Contoh Proposan Penelitian Tindakan Kelas
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang masalah
Komunikasi
merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Dengan berkomunikasi seseorang
dapat menyampaikan ide dan tujuannnya kepada orang dituju. Komunikasi dapat
dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan berbicara, gesture, gerakan mata
maupun sentuhan. Dan salah satu cara berkomunikasi yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain adalah dengan cara
berbicara.
Berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang utama dan yang
pertama kali dipelajari oleh manusia dalam hidupnya sebelum mempelajari
keterampilan berbahasa lainnya. Sejak seorang bayi lahir, ia sudah belajar
menyuarakan lambang-lambang bunyi bicara melalui tangisan untuk berkomunikasi
dengan lingkungannya. Suara tangisan itu baru menandakan adanya potensi dasar
kemampuan berbicara dari seorang anak yang perlu distimulisi dan dikembangkan
lebih lanjut oleh lingkungannya melalui berbagai latihan dan pembelajaran. Orang akan merasa terusik jika anaknya lahir tanpa suara tangisan. Orang
akan merasa lebih sedih lagi jika anaknya tumbuh dewasa tanpa memiliki
kemampuan berbicara secara lisan.
Setiap manusia dituntut untuk terampil menyatakan pikiran, gagasan, ide,
dan perasaan. Terampil menangkap informasi-informasi yang didapat, dan terampil
pula menyampaikan informasi-informasi yang diterimanya.
Keterampilan berbicara memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Kehidupan manusia setiap hari dihadapkan dalam berbagai kegiatan yang
menuntut keterampilan berbicara. Contohnya dalam
lingkungan keluarga,sekolah, maupun di tempat bekerja dialog selalu terjadi, antara ayah dan ibu,
orang tua dan anak maupun antara kakak dengan adik. Di luar lingkungan sosial
juga terjadi pembicaraan antara tetangga dengan tetangga, antar teman
sepermainan, rekan kerja, teman perkuliahan dan sebagainya. Terjadi pula pembicaraan di pasar, di swalayan, di pertemuan-pertemuan,
bahkan sering pula terjadi adu argumentasi dalam suatu forum. Semua situasi tersebut menuntut agar kita mampu dan terampil berbicara.
Keterampilan berbicara juga memiliki peran penting dalam pendidikan, baik
di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat luas. Proses transfer ilmu
pengetahuan kepada subyek didik pada umumnya disampaikan secara lisan. Tata
krama dalam pergaulan, nilai-nilai, norma-norma, dan adat kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat juga banyak diajarkan terlebih dahulu secara lisan.
Hal ini berlaku dalam masyarakat tradisional maupun masyarakat modern.
Kemampuan berbicara sangat penting dalam kehidupan manusia karena sebagian
besar aktivitas kehidupan manusia membutuhkan dukungan kemampuan berbicara.
“Keterampilan berbicara, terutama berbicara di depan banyak orang (public
speaking) kini semakin penting. Tidak cuma untuk bisnis, tetapi juga untuk
pendidikan, politisi dan di kalangan birokrasi,” demikian dikatakan oleh harian
Kompas edisi online. Ditandaskan pula oleh Charles Bonar Sirait, penulis buku The
Power of Public Speaking: Kiat Sukses Berbicara di Depan Publik, “Saat ini public
speaking sedang menjadi tren, mulai dari anak-anak sampai orang tua ingin
mempelajarinya.”
Berbicara merupakan suatu proses penyampaian informasi, ide atau gagasan
dari pembicara kepada pendengar. Si pembicara berkedudukan sebagai komunikator
sedangkan pendengar sebagai komunikan. Informasi yang disampaikan secara lisan
dapat diterima oleh pendengar apabila pembicara mampu menyampaikannya dengan
baik dan benar. Dengan demikian, kemampuan berbicara merupakan faktor yang
sangat mempengaruhi kemahiran seseorang dalam penyampaian informasi secara
lisan.
Agar pembicaraan itu mencapai tujuan, pembicara harus memiliki kemampuan
dan keterampilan untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Hal itu
mengandung maksud bahwa pembicara harus memahami betul bagaimana cara berbicara
yang runtut dan efektif sehingga orang lain (pendengar) dapat menangkap
informasi yang disampaikan pembicara secara efektif pula.
