Tiba di sekolah waktu belum genap jam 7 pagi. Masih dua
puluhan menit lagi kurangnya. Buru-buru kutaruh sepedaku di parkiran belakang
sekolah. Dari situ, aku langsung ke ruang kelasku, kutaruh tas berisi
buku-buku. Kemudian bergegas ku ke arah ruang kelas di sebelah kelasku. Di
situlah ruang kelas Riri. Segera kulongok ke dalam, mataku mencari-cari Riri.
Nyatanya belum ada juga. Maka berlarilah aku menuju ke arah gerbang sekolah.
Maksudku ku mau menunggu Riri di sana, sebab bisa jadi Riri belum datang.
Terdengar
bel pagi berbunyi. Teman-teman yang semula duduk-duduk dan bergerombol di
halaman dan emper-emper kelas mulai beringsut ke kelas masing-masing. Mereka
bersiap menerima pelajaran pagi ini. Baru kakiku mulai melangkah meninggalkan
gerbang sekolah, kulihat dari arah depan sana, Riri berjalan menuntun sepeda
ontelnya. Kudekati dia, kubantu bawa sepeda ke tempat parkir. Aku tahu
sepedanya kempes, sepertinya terkena paku saat di perjalanan. Sementara aku
menaruh sepeda di tempat parkir, Riri menungguku di pojok gedung sekolah.
"Ri..., saat pulang sekolah nanti, aku mau ketemuan.
ada yang aku mau sampaikan ke kamu."
"Emang ada apaan..?"
"Nanti aja, aku kasih tau semuanya."
"Gimana, bisa nggak..?"
"Ya udah, aku bisa."
"Ok. aku tunggu di taman sekolah siang nanti."
Hanya itu percakapan yang tercipta di antara aku dan Riri
pagi ini, sebab kami harus segera menuju ke kelas masing-masing. Tepat di ujung
di depan perpustakaan kamu berpisah, Riri ke arah kiri, ruang kelas 7B ditujunya.
Aku ke arah kanan ruang kelas 8C yang aku tuju.
Sampai
di depan pintu kelas, aku berhenti sebentar. Tampaknya, Pak Harso guru
Matematika sudah berada di dalam. Aku berdiri diam sebentar, ada perasaan takut
seketika menghantui. Aku takut masuk ke kelas. Sebab pagi ini aku lupa
mengerjakan PR yang kemarin diberikan Pak Harso. Aku tahu persis, Pak Harso
pasti marah besar jika kedapatan muridnya tidak mengerjakan PR. Hukuman berdiri
selama pelajaran berlangsung atau menyanyi di depan kelas itu jelas dialami
siswa tersebut. Tiba-tiba aku ingat niatan ketemuan Riri siang nanti, niatan
itu seperti menggugah keberanianku, seketika hilang rasa takut dan penakut itu.
Kuketuk
pintu kelas, terdenga suara Pak Harso mempersilakanku masuk. Aku buka pintu
perlahan dan kumelangkah ke dalam. Di depan Pak Harso kuberdiri. Kuucapkan
selamat pagi, tak lupa kumeminta maaf atas keterlambatanku pagi ini. Sudah
tentu sebelum kudiizinkan duduk di kursiku sebuah judul lagu harus aku
nyanyikan terlebih dulu di depan kelas sebagai hukuman atas keterlambatanku.
Namun begitu, aku bersyukur juga, sebab pagi ini sesi pembahasan PR sudah
berlalu, dan Pak Harso mulai memberikan materi pelajaran yang baru. Dengan
begitu aku lewat dari hukuman yang kedua. Hukuman atas kelalaianku mengerjakan
PR pagi ini.
Pagi ini pelajaran Matematika yang dua jam pelajaran ini
terasa lama sekali. Sepertinya jarum jam berat untuk berputar meninggalkan
angka delapan. Belum lagi pelajaran berikutnya adalah Fisika dan Bahasa
Inggris. Kedua mata pelajaran ini tak kalah menakutkan diriku. Baik Matematika,
Fisika dan juga Bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang sudah dapat
dipastikan nantinya beroleh angka 40 di rapor. Nilai minimal yang boleh ditulis
di rapor untuk anak-anak yang tidak mempunyai kelebihan akademis seperti aku
ini. Maka setiap kali pelajaran tersebut jika tidak terpaksa, alias ada
kesempatan untuk membolos, pasti aku memilih membolos.
