Friday, 11 December 2015

Pada suatu tempat yang jaraknya tak jauh dari bukit itu, sebuah jalan setapak yang berkelok dan berliku. Batu-batu kerikil yang tajam dan terjal tampak berserakan di permukaannya. Di sisi kiri dan kanan jalan itu dipenuhi pepohonan yang tinggi dengan daunnya yang hijau lebat. Sesekali terdengar kicauan burung hutan yang beterbangan dari dahan ke dahan. Pada jalan yang hanya setapak itu, setiap hari jika pagi hari, langkah kaki Tarjo perlahan menelusur dari bawah, dari gubuknya menuju jalan yang melingkar bukit ke arah sebuah bangunan megah di sisi sebelah barat bukit itu. Dan jika petang hari, setiap hari langkah kaki Tarjo berbalik dari jalan yang melingkar bukit itu ke arah bawah, menyusur jalan yang hanya setapak itu menuju ke arah bawah pada sebuah gubuk tua yang letaknya di sisi sebelah timur bukit itu. Di kaki bukit itu tinggal gubuk Tarjo dan beberapa gubuk lagi yang masih terhuni. Banyak gubuk yang lainnya terlihat kosong dan yang beberapa lagi tinggal puing-puing saja. Tiga bulan lalu alam menunjukkan keganasannya. Bencana longsor melanda tempat itu. Sebagian besar gubuk musnah tertimbun bersama penghuninya. Istri dan dua anak Tarjo pun terenggut ketika itu.

Gubuk tua itu berdinding kayu dan beratapkan daun-daun ilalang yang sudah tampak usang. Di beberapa bagian dinding dan atapnya terlihat sudah ada yang bolong-bolong. Lewat celah-celah itu, bila hari sedang turun hujan, air mengalir masuk ke dalam gubuk tepat di atas balai-balai usang. Lewat celah-celah di dinding angin yang bertiup pun seperti leluasa masuk menebarkan hawa dingin ke seisi gubuk. Bila malam sedang-sedangnya bulan purnama, lewat celah-celah itu pula sinar bulan memancar masuk tepat di wajah Pak Tarjo jika sedang terbaring di atas balai-balai usang itu. Balai-balai usang itulah tempat Pak Tarjo melewatkan malam-malamnya setelah seharian bekerja pada sang majikan. Tiga bulan lalu sepeninggal istri dan anaknya, pernah Tarjo diminta tinggal menetap di rumah sang majikan. Tapi Tarjo menolak. Tarjo memilih tinggal di gubuknya sendiri. Di gubuk itu Tarjo merasa istri dan kedua anaknya ada dan juga tiada. Di gubuk itu Tarjo menemukan kebahagiaan. Di gubuk itu pula kebahagiaan Tarjo berakhir. Kini kebahagian Tarjo bergantikan kedukaan yang dalam. Kedukaan akan kehilangan orang-orang yang dicintainya.

Malam kian larut. Hanya suara burung malam masih terdengar di kegelapan malam. Semilir angin menusuk-nusuk kulit. Mata Tarjo tak juga terpejam. Terpancar kedukaan yang dalam pada sinar kedua bola matanya. Sesekali air mata menetes deras dari kedua pelupuk matanya yang kian sembab dan lembab itu. Kedua tangan mengeplak-ngeplak kepala dan berkali-kali menarik-narik rambutnya. Seperti hendak memecah-mecah batok kepalanya. Tubuhnya tersandar pada dinding kayu di sudut gubuk itu, dengan hanya diterangi cahaya rembulan yang sinarnya tampak redup menyusup di celah-celah atap. Siang yang telah merangkak menuju malam tak ia hiraukan lagi. Tak sadar ia telah setengah hari duduk tersandar di tempat itu. Kali ini hati dan jiwa Tarjo benar-benar terpukul dan terbelenggu oleh kedukaan yang sangat dalam. Sebuah petaka maut yang dialaminya tadi pagi begitu mengguncangkan hati dan jiwanya. Kini ia larut dalam penyesalan yang tiada hentinya.