Itulah sebabnya dalam Kurikulum Pendidikan Nasional untuk mata
pelajaran Bahasa Indonesia sangat ditekankan pentingnya meningkatkan kemampuan
siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, runtut
dan efektif, secara lisan maupun tulis. Karena hekekat belajar bahasa adalah
belajar berkomunikasi.
Pembelajaran Bahasa Indonesia yang diberikan kepada siswa di sekolah
meliputi empat aspek keterampilan berbahasa, yaitu menyimak (dengan pemahaman),
berbicara, membaca (dengan mengerti), dan menulis. Dari keempat macam
keterampilan berbahasa itu guru melihat, mengalami dan merasakan adanya masalah
pembelajaran bahasa Indonesia pada siswa kelas VII SMP NN pada semester I Tahun Pelajaran 2015/2016, terutama pada
keterampilan berbicara runtut, baik dan benar. Meskipun guru telah berusaha keras untuk mengatasinya melalui pembelajaran
standar dan dengan menerapkan bahan belajar serta media yang ada, namun tetap
saja masalah belum teratasi.
Berdasarkan pengalaman empris di lapangan diketahui bahwa kemampuan
berbicara siswa dalam proses pembelajaran masih rendah. Hal itu terdeteksi pada
saat siswa diminta oleh guru untuk menceritakan pengalaman pribadinya dengan bahasa yang runtut, baik, dan benar. Isi pembicaraan yang
disampaikan oleh siswa tersebut berbelit-belit dan tidak terarah, tidak focus
terhadap satu ide pokok saja. Selain itu
siswa juga berbicara tersendat-sendat sehingga isi pembicaraan menjadi tidak
jelas. Ada pula di antara siswa yang tidak mau berbicara di depan kelas karena takut
atau kurang percaya diri.
Dari latar belakang permasalahan dan pemikiran tersebut, diperoleh
kesimpulan bahwa perlu segera dicarikan solusi alternatif sebagai upaya untuk
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Hal itu mengingat
pentingnya kaitan antara keterampilan berbicara dengan keterampilan berbahasa
lainnya. Selain itu, keterampilan berbicara siswa di sekolah dasar merupakan
tumpuan utama bagi pengembangan keterampilan berbicara tingkat lanjut pada
jenjang sekolah yang lebih tinggi maupun sebagai bekal kehidupan siswa kelak di
tengah
masyarakat.
Adapun alternatif pemecahan masalah yang dipilih untuk mengembangkan dan
meningkatkan keterampilan berbicara secara runtut pada siswa Kelas VII SMP NN Jakarta, dengan penelitian
tindakan kelas (Classroom Action Research) melalui penerapan metode Kultum ( Kuliah
Tujuh Menit) atau memberikan ceramah secara singkat pada saat sholat dzuhur
berjamaah. Dipilihnya metode ini
karena dipandang mampu mengajak siswa untuk berbicara. Dengan metode Kultum yang
melakukan ceramah di depan siswa-siswi yang lain pada saat sholat dzuhur
berjamaah , siswa termotivasi
untuk berbicara di depan kelas. Siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan
berpikir dan berimajinasi. Di samping itu, diharapkan pula agar siswa mempunyai
keberanian dalam berkomunikasi.
Dari semua yang telah terurai dapatlah kiranya dirumuskan formulasi judul
penelitian tindakan ini sebagai berikut: “Upaya Meningkatkan Keterampilan
Berbicara secara Runtut, Baik dan Benar melalui Penerapan Metode Kultum
pada siswa kelas VII SMP NN Jakarta pada Tahun 2015/2016.”
B. Perumusan Masalah
Masalah utama yang ingin dicarikan pemecahannya melalui penelitian
tindakan kelas ini adalah:
- Apakah pembelajaran
Bahasa Indonesia dengan metode kultum dapat meningkatkan
aktivitas berbicara secara runtut, baik dan benar pada siswa kelas VII SMP NN Jakarta Tahun Pelajaran 2015/2016?