Tapi hari ini kesempatan membolos tidak terbuka untukku.
Minggu lalu telah diumumkan, jika Fisika dan Bahasa Inggris hari ini akan
ulangan. Mau tidak mau aku harus ikut ulangan. Setidak-tidaknya biar tidak
mendapatkan nilai nol nantinya. Meskipun aku sadar bahwa aku sedikit pun tak
ada kesiapan untuk ulangan itu. Tapi biarlah, tak ada salahnya aku mengikutinya.
Meskipun sesungguhnya aku sendiri tidak yakin bisa dan tidaknya ulangan sebab
semalam aku sama sekali tidak belajar. Pikiranku sedang tidak terfokus, tak
dapat berkonsentrasi sedikit pun. Bila saja tubuhku di dalam kelas sesungguhnya
pikiranku melayang jauh ke taman di depan sekolah. Sebuah taman di mana di sana
nanti sepulang sekolah aku akan bertemu dengan Riri.
***
Bel berbunyi tiga kali. Jam di dinding sekolah menunjuk
pukul 12.30 WIB. Waktunya pulang sekolah. Murud-murid yang semula suntuk
belajar sebentar lagi bakal berhamburan ke luar kelas. Di antara mereka banyak
yang langsung berhambur ke halaman sekolah untuk bermain-main bola. Sebagian
lagi langsung menuju ke parkiran sepeda. Mengambil sepeda masing-masing
kemudian pulang.
Sebuah taman yang tidak begitu luas terletak di sisi
Barat halaman sekolah. Di taman itu ditumbuhi berbagai tanaman hias, dari yang
berbunga atau sekedar berdaun saja. Tanaman-tanaman itu tampak terpelihara dan
tertata dengan rapinya. Semua tampak segar dan menghijau dengan beberapa bunga
beraneka warna yang sedang bermekaran. Rumput-rumput di taman ini pun terlihat
begitu lebat dan menghijau seperti hamparan permadani yang bila tertimpa
cahanya matahari tampak begitu berkilau. Sebuah pohon mangga dengan batangnya
yang besar dan berdaun rindang tampak berdiri kokoh di tengah-tengah taman itu.
Meskipun matahari sedang terik-teriknya, tak pernah sinarnya jatuh langsung
menyentuh tanah di bawah pohon tersebut. Sinarnya terhalang oleh kelebatan
pohon mangga itu. Di bawah pohon itu terdapat beberapa bangku panjang.
Bangku-bangku tersebut sering dimanfaatkan oleh teman-teman untuk sekedar duduk
bersantai atau pun belajar di sela-sela istirahat atau pun menunggu jemputan.
Di bangku panjang itu kulihat Riri sedang duduk sendiri.
Mungkin dia sedang menungguku sebagaimana pagi tadi telah kusampaikan keinginan
bertemu sepulang sekolah ini. Kulihat dia begitu menikmati kesendirian itu
dengan membuka-buka sebuah majalah sekolah yang memang tadi pagi baru saja
dibagikan secara gratis kepada murid-murid. Aku tahu halaman mana dari majalah
itu yang selalu dia tunggu-tunggu. Tentu saja pada sebuah halaman yang memuat
rubrik puisi. Rubrik ini memuat berbagai puisi karya murid-murid termasuk puisi
tulisanku pun selalu dimuat dalam rubrik tersebut.
Dari arah belakang kucoba mendekati Riri. Langkahku
teramat perlahan sampai tepat berdiri di belakang Riri. Riri belum juga sadar
akan kedatanganku. Jarak di antara kami kian mendekat. Tinggal sejengkal saja.
Malah kurang. Aku terdiam sejenak. Kemudian dengan kedua telapak tanganku,
kudekap erat kedua pelupuk matanya. Dia tersentak seolah hendak berontak. Tapi,
tak hendak kulepaskan juga. Biar Riri penasaran pikirku. Kemudian Riri terdiam.