Pagi tadi, pada suatu tempat yang letaknya tak jauh dari jalan menikung yang melingkar bukit, sebuah mobil kijang biru melaju dari sebuah bangunan mewah di sisi barat bukit itu. Lajunya begitu cepat seperti hendak berburu waktu. Duduk di belakang kemudi Tarjo. Di jog bagian belakang Tirto sang majikannya duduk berdampingan dengan istrinya. Pagi itu sang majikan minta di antar ke salah satu patner bisnisnya untuk suatu urusan bisnis. Tarjo terlambat datang, Tarjo mendapat marah dari sang majikan. Itulah kali pertama Tarjo terkena marah setelah 10 tahun mengabdi majikannya. Takut sang majikan menjadi-jadi marahnya, Tarjo kian cepat memacu mobilnya. Tepat pada tikungan kedua di sisi bukit itu, Tarjo kehilangan kendali kemudi. Mobilnya oleng dan terperosok ke dalam jurang yang cukup terjal. Mobilnya hancur. Kedua majikannya tewas seketika dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Beruntung Tarjo terlempar ke luar dari kursi kemudi lewat kaca depan mobil yang pecah berantakan. Tarjo jatuh ke tanah yang berumput tebal dan hanya pingsan. Seorang pencari kayu bakar menolongnya dan kemudian mengantarnya pulang ke gubuk Tarjo di kaki bukit itu. Kini kembali Tarjo kehilangan dua orang dekatnya, setelah tiga bulan lalu anak dan istrinya lebih dulu mendahuluinya pergi.

Setengah mata Tarjo terpejam. Satu persatu peristiwa-peristiwa pilu datang silih berganti di pelupuk mata Tarjo. Tarjo kian memejam hendak mengusir bayang-bayang itu. Tapi sia-sia. Kedua telapak tangan dikatupkannya rapat-rapat pada kedua matanya. Tapi bayang-bayang itu seperti enggan berlalu. Hati Tarjo kian kecut. Nyali Tarjo menjadi ciut. Tarjo putus asa. Dalam keputusasaannya, tiba-tiba Tarjo seperti melihat sosok perempuan setengah baya dengan gaun putih bersih berdiri tepat di depannya. Rambutnya dibiarkan panjang mengurai sampai menyentuh pinggul. Selembar selendang yang juga putih tampak melekat di bahu kirinya. Di bibirnya tersungging senyum yang manis sekali. Di mata Tarjo seolah istrinya hadir kembali. Tarjo menjadi tak berdaya ketika tiba-tiba perempuan itu mengulurkan selendang putih di tangannya kemudian membimbing Tarjo bangkit berdiri menuju belakang gubuk tua itu. Langkah Tarjo terhenti pada sebuah pohon mangga yang tidaklah terlalu besar batangnya. Malam itu di bawah pohon mangga itu dilihat oleh Tarjo istrinya cantik sekali. Kerinduan Tarjo yang begitu dalam membuat Tarjo tak kuasa, ketika perempuan itu membelitkan selendang putih itu di leher Tarjo kemudian mengaitkannya pada sebuah dahan. Tarjo merasa seperti sedang berayun-ayun bersama sang kekasih hati. Di keheningan malam itu, di sela-sela kicauan burung malam hanya desah nafas Tarjo yang terdengar jelas. Kemudian pelan perlahan desah-desah nafas Tarjo menghilang di keheningan malam yang kelam itu
  
Esok paginya warga di sekitar bukit itu gempar. Seorang tukang pencari kayu bakar yang adalah tetangga Tarjo menemukan tubuh Tarjo tergantung di pohon mangga dengan kondisi tidak bernyawa lagi. Hanya sebuah senyum beku di bibir Tarjo yang tersisa. Barang kali di atas sana Tarjo sedang melayang-layang di awan mencari keabadian.
***
Zaman berzaman telah berlalu
Kisah sahabat ada selalu
Setia bersama kini dan dulu
Tetap bersama bila perlu

Sejati bersama suka dan duka
Tangis bersama tawa bersama
Sakit dirasa bila terluka
Hati riang tanda saling suka

Tiada hari yang kulewatkan
Bersama sahabat yang kuidamkan
Berbagai pengalaman yang mengesankan
Terpaut dalam rasa keistimewaan

Duhai sahabat teman sejati
Aku di sini selalu mengingati
Sampai berjumpa simpan di hati
Berkumpul kembali saat tua nanti

By. Fanny Cludia
***

Thursday, 10 December 2015

Materi kursus hari ini, masih melanjutkan pelajaran yang lalu. Biasa, di depan sana sang instruktur mulai menjabarkan tip-tip atau tepatnya sebut saja trik. Ya, katanya sih trik untuk supaya kita cepat mahir berbahasa Inggris. Dikatakan, akan lebih baik jika di samping belajar clasical, mungkin akan lebih cepat mahir kalau belajar lebih ke arah praktik langsung. Maksudnya, mulailah berkomunikasi dengan bahasa Inggris, meski kadang-kadang bercampur dengan bahasa Indonesia. Inggris-Indonesia barang kali.