- Apakah pembelajaran
Bahasa Indonesia dengan metode kultum dapat meningkatkan
kemampuan berbicara secara runtut, baik dan benar pada siswa kelas VII SMP NN Jakarta Tahun Pelajaran 2015/2016?
- Apakah pembelajaran
Bahasa Indonesia dengan metode kultum dapat meningkatkan
kemampuan berbicara secara runtut, baik dan benar pada siswa kelas VII SMP NN Jakarta Tahun Pelajaran 2015/2016?
C. Batasan Masalah
Agar kajian permasalaha terarah, maka perlu ditetapkan batasan-batasan
sebagai berikut:
- Ruang lingkup kajian dari segi bidang studi hanya difokuskan pada
pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VII semester I Tahun Pelajaran 2015/2016, khususnya pada aspek berbicara yang berhubungan dengan materi atau
Kompetensi Dasar (KD): “ Bercerita dengan urutan yang baik, suara,
lafal, intonasi, gesture dan mimic yang
tepat.
- Subyek penelitian hanya terbatas pada siswa Kelas VII SMP NN Jakarta.
- Penelitian Tindakan Kelas ini dilakukan secara individu oleh guru bidang
studi yang bersangkutan.
- Instrumen penelitian yang digunakan merupakan hasil buatan sendiri dari
guru yang sekaligus peneliti.
- Keterampilan berbicara dimaksudkan dalam penelitian tindakan ini terutama
adalah kemampuan berbicara lisan di depan kelas dengan kalimat yang runtut
serta dengan bahasa yang baik dan benar dalam kaitannya dengan proses
pembelajaran. Jadi tidak menjangkau segala bentuk keterampilan berbicara.
- Prestasi belajar dimaksudkan dalam penelitian ini dibatasi pada hasil
penilaian atas kemampuan atau keterampilan berbahasa dari siswa yang
berhubungan dengan aspek berbicara. Jadi, prestasi belajar yang berhubungan
dengan keterampilan berbahasa lainnya seperti menyimak, membaca dan menulis
tidak termasuk dalam jangkauan penelitian tindakan ini.
D. Tujuan Penelitian Tindakan
Tujuan penelitian tindakan kelas ini tidak lain adalah:
- Mengetahui ada atau tidaknya peningkatan aktivitas belajar siswa Kelas VII SMP NN Jakarta
Tahun Pelajaran 2015/2016 dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan metode kultum
- Mengetahui ada atau tidaknya peningkatan keterampilan berbicara secara runtut, baik dan benar pada siswa Kelas
VII
SMP NN Jakarta Tahun Pelajaran 2015/2016 dalam pembelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan metode kultum
- Mengetahui ada atau tidaknya peningkatan prestasi belajar siswa Kelas VII SMP NN Jakarta
Tahun Pelajaran 2015/2016 dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia melalui penerapan metode kultum.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan bisa bermanfaat:
- Bagi siswa; sebagai wujud pengalaman belajar yang berpusat pada subyek
didik, dirasakan menyenangkan, bisa memacu aktivitas belajar, meningkatkan
keterampilan berbicara secara runtut, baik dan benar dan juga bisa meningkatkan
prestasi belajar mereka.
- Bagi guru yang bersangkutan dan teman sejawat; hasil penelitian tindakan
ini setidaknya bisa mendorong semangat untuk lebih meningkatkan kompetensi dan
profesionalisme guru
- Bagi sekolah; hasil penelitian ini setidaknya bisa dijadikan sebagai
referensi untuk menambah dan memperkaya khazanah kepustakaan sekolah.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KAJIAN PUSTAKA
Penelitian
ini merupakan penelitian tindakan kelas ( Class
Action Research), berupa penerapan metode kultum dalam proses keterampilan
berbahasa di kelas. Kajian teori yang akan dibahas meliputi pembelajaran
berbicara dan kultum ( kuliah tujuh menit) atau ceramah singkat yang dilakukan
siswa pada saat setelah sholat dzuhur berjamaah pada siswa kelas VII SMP NN Jakarta Tahun pelajaran 2015/2016.
