Wednesday, 1 May 2013

Bagai sambaran petir di siang bolong, kudengar berita dari seorang teman tentang kematian Romo Loogman. Romo yang di seputaran Purworejo dikenal sebagai perintis dalam pengobatan alternatif radiesthetik medik. Suatu teknik pengobatan yang mengandalkan kepekaan pengobatan dalam mendeteksi penyakit dengan memanfaatkan gelombang elektromagnetik. Romo dengan nama lengkap Romo Hendrikus Handoyo Loogman Msc itu telah berpulang ke haribaan Allah.

Selasa 9 Maret 2010. Hari masih pagi. Matahari sedang merangkak memancarkan sinarnya ke penjuru bumi. Tiba-tiba segumpal awan hitam pekat tampak bergelayut di langit tepat di atas RS Panti Rapih Yogyakarta yang letaknya tepat di sisi kiri bundaran UGM Yogyakarta. Langit menjadi hitam pekat. Matahari seperti enggan menampakkan wajahnya. Wajahnya muram murung seperti tak hendak lagi memamerkan kekuatan sinarnya. Matahari membenamkan diri di balik awan hitam. Seperti larut dengan dendang kematian yang sayup-sayup mulai terdengar dari bangsal ICU rumah sakit itu. Di bangsal ICU RS Panti Rapih itu, tepat pukul 08.00 WIB Romo menghembuskan nafas yang penghabisan. Setelah 2 hari berjuang melawan sakit - penyakit yang dideritanya. Oleh dokter Romo didiagnose terkena serangan stroke sebagai akibat komplikasi penyakit hipertensi dan diabetes militus. Berita lain seputar penyebab kematian Romo menyebutkan, Romo menderita kelelahan otot jantung sehingga mengurangi asupan oksigen dalam darah. Kondisi ini menyebabkan melemahnya seluruh fungsi tubuh.

Terlepas dari ikhwal penyebab kematian. Yang jelas kini aku merasa kehilangan atas kepergian Romo. Seorang Romo yang turut ambil bagian dalam kehidupan keluargaku. Terutama aku dan bapakku. Bagiku dan juga bapak, Romo adalah malaikat. Bukan sebagai malaikat pencabut nyawa, melainkan malaikat penyambung nyawa. Itulah sebutan yang pas kuberikan kepada Romo atas jasa-jasa Romo bagi keluargaku. Andai bapak masih hidup, pasti bapak sepaham dengan sebutan itu. Pasti juga air mata duka menetes dari kedua mata bapak sekarang ini. Mungkin juga di alam sana bisa-bisa bapak sedang berduka karenanya.

Samar-samar mulai terbayang di kedua mataku. Bagaimana dulu 14 tahun lalu, ketika penyakit kanker itu menggerogoti tubuh bapakku. Sering kulihat bapak menyeringai menahan sakit ketika kanker mulai menunjukkan keganasannya atas tubuh bapak. Di beberapa rumah sakit telah bapak keluar masuk menjalani perawatan. Sudah berapa juta rupiah keluar untuk itu. Aku tak tahu lagi. Kanker pun tak juga terobati. Terakhir bapak putus asa tak percaya lagi dengan pengobatan medis. Hingga seorang teman bapak menyarankan bapak untuk mencoba berobat ke Romo, yang ketika itu membuka praktiknya di Purworejo. Beberapa kali bapak menjalani pengobatan ala Romo Loogman. Secara perlahan keganasan kanker mulai melemah, kesehatan bapak semakin membaik. Walau tidak sembuh benar, tapi bapak cukup puas. Bapak pun berasa senang, setidak-tidaknya bapak bisa 3 tahun lebih lama berada di tengah-tengah keluarga dari apa yang divoniskan dokter. Ketika itu, di sisa usia bapak, Romo mengembalikan senyum bapak.

