Malam hari menyusuri jalan Malioboro Yogyakarta ketika rintik-rintik
hujan sungguh sangat menakjubkan. Titik-titik air yang jatuh dari langit
tampak berkilauan dalam terpaan lampu-lampu mobil yang lalu lalang.
Kemilaunya seperti butir-butir mutiara yang jatuh tak beraturan. Sungguh
suatu pemandangan yang begitu memesona.
Pedagang-pedagang kaki lima
berderet, berjajar di kiri kanan jalan di emper-emper toko. Mereka
menggelar berbagai macam souvenir dan perhiasan, aneka busana laki-laki
dan perempuan dari yang anak-anak sampai yang tua. Dari sepatu, sandal,
juga sepatu-sandal semua ada. Tas-tas pria wanita tampak terpajang rapi
berjajar. Di latar belakangnya sorot lampu-lampu toko masih jelas
terlihat dari kejauhan.
Berjalan sendiri di Malioboro malam hari ketika
rintik-rintik hujan. Seorang perempuan setengah baya tegak berdiri
sendiri di depan Maal yang besar dan megah. Bibirnya bergincu merah,
alisnya hitam tipis. Berkaus ketat dengan celana jeans yang ketat pula
seperti hendak memamerkan lekuk-lekuk pada sekujur tubuhnya. Pada pundak
kirinya bergantung sebuah tas kosmetik dengan warna merah cerah
tergantung sebatas pinggulnya. Pada pergelangan tangannya sebuah gelang
besar tampak berkilat. Sebatang rokok terjepit di sela-sela kedua
jari-jemari tangan kirinya dengan kuku-kukunya yang dibiarkan panjang
dan bercat merah cerah. Sesekali terlihat kilatan cahaya terpancar dari
anting-anting besar yang menghias di kedua telinga, ketika dengan
sengaja disibakkannya rambutnya yang dibiarkan panjang tergerai itu
sampai menyentuh dada. Tatap matanya nakal dan binal. Di bibirnya terus
tersungging senyum. Sesekali asap rokok mengepul dari bibirnya yang
merah mengembang itu. Senyum yang menurutku penuh dengan keterpaksaan
dan kehampaan. Sempat mataku beradu pandang, matanya mengedip, senyumnya
tersungging. Aku merasa geli dan tersenyum juga karenanya.
Menyusur Malioboro di malam hari ketika rintik-rintik
hujan. Kakiku terus melangkah. Di belakang tak jauh dariku perempuan itu
pun berjalan seperti mengekorku. Tepat di depan KFC lama langkahku
terhenti. Perempuan itu pun berhenti. Di dalam KFC cukup sepi. Hujan
yang mengguyur sedari sore memang belum berhenti. Mungkin ini yang
menjadikannya sesepi ini. Padahal dari cerita teman-teman, tempat ini
tak pernah sepi, selalu saja dipadati oleh pejalan kaki atau masyarakat
sekitar untuk bermakan malam. Sebuah meja yang berukuran sedang dengan
empat buah kursi yang masih kosong terletak di sudut ruangan itu, ke
situ langkahku menuju. Terlebih dulu kupesan dua porsi makan.
Masing-masing dua potong paha ayam, satu potong dada lengkap dengan nasi
dan juga kentang goreng, lalu dua cup Coca-Cola sebagai minumannya.
Sengaja aku pesan dua porsi malam itu. Belum juga aku duduk, kuliat
perempuan itu telah berdiri dengan tubuh setengah bersandar pada pintu
KFC. Matanya terus memandangku penuh harap. Ada
perasaan iba kali ini aku pada perempuan itu. Seabrek pertanyaan
tentang perempuan itu seolah menggugah hasratku untuk mencari jawab
dari mulut perempuan itu. Kuberikan ia senyum kedua kalinya malam ini.
Lambaian tanganku yang begitu pelan menuntunnya berjalan mendekatiku
kemudian duduk tepat menghadap ke arahku.
Malam ini di depan meja yang berukuran tak begitu besar duduk sudah seorang perempuan separuh baya tepat di depanku.