Pembelajaran Bahasa Indonesia
Menurut UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam
pendidikan nasional (Pasal 33 ayat 1). Hal itu menunjukkan betapa penting dan
strategisnya kedudukan bahasa Indonesia dalam sistem pendidikan nasional dan
dalam kehidupan bangsa Indonesia. Karena itu tidak berlebihan jika kemudian
ditegaskan lebih lanjut dalam undang-undang tersebut bahwa Bahasa Indonesia
wajib dimuat (dan tentu saja wajib pula diajarkan) dalam kurikulum pendidikan
dasar sampai pendidikan tinggi (Pasal 37 ayat 1 dan 2).
Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang mulai diberlakukan sejak
tahun 2006 berdasarkan Permendiknas RI Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi,
Pembelajaran Bahasa Indonesia menekankan pentingnya penguasaan 4 (empat) macam
keterampilan dasar berbahasa oleh subyek didik yang meliputi:
keterampilan berbicara, menyimak atau mendengarkan (dengan pemahaman), membaca
(dengan pemahaman) dan keterampilan menulis. Keempat macam keterampilan dasar
berbahasa tersebut memiliki keterkaitan fungsional satu sama lain.
Namun demikian, tanpa mengabaikan keterampilan berbahasa yang lainnya,
keterampilan berbicara dipandang memiliki peranan sentral dalam tujuan
pembelajaran bahasa, karena hakekat belajar bahasa adalah belajar komunikasi,
terutama komunikasi lisan. Demikian pula dengan hakikat pembelajaran bahasa
Indonesia. Hakikat pembelajaran Bahasa Indonesia ialah peningkatan kemampuan
siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar secara
lisan dan tulisan. Keterampilan berbicara bisa menunjang keterampilan bahasa lainnya.
Keterampilan berbicara juga sering dipandang sebagai tolak ukur utama untuk
menilai keberhasilan dalam pembelajaran bahasa.
Keterampilan Berbicara
Kemampuan berbicara sangat penting dalam kehidupan manusia karena sebagian
besar aktivitas kehidupan manusia membutuhkan dukungan kemampuan berbicara.
Kemampuan berbicara telah diajarkan sejak siswa duduk di sekolah dasar melalui pembelajaran keterampilan berbicara. Ketika siswa duduk di kelas VII sekolah menengah dan seterusnya, seharusnya siswa telah terampil berbicara.
Berbicara merupakan suatu proses penyampaian informasi, ide atau gagasan
dari pembicara kepada pendengar. Si pembicara berdudukan sebagai komunikator
sedangkan pendengar sebagai komunikan. Informasi yang disampaikan secara lisan
dapat diterima oleh pendengar apabila pembicara mampu menyampaikannya dengan
baik dan benar. Dengan demikian, kemampuan berbicara merupakan faktor yang
sangat mempengaruhi kemahiran seseorang dalam penyampaian informasi secara
lisan.
Agar pembicaraan itu mencapai tujuan, pembicara harus memiliki kemampuan
dan keterampilan untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Hal ini
bermakna bahwa pembicara harus memahami betul bagaimana cara berbicara yang
efektif sehingga orang lain (pendengar) dapat menangkap informasi yang
disampaikan pembicara secara efektif pula.
Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat atau pikiran
dan perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara
berhadapan ataupun dengan jarak jauh.
Moris dalam Novia (2002) menyatakan bahwa berbicara merupakan alat
komunikasi yang alami antara anggota masyarakat untuk mengungkapkan pikiran dan
sebagai sebuah bentuk tingkah laku sosial. Selanjutnya Wilkin dalam Oktarina
(2002) menyatakan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan menyusun
kalimat-kalimat karena komunikasi terjadi melalui kalimat-kalimat untuk
menampilkan perbedaan tingkah laku yang bervariasi dari masyarakat yang
berbeda.
Menurut Nuraeni (2002), “Berbicara adalah proses penyampaian informasi dari
pembicara kepada pendengar dengan tujuan terjadi perubahan pengetahuan, sikap,
dan keterampilan pendengar sebagai akibat dari informasi yang diterimanya.”.