Tak cuma itu. Delapan tahun lalu, aku menderita penyakit Tetra Pareshe yaitu penyakit yang disebabkan karena melemahnya/matinya sel-sel tertentu pada jaringan saraf otak sehingga mempengaruhi kerja saraf secara keseluruhan. Penyakit itu membuat tubuhku tak berdaya, aku didera kelumpuhan pada sekujur tubuh. Dari hasil CT scan diketahui ada bagian di otak kiriku yang infark atau lapisan jaringan yang mati karena tidak cukup mendapatkan suplai oksigen dari darah. Infark terjadi akibat benturan benda keras di kepalaku. Sebulan lebih aku menjalani perawatan di rumah sakit. Selanjutnya, sebulan sekali selama setahun lebih aku harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani theraphy dan juga kontrol dokter. Padahal setiap kali kontrol sedikitnya satu juta rupiah harus aku keluarkan dari kantongku sendiri. Beruntung lewat seorang teman aku diperkenalkan dengan asisten Romo waktu itu. Lewat asisten Romo itulah aku mendapatkan kemudahan berobat pada Romo. Tak perlu aku jauh-jauh ke Purworejo. Pengobatan cukup dari jarak jauh, tepatnya konsul jarak jauh. Kalau tidak menulis surat ya lewat telepon. Lewat surat atau telepon inilah aku sampaikan tentang penyakitku itu. Kemudian via paket pos aku menerima beberapa jenis jamu herbal. Waktu itu sekali kirim cukup untuk konsumsi dua bulan. Setiap kali jamu habis aku telepon, itu aku lakukan setiap bulan hampir satu tahun lamanya. Berkat jamu-jamu dari Romo dan sesekali tetap mengkonsumsi obat mdis itulah kesehatanku mulai membaik. Aku berhenti mengkonsumsi jamu-jamuan itu beberapa tahun kemudian, ketika aku telah bener-benar sehat seperti sekarang ini. Andai delapan tahun lalu aku tidak diperkenalkan dengan Romo, mungkin aku tak lagi dapat berdiri ataupun berlari-lari seperti sekarang ini.

Rintik-rintik hujan di pagi buta mulai turun setelah semalaman mendung bergelayut di atas RS Panti Rapih. Rintik-rintik hujan itu seperti cucuran air mata berjuta manusia yang melepas kepergian Romo menuju tempat peristirahatan terakhirnya di Kaliori Jawa Tengah. Di Kaliori jasadmu ditelan bumi, namun jasamu tetap kan abadi di hati. Selamat jalan Romo....!

Tuesday, 12 February 2013

Latih Tanding Bareng
Jelang laga Tarq Cup  2013 Tim Futsaal Tarki 2 melakukan latihan tanding bersama Tim SMA Tar 2, Rabu, 16 Januari 2013.

Dalam laga latih tanding bersama ini, Tim Tarq 2 dimotori oleh Christian Vieri sekaligus sebagai Kapten Tim atas pemain inti yang lainnya, Davin Enrico, Benedict Bagas, Geofandi, Leonardo Phang selaku ,beberapa pemain cadangan lainnya Jovieri Dicky, Vincent Leonardo, Christ Sebastian dan Jonathan Jad Le. Sementara Tim SMA Tarq 2 masih didominasi oleh matan Tim sewaktu di SMP dengan penjaga gawang Calvin Alexander dan Yohanes Raditya dan beberapa pemainnya, Daniswara, Ferry, Kenedey, Kevin. Sampai babak pertama selesai, Tim SMP Tarki 2 memimpin pertandingan dengan skor 2-0 dari hasil tendangan Geofandi di menit 9 dan 14.

Secara keseluruhan di babak pertama Tim SMP Tarki 2 mendominaasi permainan. Tercatat beberapa peluang mencetak gol diperoleh  Bagas di sepanjang permainan, namun tidak berhasil dimanfaatkan dengan baik. Sampai peluit babak pertama dibunyikan kedudukan masih bertahan 2-0 untuk keunggulan Tim SMP Tar 2.

Pada babak kedua pertandingan persahabatan berlangsung semakin seru. Lebih-lebih setelah Tim SMA Tarq 2 mengganti penjaga gawangnya. Berawal dengan kesalahpahaman di depan mulut gawang SMP Tarq 2 antara penjaga gawang Tim SMP dengan salah seorang pemainnya, pecahlah skor menjadi 2-1 melalui tendangan bunuh diri. Selang tidak lama kemudian melalui tendangan kaki jarak jauh Bagas Tim SMP Tarq 2 kembali menambah angka menjadi 3-1.

Di paruh waktu babak kedua Tim SMP semakin meningkatkan gempuran ke gawang lawan dan berhasil menambahkan angka kemenangan. Sampai dengan selesainya babak kedua Tim SMP berhasil memenangkan  pertandingan dengan skor telak 8-3.

Diharapkan dengan hasil akhir yang demikian semakin memotivasi Tim sehingga semakin percaya diri di laga Tarki Cup mendatang.


Friday, 11 January 2013

Sumber : Dokumen pribadi
"Selamat Natal....!" Seru Pastor diawal misa. "Selamat Natal juga Romo...!" sahut anak-anak dengan lantangnya. "Salah....!" sergah Romo dengan tak kalah lantangnya. Kemudian Pastor pun memberitahukan jawaban yang dikehendaki Pastor untuk salam tersebut. "Tuhan telah datang padaku" inilah jawaban yang dikehendaki Pastor.