Suara-suara mulai terdengar dari head shet computer di depanku yang baru saja aku pasang di kepalaku. Suara-suara itu benar-benar asing di telingaku. Sungguh tidak jelas artikulasi dan intonasinya. Menurutku sama sekali tak karuan. Tak sedap untuk didengar telinga. Sudah seperti lagu metal saja. Jauh dari nada dan irama yang biasa aku dengarkan di rumah. Tapi tidak buat sang instruktur itu, itu adalah contoh dialog atau percakapan dari orang asing, pemakai bahasa asli, native speaker katanya. Dan atas suara-suara itu, aku harus menirukannya. Sungguh suatu pekerjaan berat bagiku. Bagaimana tidak berat? Sebagai orang Jawa- jawa medhok- yang dari cilik sampai gede begini biasa berbicara dengan tempo yang pelan, sekarang harus mengikuti dialog yang menggunakan tempo tinggi, tentulah suatu pekerjaan yang berat. Lidah yang terpola ngomong klemah-klemeh, alon-alon disulap cepat untuk berbicara cepat seperti laju kereta api. Duh, ampun deh. Kesleo, kecetit bisa jadi keluhku.
“What is you name?”
“My name is Andi”
“Where do you live?”
“I live in Kebon Jeruk”
“How are you?”
“Fine, and you?”
Begitu kira-kira dialog kudengar lewat head shet. Dialog itu diputar terus-terusan, diulang-ulang, sampai terngiang-ngian di telingaku. Mulutku terasa kilu dan semakin kilu menirukannya. Tak satu pun dialog yang dapat aku tirukan dengan benar.

Di bagian depan sana, kulihat beberapa teman tampak begitu antusias mengikuti pelajaran. Mereka berpasang-pasangan, menyusun dialog kemudian mencoba berkomunikasi dengan bahasa asing tersebut. Di telingaku lafa-lafal mereka menjadi sangat asing bahkan lebih asing dari bahasa asing itu sendiri. Disisipi gelak dan canda tawa mereka tetap berlatih dan terus berlatih. Tampak sang instruktur tersenyum simpul setengah menahan ketawa melihat teman-teman itu berceloteh tak karuan dalam bahasa yang semakin tak aku mengerti.

Kemudian tepat di sebelah kiri dari posisi tempat dudukku, kulihat seorang teman begitu asyik bermain soliter. Kartu-kartu disusun kemudian diberantakkan lagi. Disusun dan diberantakkan lagi. Mungkin ia bosan, atau bisa jadi sudah fasih dengan bahasa asing itu? Bisa jadi begitu, pikirku. Tapi, itu bukan urusanku, aku tak perlu tahu. Yang aku tahu hanyalah, wajah teman yang satu itu adalah wajah yang tak asing lagi buatku. Wajah yang tampak berseri di antara banyak wajah-wajah semu kali ini.

Alunan lagu dengan lirik bahasa asing terdengar di akhir pelajaran kali ini. Seiring langkah kakiku yang semakin menjauh dari ruangan itu, lagu itu kian lama kian sayup di telingaku. Sejenak kuterlepas dari keterasingan ini. Keterasingan atas sebuah ambisi pribadi dari seorang pribadi yang sesungguhnya masih teramatlah asing bagiku
***



 

Wednesday, 9 December 2015

Sedang saya menyuntuki seabrek kain bekas cuci yang harus segera disulap kembali menjadi rapi, terdengar olehku celoteh anakku dengan ibunya di sela-sela keasyikannya nonton televisi:
“Mama.., Mama… Kenapa sih Mama nggak nikah lagi sama cowok ganteng?”
Sesaat kemudian terdengar mamanya menjawab demikian:
“Nak, Mama gak boleh nikah lagi. Nikah itu cuma sekali seumur hidup.”
Kemudian anakku bicara lagi:
“Tapi Ma, kalo Mama nikah lagi sama cowok yang ganteng, pasti Atha bakal tambah cantik…!”
Lagi-lagi istriku menanggapinya demikian:
“Nak, kalo Mama nikah sama cowok ganteng, gak bakalan saat ini Mama main sama atha.”
“Emang, kenapa Ma?” tanya anakku lagi.
“Ya iya, Atha itu ada kan karena Mama nikah sama ayah jelek.”
“Apes deh jadi anak ayah…!” Jawab anakku dengan suara yang sedikit melemah namun tetap saya bisa mendengarnya.
Aku yang dari semula memilih menjadi pendengar pun ikutan menimpal pembicaraan:
“Nak, apalagi kalo ayah yang nikah lagi sama cewek cakep, pasti Atha jadinya cantik buanget ya..!”
“Gak boleh…!” teriak anakku seketika itu juga.
Kutinggalkan sebentar setumpuk kain yang masih tersisa. Kuhampiri anakku, kupeluk dia erat-erat.
“Ma, rasanya seperti terbangun dari mimpi. Gak terasa ya, kini anak kita dah mulai besar…!”
Istriku pun hanya tersenyum. Sore itu kami larut dalam suasana penuh kegenbiraan. Rasanya dunia menjadi milik kami bertiga.
*Hanya sepenggal kisah bagaimana kami menyikapi pertanyaan-pertanyaan spontan dari anakku seiring dengan bertambahnya umur.