Hanya sebelah tangan kirinya memegang kedua tanganku yang masih saja lekat di
kedua matanya. Perlahan dia coba melepasnya dan berkata lirih padaku.
”Sudahlah Din, lepaskan! Aku tahu kok, pasti kamu yang
datang!” pinta Riri dengan penuh manja. Aku pun melepasnya kemudian kuposisikan
duduk di sebelah Riri.
”Sorry, Ri. udah lama menunggu?” begitu aku memulai
pembicaraan siang itu.
“Belum
kok, baru juga. Belum ada satu jam!”
“Oh,
satu jam. Sorry..sorry...!” sergahku dengan penuh rasa bersalah karena telah
membiarkan Riri menungguku begitu lama.
“Trus.. tumben-tumbenan kamu ngajak aku ke sini. Ada
apaan sih Din?”
”E.. Anu Ri. Sebenarnya ada yang aku mau sampaikan ke
kamu.” Aku diam sejenak.
”Apaan Din?” Riri seperti tak sabar ingin segera
mengetahui apa yang ingin aku katakan.
***
Matahari di siang ini begitu terik. Seperti tegak bergantung
tepat di atas kepala. Udara begitu gerah dan panas. Angin yang sesekali bertiup
sepoi menggoyang dedaunan rindang tak mampu meneduhkan insan yang berteduh di
bawahnya. Hatiku semakin gundah, resah dan begitu gelisah. Sejenak kami larut
dalam kebekuan. Masih teringat jelas kata-kata Papa semalam, bila esok aku
harus sudah berangkat ke kotaku yang baru. Kucoba hirup nafas perlahan. Udara
terasa berat mengalir ke dalam paruku melalui rongga tenggorokan. Tiba-tiba
tenggorokan ini berasa tersumbat. Tertahan beberapa kata yang hendak aku ucap.
Kucoba menata hati, patah demi patah kata kurangkai untuk segera diucap.
“Ri..., barangkali saja...” aku terdiam
“Barangkali apa...!” sambung Riri penasaran
”Barangkali pertemuan ini adalah....!”
Tiba-tiba terdengar detring telepon genggam dari dalam
tas Riri. Aku berhenti bicara. Kubiarkan Riri mengangkat teleponnya dulu. Dari
pembicaraan Riri aku bisa menebak apa isi pembicaraan itu. Ya, aku tahu. Riri
harus segera pulang. Ayahnya sakit keras.
Raut muka Riri yang semula tampak berseri tiba-tiba
menjadi muram dan urung sekali. Tampak kesedihan begitu nyata dari kedua tatap
matanya. Riri menunduk lesu dan merebahkan kepalanya di bahuku. Aku tersentuh,
aku merasakan kedukaannya yang begitu mendalam. Tanpa pikir panjang kuurungkan
niatku untuk mengatakan perpisahan itu kepadanya. Aku tak rela menambah
kesedihan di hati Riri yang memang sedang sedih karena ayahnya yang sakit.
Kurauih tangan Riri perlahan kuajak dia bangkit dan berdiri.
Sudahlah Ri, ayo kuantar kamu pulang.” pintaku dengan
tulus.
”Tapi, tapi.. kamu kan belum bicara apa-apa sama Riri.”
katanya.
”Sudahlah, yang terpenting ayahmu harus segera ditengok
barangkali perlu segera di bawa ke dokter.”
Dengan perlahan pula kugandeng tangan Riri sambil berjalan.
Parkiran belakang sekolah yang kami tuju. Di sana sepeda kami telah siap
mengantar pulang. Dalam hatiku masih tersimpan beban atas penjelasanku buat
Riri. Mungkin suatu saat nanti aku akan menjelaskannya dengan cara yang lain. Di serpanjang jalan lebih banyak
kami berdiam diri. ”Selamat tinggal Riri. Suatu saat nanti, aku pasti kembali.”
Bisikku lirih dengan harap Riri tk mendengar jerit sedih di hati ini.
(Bersambung....)