'Selamat-selamat datang Yesus Tuhanku' demikian terdengar mengalun mengawali misa perayaan natal 2012 siswa SMP Tarakanita 2. Misa perayaan natal tahun ini bernuansa berbeda dengan misa perayaan natal yang sebelumnya yang biasa mengambil tempat di gereja terdekat. Kali ini misa perayaan digelar di Pendopo sekolah dengan beralaskan tikar dan beratapkan terpal sederhana. Kesederhanaan perayaan tampaknya tidak mengurangi kesakralan misa. Terlihat anak-anak begitu khusuk dan antusias mengikuti misa. Mereka begitu bersemangat menyanyiakn setiap lagu sebagai pengiring ibadat.

Dalam khotbahnya, Romo Sigit memulai khotbahnya dengan menyampaikan sebuah cerita tentang Raja Bijaksana dari Kerajaan Cina. Dikisahkan di kerajaan Cina ada seorang raja yang bijaksana dan sangat mementingkan kesejahteraan rakyatnya. Namun, raja yang baik itu terhalang oleh pandangan di kerajaan itu bahwa raja tidak boleh berbaur dengan rakyatnya. Raja pun tidak tinggal diam melihat rakyatnya yang menderita akibat penindasan dan kejahatan. Maka diutusnya para prajurut untuk memerangi orang-orang jahat itu. Namun para prajurut raja ini pun dibunuh oleh orang-orang jahat. Raja pun kembali mengirim utusan, kali ini orang-orang terbaik yang diutus raja. Sama nasibnya dengan para prajurit, orang-orang terbaik itu pun dibunuh juga oleh orang-orang jahat. Dan raja pun tidak habis pikir, meliaht nasib kedua utusan sebelumnya menemui nasib yang sama, raja pun berniat turun tangan sendiri. Raja berbaur dengan rakyat tetapi dalam penjilmaannya  sebagai seorang bayi kecil. Bayi kecil lama kelamaan tumbuh dan berkembang menjadi besar di lingkungan rakyat kerajaan. Ia memberikan teladan yang baik kepada rakyat. Namun, ia sendiri terbunuh oleh orang-orang jahat.

Kemudian di akhir kotbahnya, Pastor menegaskan bahwa itu sekedar cerita rakyat yang belum tentu kebenarannya. Dengan cerita itu sebenarnya Pastor ingin memberitahukan kepada kita bahwa sesungguhnya kita mempunyai seseorang seperti raja itu. Tidak lain dan tidak bukan kita punya Yesus. Yesus yang rela datang  ke dunia sebagai manusia dan rela menderita demi menyelamatkan manusia dari dosa.

Misa natal yang digelar di Pendopo SMP pun segera berakhir. Berbagai acara dan kegiatan anak-anak segera akan dilangsungkan untuk semakin memeriahkan suasana. Berbagai kegiatan yang digelar di antaranya, menulis cerpen, membuat pohon natal dan spelling bee. SELAMAT NATAL.....!


Friday, 23 November 2012

Malam hari menyusuri jalan Malioboro Yogyakarta ketika rintik-rintik hujan sungguh sangat menakjubkan. Titik-titik air yang jatuh dari langit tampak berkilauan dalam terpaan lampu-lampu mobil yang lalu lalang. Kemilaunya seperti butir-butir mutiara yang jatuh tak beraturan. Sungguh suatu pemandangan yang begitu memesona.

Pedagang-pedagang kaki lima berderet, berjajar di kiri kanan jalan di emper-emper toko. Mereka menggelar berbagai macam souvenir dan perhiasan, aneka busana laki-laki dan perempuan dari yang anak-anak sampai yang tua. Dari sepatu, sandal, juga sepatu-sandal semua ada. Tas-tas pria wanita tampak terpajang rapi berjajar. Di latar belakangnya sorot lampu-lampu toko masih jelas terlihat dari kejauhan.

Berjalan sendiri di Malioboro malam hari ketika rintik-rintik hujan. Seorang perempuan setengah baya tegak berdiri sendiri di depan Maal yang besar dan megah. Bibirnya bergincu merah, alisnya hitam tipis. Berkaus ketat dengan celana jeans yang ketat pula seperti hendak memamerkan lekuk-lekuk pada sekujur tubuhnya. Pada pundak kirinya bergantung sebuah tas kosmetik dengan warna merah cerah tergantung sebatas pinggulnya. Pada pergelangan tangannya sebuah gelang besar tampak berkilat. Sebatang rokok terjepit di sela-sela kedua jari-jemari tangan kirinya dengan kuku-kukunya yang dibiarkan panjang dan bercat merah cerah. Sesekali terlihat kilatan cahaya terpancar dari anting-anting besar yang menghias di kedua telinga, ketika dengan sengaja disibakkannya rambutnya yang dibiarkan panjang tergerai itu sampai menyentuh dada. Tatap matanya nakal dan binal. Di bibirnya terus tersungging senyum. Sesekali asap rokok mengepul dari bibirnya yang merah mengembang itu. Senyum yang menurutku penuh dengan keterpaksaan dan kehampaan. Sempat mataku beradu pandang, matanya mengedip, senyumnya tersungging. Aku merasa geli dan tersenyum juga karenanya.