Selanjutnya Dr. Tri Budhi Sastrio, M.Si dalam tulisannya yang berkepala: Keterampilan
Dasar Berbahasa Antara Harapan dan Realita menyatakan sebagai berikut:
Berbicara satu
sama lain, yang adalah salah satu bentuk komunikasi paling mudah yang dapat
dilakukan oleh manusia melalui media bahasa, menurut Brown dan Yule (1983)
seperti yang dikutip oleh Nunan (1989: 27) ternyata menimbulkan implikasi
pembagian fungsi bahasa ke dalam 2 (dua) kategori yaitu (1) kategori fungsi
transaksional; dan (2) kategori fungsi interaksional. Fungsi transaksional
mementingkan transfer informasi sedangkan fungsi interaksional
mementingkan fakta bahwa kegunaan utama ujaran adalah mempertahankan hubungan
sosial.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa berbicara merupakan
salah satu keterampilan dasar berbahasa yang diperoleh melalui belajar dan
latihan dalam jangka waktu lama dan berfungsi sebagai sarana komunikasi
lisan.
Berdasarkan kegiatan komunikasi lisan, cakupan kegiatan berbicara sangat
luas. Daerah cakupan itu membentang dari komunikasi lisan yang bersifat
informal sampai kegiatan komunikasi lisan yang bersifat formal. Semua kegiatan
komunikasi lisan yang melibatkan pembicara dan pendengar termasuk daerah
cakupan berbicara.
Aktivitas Belajar Siswa
Aktivitas
belajar siswa adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perhatian,
dan aktivitas dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan proses
belajar mengajar dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut.
Peningkatan aktivitas siswa yaitu meningkatnya jumlah siswa yang terlibat aktif
belajar, meningkatnya jumlah siswa yang bertanya dan menjawab, meningkatnya
jumlah siswa yang saling berinteraksi membahas materi pembelajaran. Metode belajar
mengajar yang bersifat partisipatoris yang dilakukan guru akan mampu membawa
siswa dalam situasi yang lebih kondusif, karena siswa lebih berperan dan lebih
terbuka serta sensitif dalam kegiatan belajar mengajar.
Indikator aktivitas siswa dapat dilihat dari: pertama, mayoritas siswa
beraktivitas dalam pembelajaran ; kedua, aktivitas pembelajaran didominasi oleh
kegiatan siswa; ketiga, mayoritas siswa mampu mengerjakan tugas yang
diberikan guru dalam kegiatan pembelajaran.
Dengan mengutip pemikiran Gibbs, E. Mulyasa (2003) mengemukakan hal-hal yang
perlu dilakukan agar siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajarnya, adalah:
1.
Dikembangkannya
rasa percaya diri para siswa dan mengurangi rasa takut;
2.
Memberikan
kesempatan kepada seluruh siswa untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas
terarah;
3. Melibatkan siswa dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya;
4. Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter;
5. Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara
keseluruhan.
Prestasi
Belajar
Istilah prestasi belajar mempunyai
hubungan yang erat kaitannya dengan hasil belajar. Sebenarnya sangat sulit
untuk membedakan pengertian prestasi belajar dengan hasil belajar. Ada yang
berpendapat bahwa pengertian prestasi belajar sama dengan hasil belajar.
Akan tetapi ada pula yang mengatakan bahwa hasil belajar berbeda secara
prinsipil dengan prestasi belajar. Hasil belajar menunjukkan kualitas jangka
waktu yang lebih panjang, misalnya satu cawu, satu semester dan sebagainya.
Sedangkan prestasi belajar menunjukkan kualitas yang lebih pendek, misalnya
satu pokok bahasan, satu kali ulangan harian dan sebagainya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1990), prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan,
dikerjakan, dan sebagainya). Sedangkan prestasi belajar diartikan sebagai
penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran,
lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh
guru.
Sedangkan menurut Nana Sudjana, hasil
belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat
pengukuran yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis,
tes lisan maupun tes perbuatan.
S.Nasution berpendapat bahwa hasil
belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai
pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi
individu yang belajar. Hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah
mengikuti suatu materi tertentu dari mata pelajaran yang berupa data
kuantitatif maupun kualitatif. Untuk melihat hasil belajar dilakukan
suatu penilaian terhadap siswa yang bertujuan untuk mengetahui apakah siswa
telah menguasai suatu materi atau belum. Penilaian merupakan upaya sistematis
yang dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang ditujukan untuk menjamin
tercapainya kualitas proses pendidikan serta kualitas kemampuan peserta didik
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Cullen, 2003 dalam Fathul Himam,
2004). Hasil belajar dapat dilihat dari hasil nilai ulangan harian (formatif),
nilai ulangan tengah semester (Sub sumatif), dan nilai ulangan semester (
sumatif ).