Temanku pernah bilang, cinta itu buta. Butanya membutakan semua mata. Mata si muda, mata si tua menjadi buta karenanya. Katanya pula, dengan cinta itulah orang mau melakukan apa saja demi membahagiakan orang yang dicintainya. Panas-hujan, siang-malam, bersih-jorok, mulia-hina, bukanlah suatu kriteria untuk orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu bagi yang dicintainya. Bagi yang punya cinta, barangkali mereka tak akan merasa jijik, kotor, ataupun bau, ketika harus mengorek-ngorek selokan bahkan comberan sekalipun. Suatu pekerjaan yang mungkin tak akan dilakukan oleh mereka yang tak punya cinta. Cinta memang buta, butanya membutakan mata di kepala tapi bukan mata hati. Mata di kepala bisa buta, tapi mata hati tetap bicara: Ia harus bahagia..! Benarkah itu? Maka biarkan malam ini aku berkaca pada Udin si tukang sapu jalan itu.

Lihatlah Udin,
Si tukang sapu jalan itu.
Sedang dia menyapu.
Dan sambil dia menyapu,
matanya berkeliling ke kanan dan kiri.
Melihat mencari-cari apa yang bisa dicari,
pada berjajar tong-tong besar di sepanjang jalan itu.
Kepalanya menunduk,
tangannya mengaduk-aduk,
mengais-ngais sampah,
sampah-sampah yang memberinya berkah.
Botol aqua bekas, kaleng sprite, coca cola, poccari dan sejenisnya.
Dan bila beruntung, dari tong-tong sampah itu,
Udin menemukan beberapa besi bekas spare part,
dari sepeda motor, bajaj dan juga mobil.
Benda-benda bekas itu dipungutnya,
dimasukkan ke dalam kantong plastik yang bekas juga.
Menjelang siang,
Udin selesai menunaikan tugas rutinnya.
Udin pun pulang dengan memanggul barang-barang bekas perolehannya.
Barang-barang itu dikumpulkannya,
di samping gubugnya dengan diatapi sehelai terpal usang.

Jangan dikira
Udin sebatang kara.
Jangan disangka
Udin tak punya keluarga.
Siapa kira,
siapa juga sangka,
Udin yang tukang sapu itu
adalah pegawai juga.
Udin yang tukang sapu itu
adalah pegawai dengan penghasilan tetap.
Tiap bulan ia terima gaji tanda balas jasanya.
Gajinya tidak seberapa
sesuai golongannya yang hanya rendahan saja.
Dari gaji itu,
Udin menghidupi istri dan dua anaknya.
Meski cukup sampai di tengah bulan cuma.
Udin tidaklah putus asa.
Lalu dengan apa setengah bulan berikutnya?
Bertanyalah pada gelas-gelas bekas aqua itu!
Bertanyalah juga pada kaleng-kaleng bekas itu!
Tanyalah juga pada besi-besi tua itu!
Padanya mungkin ada jawabnya.

Di samping rumah diatapi selembar terpal
Dikumpulkan satu-satu barang-barang bekas itu
Dari sedikit menjadi membukit
Hingga di suatu waktu
Sekali dalam satu bulan
Plastik, botol, besi yang semuanya bekas itu
Dikilokan dan ditimbang
Dari penimbangan itu Udin beroleh uang
Botol aqua kini menjadi uang
Kaleng-kaleng kini menjadi uang
Besi bekas kini menjadi uang
Dengan uang itu
Udin menghidupi istri dan anaknya
di tengah bulan tersisa.
Bila ada terisa uang,
dikumpulkan uang itu.
Bila dipandang cukup,
dibelikannya uang itu perhiasan.
Dari cincin, gelang, kalung, giwang sampai ke anting-anting.
Tak luput Yuli anak semata wayangnya pun dibelikannya juga.

Udin memang tak kaya
Tak banyak harta
Meski Udin hidup sederhana
Tapi keluarganya bahagia
Di gubuknya ada cinta
Cinta Udin kepada anak dan juga istrinya

Demi cinta itu
Demi anak dan istri
Udin tak malu-malu lagi
Udin tak canggung lagi
Udin tak risih lagi
Memungut barang-barang bekas itu
Di benaknya cuma satu
Di hatinya cuma satu
Di rasanya cuma satu
Anak dan istrinya bahagia
Walau hidup apa adanya

***