Menyusur Malioboro di malam hari ketika rintik-rintik hujan. Kakiku terus melangkah. Di belakang tak jauh dariku perempuan itu pun berjalan seperti mengekorku. Tepat di depan KFC lama langkahku terhenti. Perempuan itu pun berhenti. Di dalam KFC cukup sepi. Hujan yang mengguyur sedari sore memang belum berhenti. Mungkin ini yang menjadikannya sesepi ini. Padahal dari cerita teman-teman, tempat ini tak pernah sepi, selalu saja dipadati oleh pejalan kaki atau masyarakat sekitar untuk bermakan malam. Sebuah meja yang berukuran sedang dengan empat buah kursi yang masih kosong terletak di sudut ruangan itu, ke situ langkahku menuju. Terlebih dulu kupesan dua porsi makan. Masing-masing dua potong paha ayam, satu potong dada lengkap dengan nasi dan juga kentang goreng, lalu dua cup Coca-Cola sebagai minumannya. Sengaja aku pesan dua porsi malam itu. Belum juga aku duduk, kuliat perempuan itu telah berdiri dengan tubuh setengah bersandar pada pintu KFC. Matanya terus memandangku penuh harap. Ada perasaan iba kali ini aku pada perempuan itu. Seabrek pertanyaan tentang perempuan itu seolah menggugah hasratku untuk mencari jawab dari mulut perempuan itu. Kuberikan ia senyum kedua kalinya malam ini. Lambaian tanganku yang begitu pelan menuntunnya berjalan mendekatiku kemudian duduk tepat menghadap ke arahku.

Malam ini di depan meja yang berukuran tak begitu besar duduk sudah seorang perempuan separuh baya tepat di depanku.
"Saya mulai melihat Anda sedari depan maal itu. Dan dari situ saya merasa Anda terus mengikuti saya sampai di sini. Tapi..., maaf..., kalau saya salah menduga..!" Begitulah caraku membuka pembicaraan dengannya. Aku orangnya memang tak suka basa-basi maka bertanyapun terkesan to the point. "Apa yang Anda lakukan?"
"Maaf, Om.., Panggil saja saya Mirah..!" Dia memulai pembicaraannya.
"Nama lengkap saya Samirah, tapi orang-orang di sini memang lebih mengenal saya Mirah. Sebutan Mirah mulai lekat pada diri saya sejak sepuluh tahun lalu, Om. Sejak saya bekerja di sini."
"Bekerja..! Bekerja di sini? Apa maksud Mirah bekerja di sini?" tanyaku penuh selidik.
"Ya bekerja cari uang sekedar buat makan, Om..! Di sini, ya di sini, di sepanjang jalan ini Om, Mirah bekerja."Jari telunjukknya menuding ke arah keluar, menunjuk arah selatan dan utara, seperti merentang jalan dari ujung ke ujung.
"Trus gimana cara Mirah bekerja?" tanyaku sedikit penasaran.
"Ya seperti ini Om, seperti yang Om lihat sendiri tadi. Mirah cukup berdiri saja di suatu tempat sampai ada laki-laki yang mau menghampiri Mirah. Kemudian mengajak pergi Mirah, dari sekedar menjadikan Mirah sebagai teman ngobrol, makan malam, sampai teman di ranjang, Om."Mirah berhenti sejenak, diambilnya beberapa potong kentang goreng yang sedari tadi masih dibiarkan utuh di atas meja itu.
"Mengapa dan sudah berapa lama Mirah melakukan itu?"
Kali ini Mirah terdiam. Dari sudut-sudut matanya tampak butir air mata meleleh perlahan. Diambilnya sebuah Coca-Cola yang tak lagi dingin lalu diminumnya beberapa sedot. Dengan suara yang terpatah-patah Mirah pun bercerita mengapa Mirah menjadi seperti ini. Tentang banyak peristiwa di kehidupan Mirah yang memaksanya keluyuran di tengah malam seperti ini.