"Saya mulai melihat Anda sedari depan maal itu. Dan dari situ
saya merasa Anda terus mengikuti saya sampai di sini. Tapi..., maaf...,
kalau saya salah menduga..!" Begitulah caraku membuka pembicaraan
dengannya. Aku orangnya memang tak suka basa-basi maka bertanyapun
terkesan to the point. "Apa yang Anda lakukan?"
"Maaf, Om.., Panggil saja saya Mirah..!" Dia memulai pembicaraannya.
"Nama lengkap saya Samirah, tapi orang-orang di sini memang lebih
mengenal saya Mirah. Sebutan Mirah mulai lekat pada diri saya sejak
sepuluh tahun lalu, Om. Sejak saya bekerja di sini."
"Bekerja..! Bekerja di sini? Apa maksud Mirah bekerja di sini?" tanyaku penuh selidik.
"Ya bekerja cari uang sekedar buat makan, Om..! Di sini, ya di sini, di sepanjang jalan ini Om,
Mirah bekerja."Jari telunjukknya menuding ke arah keluar, menunjuk arah
selatan dan utara, seperti merentang jalan dari ujung ke ujung.
"Trus gimana cara Mirah bekerja?" tanyaku sedikit penasaran.
"Ya seperti ini Om, seperti yang Om
lihat sendiri tadi. Mirah cukup berdiri saja di suatu tempat sampai ada
laki-laki yang mau menghampiri Mirah. Kemudian mengajak pergi Mirah,
dari sekedar menjadikan Mirah sebagai teman ngobrol, makan malam, sampai
teman di ranjang, Om."Mirah berhenti sejenak, diambilnya beberapa potong kentang goreng yang sedari tadi masih dibiarkan utuh di atas meja itu.
"Mengapa dan sudah berapa lama Mirah melakukan itu?"
Kali ini Mirah terdiam. Dari sudut-sudut matanya tampak butir air
mata meleleh perlahan. Diambilnya sebuah Coca-Cola yang tak lagi dingin
lalu diminumnya beberapa sedot. Dengan suara yang terpatah-patah Mirah
pun bercerita mengapa Mirah menjadi seperti ini. Tentang banyak
peristiwa di kehidupan Mirah yang memaksanya keluyuran di tengah malam
seperti ini.
Samirah nama lengkapnya. Mirah nama panggilannya. Tiga
puluh empat tahun umurnya. Dua puluh tahun lalu Mirah masih duduk di
kelas 3 sebuah SMP swasta. Di SMP-nya dulu Mirah tergolong remaja yang
berparas cantik. Banyak teman-teman lawan jenis Mirah yang kagum
padanya. Kecantikan Mirah dua puluh tahun lalu menggelapkan mata Pak Dol
guru honorer di SMP itu. Di sebuah gudang lawas di pojok dekat kantin
sekolah Pak Dol merenggut dengan paksa kegadisan Mirah. Hancur sudah
masa depan Mirah. Mirah tak mau lagi sekolah. Mirah mengurung diri di
rumah. Tak pernah Mirah ke luar rumah, apalagi ke tetangga rumah
sebelah.
Baru lima tahun kemudian, Mirah mau ke luar rumah.
Setelah Karyo si juragan minyak dari desa sebelah mengawininya. Dari
perkawinan itu beroleh satu orang anak laki-laki. Mirah mulai menjalani
kehidupan barunya. Hari-hari dijalani dengan penuh kebahagiaan seiring
semakin membaiknya kehidupan ekonomi keluarganya. Kebahagiaan dalam
hidup berumah tangga hanya lima tahun dirasakan oleh Mirah. Semuanya
berakhir, ketika sebuah kebakaran besar memusnahkan rumah tinggal dan
usahanya. Suami dan satu-satunya anak Mirah tak selamat dalam peristiwa
itu. Mirah menjadi sendiri lagi. Hatinya berkeping-keping. Pernah Mirah
mencoba bunuh diri. Menjatuhkan diri dari jembatan kali. Niatnya urung
ketika Tante Neni mencegahnya. Bersama Tante Neni itulah Mirah menjadi
seperti malam ini.
Di luar rintik-rintik hujan belum juga reda. Dua jam
lebih aku duduk mendengarkan cerita Mirah. Perutku mulai berasa lapar.