Nawawi (1981:100) mengemukakan
pengertian hasil belajar sebagai keberhasilan murid dalam mempelajari materi
pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau skor dari hasil
tes mengenai sejumlah pelajaran tertentu.
Selanjutnya perlu dikemukakan di sini,
bahwa hasil belajar (baca, prestasi belajar)
merupakan hasil dari proses yang kompleks. Hal itu disebabkan banyak faktor
yang mempengaruhi hasil atau prestasi belajar. Secara garis besar,
faktor-faktor yang mempengaruhi hasil atau prestasi belajar itu dapat dibedakan
atas dua macam, yaitu faktor dari dalam diri individu (baca, subyek didik) atau
disebut faktor internal, dan faktor dari luar diri subyek didik, atau disebut
faktor eksternal. Baik buruknya kualitas kedua faktor ini akan banyak
berpengaruh terhadap baik buruknya hasil atau prestasi belajar. Semakin baik
kondisi atau kualitas kedua faktor tersebut dimiliki oleh subyek didik, maka
cenderung semakin baik hasil atau prestasi belajar yang bisa dicapai. Demikian
pula sebaliknya, semakin buruk kondisi atau kualitas kedua faktor dimaksud,
maka cenderung semakin buruk pula hasil atau prestasi belajar yang dicapai.
Adapun faktor internal yang
mempengaruhi hasil belajar yaitu: faktor fisiologi, seperti kondisi fisik dan kondisi indera, faktor psikologi, meliputi bakat, minat, kecerdasan, motivasi, kemampuan
kognitif. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar adalah: lingkungan, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan alam, faktor Instrumental, seperti kurikulum, bahan pengajaran, sarana dan
fasilitas.
KULIAH TUJUH
MENIT ( KULTUM)
Penggunaan
istilah Kultum atau kuliah Tujuh menit belum disahkan oleh KBBI ( Kamus Besar
Bahasa Indonesia), akan tetapi istilah ini banyak digunakan dalam masyarakat
umum, seperti kuliah subuh maupun kuliah tujuh menit. Akan tetapi pada dasarnya
kultum atau kuliah tujuh menit memiliki kesamaan dengan pidato atau ceramah,
hanya saja dilakukan dalam waktu yang singkat atau terbatas, sekitar hanya
tujuh menit saja.
Dalam pemetaan di
bawah ini tergambar bahwa kulih tujuh menit merupakan bagian dari ceramah dan
memiliki kesamaan bentuk dalam penyampaiannya, hanya saja memiliki perbedaan
dalam waktu penyajiannnya.
Hal ini senada dengan
yang diungkapkan dalam sebuah situs Orasi atau pidato dan ceramah sudah diakui
sebagai” bahasa Indonesia resmi” dalam KBBI. Tausiah atau taushiyah belum ada
dalam KBBI. Demikian juga dengan kultum. ( www. Romeltea.com)
Jadi
kultum atau kuliah tujuh menit memiliki kesamaan arti dengan ceramah atau berceramah,
yaitu memberikan uraian tentang suatu hal ( pengetahuan umum, keagamaan dan
sebagainya) kegiatan dalam kultumpun memiliki kesamaan dengan ceramah atau
pidato
B. KERANGKA
BERFIKIR
Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki empat
keterampilan ( menyimak, berbicara, membaca dan menulis) yang sangat dibutuhkan
untuk mengembangken kemampuan siswa dalm berkomunikasi dengan berbagai pihak
dalam kehidupannya nanti.
Terutama keterampilan berbicara, keterampilan
yang dapat membuatnya mampu memiliki keberanian untuk menyampaikan kemampuan,
pola pikir dan ide-ide yang ia miliki kepada orang lain agar ia dapat memiliki
keberhasilan dalam aktivitasnya dalam belajar sehingga dapat menghasilkan prestasi
yang baik, yang dapat menjadi motivasinya agar menjadi lebih baik lagi.