Samirah nama lengkapnya. Mirah nama panggilannya. Tiga puluh empat tahun umurnya. Dua puluh tahun lalu Mirah masih duduk di kelas 3 sebuah SMP swasta. Di SMP-nya dulu Mirah tergolong remaja yang berparas cantik. Banyak teman-teman lawan jenis Mirah yang kagum padanya. Kecantikan Mirah dua puluh tahun lalu menggelapkan mata Pak Dol guru honorer di SMP itu. Di sebuah gudang lawas di pojok dekat kantin sekolah Pak Dol merenggut dengan paksa kegadisan Mirah. Hancur sudah masa depan Mirah. Mirah tak mau lagi sekolah. Mirah mengurung diri di rumah. Tak pernah Mirah ke luar rumah, apalagi ke tetangga rumah sebelah.

Baru lima tahun kemudian, Mirah mau ke luar rumah. Setelah Karyo si juragan minyak dari desa sebelah mengawininya. Dari perkawinan itu beroleh satu orang anak laki-laki. Mirah mulai menjalani kehidupan barunya. Hari-hari dijalani dengan penuh kebahagiaan seiring semakin membaiknya kehidupan ekonomi keluarganya. Kebahagiaan dalam hidup berumah tangga hanya lima tahun dirasakan oleh Mirah. Semuanya berakhir, ketika sebuah kebakaran besar memusnahkan rumah tinggal dan usahanya. Suami dan satu-satunya anak Mirah tak selamat dalam peristiwa itu. Mirah menjadi sendiri lagi. Hatinya berkeping-keping. Pernah Mirah mencoba bunuh diri. Menjatuhkan diri dari jembatan kali. Niatnya urung ketika Tante Neni mencegahnya. Bersama Tante Neni itulah Mirah menjadi seperti malam ini.

Di luar rintik-rintik hujan belum juga reda. Dua jam lebih aku duduk mendengarkan cerita Mirah. Perutku mulai berasa lapar. Menu KFC yang sedari tadi terbiarkan begitu saja di atas meja, mulai kami sentuh. Kali ini Mirah lebih banyak diam. Dari sorot matanya aku melihat ada sedikit kelegaan, sepertinya Mirah merasa lepas dari beban batin yang selama ini mendera hidupnya. Atau bisa jadi di mata Mirah aku adalah sosok yang mau mendengarkan keluh kesahnya.
"Mirah,...Mirah....! Tidakkah kau merasa berdosa, atau setidaknya menyesal atas apa yang kau lakukan itu Mirah?" tanyaku dengan perlahan.
"Om, Kalau Mirah boleh jujur. Sampai detik ini Mirah terus dihantui oleh perasaan berdosa itu. Terkadang Mirah menangis seorang diri menyesali apa yang telah Mirah lakukan. Tak jarang hati Mirah menjerit-menangis dalam dekapan Om-Om yang mencari kesenangan atas diri Mirah. Tapi...!"
"Tapi, kenapa Mirah?"
"Setiap kali perasaan itu muncul, Mirah berusaha keluar dari kehidupan Mirah yang seperti ini. Tapi setiap kali Mirah mencoba, hanya kegagalan yang Mirah peroleh, Om..! Pernah Mirah keluar masuk dari pintu ke pintu pertokoan sampai perkantoran. Tapi setiap kali yang Mirah dapat hanyalah penolakan..., penolakan, dan penolakan. Mirah Putus asa Om," suara Mirah meninggi ada kekesalan di wajahnya.
"Pernah juga Mirah mencoba, sekedar untuk menjadi tukang cuci piring di warung-warung pinggir jalan. Tak ada satu warung pun yang mau terima Mirah. Mereka malah mencibir dan mencela Mirah." Di mata mereka mungkin Mirah terlanjur dipandang hina dan kotor."Mira diam sejenak.
"Om, Mungkin memang harus begini nasib Mirah. Sebagai orang yang tak punya pendidikan, tak punya ketrampilan apalagi keahlian. Mirah pikir, wajar saja mereka menolak Mirah dengan alasan tak ada lowongan atau tak ada pengalaman. Mirah pikir inilah pilihan terakhir Mirah untuk sekedar bertahan hidup."
"Kau tak boleh begitu Mirah, selama Tuhan masih memberi kita nafas kehidupan kita tak boleh putus asa. Selama itu pula kita harus berusaha. Percayalah Mirah, selama kita berusaha pasti Tuhan akan membuka jalan untuk umatnya." Aku diam sejenak, kuraih Coca-cola yang masih tersisa, sekali sedot habislah.
"Mirah, percayalah, Tuhan tidak buta. Tuhan pasti akan membuka mata kepada umatnya yang tak pernah merasa bosan untuk memohon kepadaNya. Lebih-lebih jika permohonan itu kita iringi dengan doa dan pertobatan yang tulus."

