai membuka pembicaraannya.
"Pernah suatu kali saya lihat hasil ulangan hariannya, dan sungguh mengecewakan sekali hasilnya. Ulangan-ulangannya semuanya hampir tidak ada yang beroleh di atas KKM, dan harus remedial, Pak," suara ibu itu semakin tinggi dengan nada yang penuh kekecewaan.
"Dan Pak..! Yang membuat saya semakin bingung sekaligus kesal, setiap kali saya saya nasihati, anak saya ini malah berontak dan melawan. Terus terang Pak, saya selaku orang tuanya menjadi bingung." Ibu itu kemudian terdiam, seperti hendak menunggu tanggapan dariku.

"Maaf ya, Bu..! Boleh saya bertanya?" aku mulai membuka suara.
"Silakan, Pak..!"
"Sekali lagi, maaf ya Bu, Ibu punya anak berapa?" Aku mulai dengan pertanyaan ini yang mungkin adalah pertanyaan yang tidak sama sekali diduga oleh Ibu tersebut. Nyatanya, Ibu itu sempat terbelalak dan baru menjawab pertanyaanku.
"Dua, Pak..! Yang pertama sudah lulus kuliah dan tahun ini sudah mulai bekerja di sebuah bank swasta di kota ini." Dia mulai bercerita tentang anak pertamanya. " Dan.., dan yang kedua si Lenni. Saya bingung. Pak, Lenni nyatanya tidak seperti kakaknya."
"O... dua ya Bu...!" seolah aku memastikan
"Betul Pak..!" jawabnya.
"Nah, begini Bu, Ibu punya anak dua saja sudah bingung begitu. Lah saya, 30 Bu..!"
Aku diam sejenak.
"Coba Bu, bayangkan..! Apa saya tidak lebih bingung...!"jelasku dengan nada yang sedikit tinggi.
"Saya strees Bu, melihat anak-anak sekarang yang susah diatur..! he..he...he...!

Sengaja kulemparkan kata-kata ini dengan sedikit berseloroh. Harapanku bisa sedikit menenangkan kegundahan dan kegelisahan sang ibu itu. Dan benar nyatanya, dari sorot matanya kulihat mulai berbinar. Emosinya mulai tertata dan kegelisahan perlahan mereda. Tampak seutas senyum tertahan di sudut-sudut bibirnya.
"Jadi begini Bu. Kita ini orang tua, hendaknya memiliki kesabaran lebih ketika menghadapi anak-anak yang nakal dan susah diatur sekalipun. Niscahya dengan kesabaran ini, insya Allah secara perlahan anak-anak tentu dapat kita arahkan menjadi lebih baik. Daripada marah-marah menguras energi, belum tentu anak-anak akan menurut. Malah bisa-bisa berontak dan bersikap lebih keras ketimbang yang tua-tua seperti kita ini. Eh, malah jadi menggurui. Tapi begitukan Bu..!" tegasku.

"Hmmm, betul juga ya Pak...! Jadi merepotkan Bapak saja ini saya. Kalau begitu permisi Pak. Maaf telah merepotkan Bapak."
"Ah, tidak apa-apa Bu. justru saya yang berterima kasih atas kedatangan Ibu."
Kemudian kami pun berjabat tangan. Ibu itu pun mulai beranjak dari meja piketku dan aku kembali merekap absensi kelas yang sempat tertunda. "Apa jadinya seandainya tadi dengan serta merta larut terbawa emosi sang ibu tadi?" Gumanku dalam hati


***

“Anak-anak meriah lho, pestanya. Gak ada yang mendampingi!" Tiba-tiba suara memecahkan kesunyian di ruang ini. Sunyi bukan karena tidak ada orang. Banyak orang malah. Orang-orang di sini terlihat asyik dengan diri sendiri. Duduk diam di depan meja. Matanya menatap tajam pada layar kaca di meja depannya. Layar monitor komputer PC tentunya. Bukan sedang mengerjakan administrasi mengajar, melainkan asyik membuka-buka halaman FB. Sebuah situs jejaring sosial yang sedang jadi trand di saat sekarang ini. Dari anak-anak sampai yang tua, dari desa sampai perkotaan banyak dari mereka yang sudah kenal dengan situs FB ini.Orang-orang di sini sedang asyik mengupdate status, kemudian memberi komentar atas status teman, atau berkomentar balik atas komentar teman tentang status yang ditulisnya. Sebagian lagi asyik dengan ikan-ikannya, membersihkan kolam, memberi makan sampai menjual kemudian membeli ikan lagi. Jangan berpikir ikan beneran. Ikan-ikan itu hanyalah ikan maya yang didapatnya dari sebuah permainan. Biasa disebut happy aquarium. Membaca namanya saja, permainan ini tentunya menyenangkan dan mengasyikkan. Siapa yang memainkannya ditanggung pasti happy.
Dari pintu belakang kembali BB berjalan cepat menuju pintu depan. Terlihat matanya melirik ke arahku dan beberapa teman yang duduk-duduk di tengah ruangan ini. Matanya menatap dalam seolah tak hendak melupakan apa yang dilihatnya itu. Kemudian merekamnya masuk ke dalam otak dan dijadikannya real file yang mungkin nanti akan digunakannya saat waktu pengadilan tiba. Oh ya, terhadapnya aku lebih senang menyebutnya BB, sebab tak mungkin bagiku untuk menyebutnya secara lugas. Tak ada keberanian dalam diriku untuk menyebutnya dengan lugas tanpa tedeng aling-aling. Istilah BB sengaja aku pinjam dari teman-teman yang lebih awal menyebutnya begitu. Aku sendiri belum paham benar dengan maksud BB di sini. Apakah itu kependekan dari big boss? atau menyebut produk HP Black Barry? Sebuah produk Hp yang saat ini sedang banyak digandrungi oleh orang banyak, karena kecanggihannya dan kelengkapan fiturnya. Ataukah BB di sini yang dimaksudkan adalah pertautan antara kedua konsep di atas? Entah metonimia entah apa namanya, bodo amat. Aku tak tahu banyak. Aku tak tertarik menganalisisnya lebih jauh. Yang aku tahu BB yang ini lain dari pada BB yang sudah-sudah.
"Bu Anu ke mana?" kembali suara terdengar keras. Tak jelas kepada siapa pertanyaan itu dimaksudkan. Aku dan beberapa teman cuma bengong dan saling memandang. Tak sepatah katapun keluar dari mulut kami. Tak ada respon atas pertanyaan itu. Gak perlu direspon pertanyaan itu, bisikku kepada teman-teman lewat sinyal mataku. Untung teman-teman tanggap akan sinyal itu sehingga tak satupun yang menanggapi pertanyaan itu. Sampai akhirnya BB pun berlalu terkesan terburu-buru.
Waktu tepat tengah siang. Di luar sana, hingar bingar suasana pesta telah terhenti. Alunan musik yang sedari tadi silih berganti tak terdengar lagi. Pendopo telah menjadi sepi. Kerumunan anak-anak satu persatu pergi. Giliran para pesuruh yang menjadi sibuk, beres-beres dan bersih-bersih. Para pesuruh bekerja seperti robot-robot, terkesan kaku dan setengah hati. Di bawah kendali peluit dan komando BB. Di ruangan lain, aku dan beberapa teman tak lagi asyik dengan FB-nya. Kami duduk-duduk saja, sekedar menunggu waktu. Di depan sana BB seperti terpaku. Diam dan kaku. Di matanya sinar kesal terpancar. Mungkin kesal pada kami. Pada kami yang hari ini tampak apatis dan tak mau tahu dengan pesta itu.
***