Salah satu cara untuk meningkatkan
keterampilannya dalam berbicara adalah dengan mengikuti rutinitas melakukan
kultum ( kuliah tujuh menit) atau pemberian ceramah yang berisi pengetahuan,
baik pengetahuan umum maupun pengetahuan yang berhubungan dengan bidang
keagamaan yang diberikan kepada siswa yang berada dalam jamaah seusai sholat
dzuhur berjamaah.
Dengan kultum yang dilakukan secara rutin dan
berkelanjutan siswa dapat berlatih untuk mengembangkan keberaniannya untuk
tampil dan kemampuannya menguasai materi yang akan disampaikan dalam kultum.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN DAN PEMECAHAN MASALAH
A. Penelitian
Tindakan Kelas
Penelitian ini
merupakan jenis penelitian tindakan kelas, disingkat PTK. Penelitian tindakan
kelas berasal dari istilah bahasa Inggris Classroom
Action Research, yang berarti penelitian yang dilakukan pada sebuah kelas
untuk mengetahui akibat tindakan yang dilakukan terhadap subyek penelitian di
kelas tersebut.
Menurut DR.Sulipan,M.Pd, dalam tulisannya yang disusun untuk Program
Bimbingan Karya Tulis Ilmiah Online berjudul ”Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research)”, pertama
kali penelitian tindakan kelas diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946,
yang selanjutnya dikembangkan oleh Stephen Kemmis, Robin Mc Taggart, John
Elliot, Dave Ebbutt dan lainnya. Pada awalnya penelitian tindakan menjadi
salah satu model penelitian yang dilakukan pada bidang pekerjaan tertentu di
mana peneliti melakukan pekerjaannya, baik di bidang pendidikan, kesehatan
maupun pengelolaan sumber daya manusia. Salah satu contoh pekerjaan utama dalam
bidang pendidikan adalah mengajar di kelas, menangani bimbingan dan konseling,
dan mengelola sekolah. Dengan demikian para guru atau kepala sekolah
dapat melakukan kegiatan penelitiannya tanpa harus pergi ke tempat lain seperti
para peneliti konvensional pada umumnya. Adapun tujuan penelitian tindakan
kelas itu tidak lain adalah untuk memecahkan masalah, memperbaiki kondisi,
mengembangkan dan meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.
B. Jadwal penelitian
Adapun waktu pelaksanaan penelitian tindakan ini adalah pada semester I
Tahun Pelajaran 2015/2016. Penelitian berlangsung selama kurun waktu tiga bulan
terhitung sejak pertengahan bulan Oktober sampai dengan pertengahan bulan
Desember 2015, yang mencakup tiga tahapan kegiatan secara garis besar, yaitu
tahap persiapan selama satu minggu, tahap pelaksanaan penelitian selama 10
(sepuluh) minggu dan tahap penulisan laporan selama satu minggu.
C. Rancangan Prosedur PTK Pemecahan Masalah
Ada banyak
model penelitian tindakan yang dikemukakan oleh para ahli, tetapi secara garis
besar suatu penelitian tindakan lazimnya memiliki 4 (empat) tahapan yang harus
dilalui, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi.
Kemmis dan
Taggart (1988:14) menyatakan bahwa model penelitian tindakan adalah berbentuk
spiral. Tahapan penelitian tindakan pada suatu siklus meliputi empat tahapan,
yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi dan tahap refleksi.
Siklus ini berlanjut dan akan Penelitian
ini merupakan jenis penelitian tindakan kelas, disingkat PTK. Penelitian
tindakan kelas berasal dari istilah bahasa Inggris Classroom Action Research,
yang berarti penelitian yang dilakukan pada sebuah kelas untuk mengetahui
akibat tindakan yang dilakukan terhadap subyek penelitian di kelas tersebut.