Kulihat tetes air mata kembali mengalir dari sudut-sudut matanya yang semakin sembab. Mungkin ini air mata penyesalan pikirku.
"Pernahkah kau berpikir untuk meninggalkan kehidupanmu dengan cara pergi jauh dari kota ini, Mirah?''
"Belum, Om,"jawab Mirah dengan tulus.
"Nah..! Jika belum, Cobalah Mirah...! Di tempat yang baru nanti, kamu bisa membuka lembaran hidup barumu."
Aku diam sejenak, kuambil sebuah kartu nama dari dalam tas kecilku. Kartu nama temanku, seorang teman di Jakarta yang kebetulan butuh orang untuk menjaga toko miliknya.
"Mirah, ini kartu nama temanku di Jakarta. Temanku ini mempunyai banyak toko kain. Ia sedang membutuhkan banyak tenaga untuk menjaga toko-tokonya. Bekerjalah di sana Mirah, mungkin itu akan membantumu!"
Dengan kedua belah tangannya Mirah menerima kartu nama itu, kemudian ia masukkan ke dalam tas kosmetiknya.
"Saya pikir itu lebih baik untukmu Mirah..! Berpikirlah dulu, Mirah. Tak perlu aku mendengar jawabanmu sekarang..!"
"Terima kasih, Om..! jawab Mirah lirih."

Malam kian larut, rintik-rintik hujan pun telah berlalu. Lampu-lampu pertokoan mulai dipadamkan. Kuiring langkah Mirah menuju jalan. Mirah berjalan pelan, bayangnya memudar lalu menghilang di kegelapan malam. Selamat jalan Mirah. Dan bila nanti kumelihatmu lagi, semoga kau bukanlah seperti Mirah yang berdiri di depan Maal yang baru saja kulihat malam ini.

***

Sunday, 4 November 2012

Di bagian depan gedung itu, sebuah halaman luas terhampar. Tiang bendera tertancap kuat dan beberapa pohon tua berdiri kokoh, memberikan kerindangan yang luar biasa. Meski tua pohon itu masih tampak kokoh. Hanya daunnya sesekali bergoyang dihembus angin musim ini. Angin yang bertiup dari arah utara. Semilir bertiup, menerbangkan uap air yang terangkat dari pantai di sisi Pantai Mutiara. Hembusnya memberikan kesegaran tersendiri. Musim yang seperti inilah yang menjadi sangat dinanti-nanti oleh anak-anak. Banyak anak di sini yang memanfaatkan keadaan ini. Dengan sengaja mereka merebahkan diri di atas bangku taman yang memang disediakan di hampir setiap pohon-pohon gede itu. Anak-anak melepas kepenatan atau mungkin kejenuhan setelah sekian waktu bergelut dengan buku-buku. Maka tak heran lagi mana kala bel berderig, anak-anak itu kemudian berlarian, berhamburan saling mendahului sekedar berebut bangku .

Di sisi barat halaman itu, membentang sebuah taman. Bentuknya memanjang dari sisi kiri menuju ke kanan bangunan itu. Berbagai macam tanaman hias dan bunga-bungaan ada di situ. Ada yang tinggi, ada yang pendek, ada pula jenis pohon yang menjalar. Bila musim penghujan seperti ini, tanaman-tanaman itu tampak menghijau indah dipandang mata. Daunya bergoyang terumbai-umbai mengikuti ke mana angin menerpanya. Aneka bunga tampak bermekaran dengan berbagai warna. Kilau cahaya matahari yang terpancar pagi itu, semakin menjadikan sempurna. Sesekali terlihat, beberapa ekor kupu-kupu terbang kemudian hinggap di atas bunga-bunga yang sedang mekar.


Tepat di perbatasan antara halaman dan taman, berdiri kokoh di sana sebuah tugu peringatan yang bisa disebut prasasti, begitu biasa orang menyebutnya. Prasasti itu berbentuk prisma segitiga, berbahan beton keras. Di atas prasasti itu, diletakkan sebuah logo sekolah, berupa bintang besar dan kecil. Dan padanya terukir nama dan tanda tangan seseorang. Orang Gede yang pernah memimpin kota ini tempo dulu. Tak berani aku menyebut nama Beliau, takut salah eja nantinya. Perihal tugu itu, tak banyak yang aku tahu. Belum lama ini, aku dengar dari seorang teman yang katanya ikut andil dalam pembuatan tugu prasasti itu. Tapi itu katanya. Tapi, meski itu hanya katanya, aku juga mencoba percaya. Sebab jika aku tak percaya buat apa aku juga bercerita tentang itu. Maka, setiap kali aku bercerita tentang tugu itu, selalu saja cerita kuawali dengan kata ‘Katanya…’ atau kalau tidak ‘Barang kali saja…’ atau bahkan ‘Mungkin…” agar tidak disangkanya sekedar membual.

Katanya, di awal tahun 60-an, asal mulanya tempat itu adalah rawa-rawa. Sepanjang mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan rawa-rawa yang luas ditumbuhi pohon-pohon bakau dan semak beduri. Oleh tangan seorang pengembang perumahan yang tentunya mempunyai cukup modal, mulailah daerah ini disentuh kemudian disulapnya menjadi daerah pemukiman penduduk. Bukan kebanyakan penduduk yang bisa tinggal di sini tentunya. Mereka-mereka orang-orang yang berduit kala itu saja yang bisa empunya rumah di situ. Demikian kiranya, tempat yang semula adalah rawa-rawa pun berubah seketika menjadi sebuah daerah hunian yang cukup eksklusif untuk ukuran waktu itu. Satu demi satu fasilitas umum pun mulai dirasa perlu dihadirkan di situ. Dari sarana pendidikan sampai sarana hiburan, dari sarana perbelanjaan sampai kebugaran. Status Daerah Otorita semakin mempercepat berkembangnya wilayah ini bersaing dengan wilayah lain yang telah lebih dulu berkembang.

Katanya pula, kala itu sekolah belum banyak terbangun di situ. Mungkin atas kondisi itu, tergeraklah hati seorang biarawati untuk ikut ambil bagian dalam karyanya di bidang pendidikan. Maka sebuah kuminitas biarawati yang sebelumnya telah mengelola sebuah sekolah di daerah Jembatan Tiga pun berinisiatif pindah ke tempat itu. Tergeraklah hati sang biarawati. Semangatnya mengabdi pada sesama demi kemuliaan Tuhan, membuatnya tak kenal lelah. Semangatnya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Dari pintu ke pintu dituju, dicarinya dukungan dari masyarakat sekitar. Segala daya dan upaya pun dilakukan, hingga pada pertengahan tahun 70-an pun berdirilah sebuah sekolah di situ. Sejak saat itu, pelayanan pendidikan dipindahkan dari Jembatan Tiga ke tempat itu. Dan barang kali saja, tugu yang tertancap di tengah-tengah halaman itu dimaksudkan sebagai tengara atas peristiwa itu.

Di awal telah aku ceritakan perihal sebuah taman yang ada di sisi belakang tugu itu. Kata temanku, dulu tepat di belakang tugu itu ditanam bunga mawar. Hanya sebatang dan teramat kecil. Tapi jangan salah, dari yang sebatang itulah taman itu menjadi besar dan berkembang. Mawar itu tampak mungil. Daunnya hijau segar. Batangnya nampak kokoh dengan akar-akarnya yang menancap kuat ke tanah. Duri-duri di batangnya kian memperlihatkan keperkasaannya. Daunnya yang tegak berdiri seolah menatap jauh ke awan, dipenuhi pengharapan akan sebuah masa depan yang masih panjang. Mawar pun berkembang, seiring berputarnya sang waktu. Banyak halangan dan rintangan menghadang. Dari onak dan duri, dari topan dan badai, dari terik dan panas matahari, dan dari kemarau yang berkepanjangan. Mawar tetap bertahan dan terus berkembang. Batangnya kian besar dengan daun-daunnya yang lebat, merambat menjalar ke penjuru taman, menyusup-nyusup di antara pepohonan dan tanaman lainnya. Seperti sebuah rantai panjang yang melilit dari pohon ke pohon, seperti bergandeng-gandeng, bersatu berpadu yang sulit tercerai beraikan. Duri di batangnya kian kuat dan tajam, siap menghadang siapa pun yang coba menggoyang goncang.