Menurut
DR.Sulipan,M.Pd, dalam tulisannya yang disusun untuk Program Bimbingan Karya
Tulis Ilmiah Online berjudul
”Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research)”, pertama kali
penelitian tindakan kelas diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946, yang
selanjutnya dikembangkan oleh Stephen Kemmis, Robin Mc Taggart, John Elliot,
Dave Ebbutt dan lainnya. Pada awalnya penelitian tindakan menjadi salah
satu model penelitian yang dilakukan pada bidang pekerjaan tertentu di mana
peneliti melakukan pekerjaannya, baik di bidang pendidikan, kesehatan maupun
pengelolaan sumber daya manusia. Salah satu contoh pekerjaan utama dalam bidang
pendidikan adalah mengajar di kelas, menangani bimbingan dan konseling, dan
mengelola sekolah. Dengan demikian para guru atau kepala sekolah dapat
melakukan kegiatan penelitiannya tanpa harus pergi ke tempat lain seperti para
peneliti konvensional pada umumnya. Adapun tujuan penelitian tindakan kelas itu
tidak lain adalah untuk memecahkan masalah, memperbaiki kondisi, mengembangkan
dan meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.
Menurut
Suharsimi Arikunto (2002:82), penelitian tindakan adalah penelitian tentang
hal-hal yang terjadi di masyarakat atau sekelompok sasaran dan hasilnya
langsung dapat dikenakan pada masyarakat yang bersangkutan. Ciri atau
karakteristik utama dalam penelitian tindakan adalah adanya partisipasi dan
kolaborasi antara peneliti dengan anggota kelompok sasaran.
Penelitian tindakan adalah salah satu strategi pemecahana masalah yang
memanfaatkan tindakan nyata dalam bentuk proses pengembangan inovatif yang
dicoba sambil jalan dalam mendeteksi dan memecahkan masalah. Dalam prosesnya,
pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut dapat saling mendukung satu
sama lain.
Menurut
Sukidin, dkk (2002:54), ada 4 (empat) macam bentuk penelitian tindakan kelas,
yaitu : (1) penelitian tindakan guru sebagai peneliti, (2) penelitian tindakan
kolaborasi, (3) penelitian tindakan simultan terintegratif dan (4) penelitian
tindakan sosial eksperimental. Keempat bentuk penelitian tindakan itu ada
persamaan dan perbedaannya.
Penelitian ini
termasuk dalam kategori penelitian tindakan guru sebagai peneliti, dimana guru
terlibat langsung secara penuh dalam proses pelaksanaan penelitian, mulai dari
tahap menyusun perencanaan, melakukan tindakan, melakukan observasi dan
tahap refleksi. Kehadiran pihak lain dalam penelitian ini, kalaupun ada, peranannya
sangat kecil dan tidak dominan. Penelitian ini mengacu pada perbaikan
pembelajaran yang berkesinambungan.
dihentikan jika
dirasa sudah cukup memenuhi kebutuhan dan tujuan penelitian yang telah
ditetapkan.
Sesuai dengan
jenis rancangan penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan kelas,
maka penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan
Taggart (dalam Arikunto, Suharsimi, 2002:83), yaitu berbentuk spiral dari
siklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Setiap siklus meliputi planning (rencana),
action (tindakan), observasi (pengamatan) dan reflection
(refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah
direvisi, tindakan, pengamatan dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus I
dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan.
1. Tahap Planning ( perencanaan )
Pada tahap ini
peneliti mengembangkan program sekolah, yaitu program kultum yang dilakukan
seusai sholat dzuhur berjamaah di SMP NN, dengan cara membuat
jadwal/ waktu setiap siswa kelas VII
untuk menyampaikan kultum sesuai tema yang sudah ditentukan sebelumnya.
2. Tahap Action ( tindakan )
Pada tahap ini penulis mulai
melakukannya tugasnya untuk secara terus menerus sesuai jadwal yang telah
ditentukan mengawasi pelaksanaan kultum setiap setelah sholat dzuhur di SMP NN.
3. Tahap Observasi ( Pengamatan)
Pada tahap ini penulis melakukan
penilaian dan perkembangan terhadap keruntutan, baik dan benar bahasa yang
digunakan siwa dalam menyampaikan kultumnya dengan membuat format penilaian
beberapa kali agar dapat mengetahui perkembangan siswa.
4. Tahap Reflection ( refleksi)
Pada tahap ini penulis melakukan
analisis dari hasil pengamatan dalam lembar penilaian yang telah dibuat
sebelumnya untuk mengetahui hasil yang diperoleh siswa.