Mawar kian mekar, kuncup menjadi kembang, warnanya putih bersih tampak segar berseri, berkilau-kilau ditimpa sinar matahari pagi. Sedap dipandang mata terasa begitu menggoda. Semerbak harumnya menebar ke segala penjuru, terbawa semilir angin yang bertiup dari arah pantai di ujung sana. Daunmu yang kian lebat dan menghijau, seolah melambai bila ditiup angin. Seperti mengundang kupu-kupu itu datang mendekatmu. Satu, sepuluh , seratus, sampai ribuan kupu-kupu datang padamu. Hinggap di dahan-dahan rimbunmu, dari kuncup-kuncupmu dihisapnya madumu. Terbang dari dahan yang satu ke dahan yang lain, saling berganti seperti menari-nari. Di bawah teduh daunmu kupu-kupu itu bertelur, dan oleh teduhmu, kau jaga, kau rawat telur-telur itu sampai menjilma menjadi kupu-kupu kecil. Dan padamu kupu kecil menjadi dewasa, bertelor kemudian pergi dari generasi ke generasi. Mawar pun kian anggun dan memesona di tengah taman itu.Tapi kata temanku, itu dulu. Mungkin, apa yang dikatakan temanku itu benar. Mawar yang kulihat saat ini tak seperti yang diceritakannya, tak lagi memesona, harumnya tak lagi semerbak. Atau apakah mawar itu bukan mawar yang dulu lagi? Bisa jadi begitu. Atau apakah bencana besar waktu itu telah mengubah segalanya? Barang kali saja begitu.

Masih tergambar jelas di ingatanku. Bagaimana bencana itu datang tiba-tiba dan begitu cepat. Ketika itu sedang deras-derasnya hujan di awal tahun 2002, lebih-lebih bulan Januari-Februari. Hampir tiada hari tanpa diguyur hujan. Tak khayal lagi, sungai dan laut tak lagi sanggup menampung tumpahan air yang terus-menerus dicurahkan oleh langit. Laut pun meluap, dan luapannya sempat merendam hampir seluruh wilayah ini. Termasuk taman ini, taman tempat di mana mawar itu tumbuh dan berkembang. Ketinggian air kala itu mencapai sebatas leher orang dewasa. Ketinggian itu bertahan hampir satu bulan lamanya. Meluluh lantakkan hampir sebagian tanaman yang ada di taman itu, termasuk pohon mawar itu. Seolah tanpa bekas, berbagai macam bunga dan jenis tanaman yang semula tampak indah di taman itu seperti tak terlihat lagi. Semuanya berubah seperti onggokkan sampah yang menunggu giliran si tukang taman mengangkut dan membuangnya. Tinggalah pohon mawar itu sendiri yang sepintas masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Mawar itu tak lagi berdaun indah, apalagi berbunga indah. Daunnya tampak layu kemudian kering dan jatuh satu demi satu luluh ke bumi lalu mati dan tinggalkan tonggak. Yang aku tahu, dari tonggak itu telah dua kali tumbuh tunas baru. Tunas penerus generasi, penyambung kejayaan.

Kali pertama tumbuh sebuah tunas di sisi kanan tonggak itu. Tunas itu tampak kecil. Hanya beberapa lembar daun terlihat pada batangnya yang begitu kecil dan lemah. Tak ada duri-duri tajam yang terlihat padanya. Terlalu kecil batangnya untuk sekedar berdiri dan menjalar menjangkau seisi taman. Onak dan duri telah lebih dulu subur dan menjamur di taman itu. Mawar tak sanggup bertahan, tubuhnya sakit-sakitan kemudian terkapar dan mati.

Kali kedua tumbuh sebuah lagi di sisi kiri tonggak itu. Tunas itu tampak kecil, tapi tak seperti tunas pertama. Bisa jadi ia belajar dari kegagalan tunas pendahulunya. Lembar demi lembar daun pun bermunculan pada batang tubuhnya. Daunnya segar, tegak seperti hendak menantang langit. Duri-duri tajam yang mulai bermunculan hampir di sekujur batang dijadikannya benteng dan juga senjata untuk bertahan dan juga menyerang. Bertahan dari terpaan angin, menyerang pada gejolak-gejolak alam di sekitarnya. Duri-duri itu seperti melindungi sekuntum mawar yang muncul di pucuk batangnya. Meski tampak kokoh mawar itu seperti tak bercahaya, penampilannya tak berseri, suram dan angker. Hanya kesombongan, keangkuhan, kedengkian, dan kemarahan yang terpancar dari sekuntum mawar itu. Tak ada lagi keteduhan terpancar dari padanya. Mawar itu seperti mau menekan dan menindas semua tanaman di sekelilingnya. Tanaman-tanaman kecil menjadi tak berdaya, tak ada semangat dan tampak begitu apatis.

Kupu-kupu yang dulu banyak beterbangan di taman itu pun satu-satu pergi, tak ada lagi yang menarik di matanya. Tak tercium lagi sedapnya aroma mawar seperti dulu. Mawar tak punya lagi senyum apalagi madu buat kupu-kupu itu. Kupu-kupu terus terbang berlalu. Asalkan mawar itu berseri lagi pastilah kupu-kupu itu kan kembali lagi.

---$$$---