Menu KFC yang sedari tadi terbiarkan begitu saja di atas meja, mulai
kami sentuh. Kali ini Mirah lebih banyak diam. Dari sorot matanya aku
melihat ada sedikit kelegaan, sepertinya Mirah merasa lepas dari beban
batin yang selama ini mendera hidupnya. Atau bisa jadi di mata Mirah aku
adalah sosok yang mau mendengarkan keluh kesahnya.
"Mirah,...Mirah....! Tidakkah kau merasa berdosa, atau setidaknya
menyesal atas apa yang kau lakukan itu Mirah?" tanyaku dengan perlahan.
"Om, Kalau Mirah boleh jujur. Sampai detik ini Mirah terus
dihantui oleh perasaan berdosa itu. Terkadang Mirah menangis seorang
diri menyesali apa yang telah Mirah lakukan. Tak jarang hati Mirah
menjerit-menangis dalam dekapan Om-Om yang mencari kesenangan atas diri
Mirah. Tapi...!"
"Tapi, kenapa Mirah?"
"Setiap kali perasaan itu muncul, Mirah berusaha keluar dari
kehidupan Mirah yang seperti ini. Tapi setiap kali Mirah mencoba, hanya
kegagalan yang Mirah peroleh, Om..! Pernah Mirah keluar masuk dari pintu
ke pintu pertokoan sampai perkantoran. Tapi setiap kali yang Mirah
dapat hanyalah penolakan..., penolakan, dan penolakan. Mirah Putus asa
Om," suara Mirah meninggi ada kekesalan di wajahnya.
"Pernah juga Mirah mencoba, sekedar untuk menjadi tukang cuci
piring di warung-warung pinggir jalan. Tak ada satu warung pun yang mau
terima Mirah. Mereka malah mencibir dan mencela Mirah." Di mata mereka
mungkin Mirah terlanjur dipandang hina dan kotor."Mira diam sejenak.
"Om, Mungkin memang harus begini nasib Mirah. Sebagai orang yang
tak punya pendidikan, tak punya ketrampilan apalagi keahlian. Mirah
pikir, wajar saja mereka menolak Mirah dengan alasan tak ada lowongan
atau tak ada pengalaman. Mirah pikir inilah pilihan terakhir Mirah untuk
sekedar bertahan hidup."
"Kau tak boleh begitu Mirah, selama Tuhan masih memberi kita
nafas kehidupan kita tak boleh putus asa. Selama itu pula kita harus
berusaha. Percayalah Mirah, selama kita berusaha pasti Tuhan akan
membuka jalan untuk umatnya." Aku diam sejenak, kuraih Coca-cola yang
masih tersisa, sekali sedot habislah.
"Mirah, percayalah, Tuhan tidak buta. Tuhan pasti akan membuka
mata kepada umatnya yang tak pernah merasa bosan untuk memohon
kepadaNya. Lebih-lebih jika permohonan itu kita iringi dengan doa dan
pertobatan yang tulus."
Kulihat tetes air mata kembali mengalir dari sudut-sudut matanya yang semakin sembab. Mungkin ini air mata penyesalan pikirku.
"Pernahkah kau berpikir untuk meninggalkan kehidupanmu dengan cara pergi jauh dari kota ini, Mirah?''
"Belum, Om,"jawab Mirah dengan tulus.
"Nah..! Jika belum, Cobalah Mirah...! Di tempat yang baru nanti, kamu bisa membuka lembaran hidup barumu."
Aku diam sejenak, kuambil sebuah kartu nama dari dalam tas
kecilku. Kartu nama temanku, seorang teman di Jakarta yang kebetulan
butuh orang untuk menjaga toko miliknya.
"Mirah, ini kartu nama temanku di Jakarta. Temanku ini mempunyai
banyak toko kain. Ia sedang membutuhkan banyak tenaga untuk menjaga
toko-tokonya. Bekerjalah di sana Mirah, mungkin itu akan membantumu!"
Dengan kedua belah tangannya Mirah menerima kartu nama itu, kemudian ia masukkan ke dalam tas kosmetiknya.
"Saya pikir itu lebih baik untukmu Mirah..! Berpikirlah dulu, Mirah. Tak perlu aku mendengar jawabanmu sekarang..!"
"Terima kasih, Om..! jawab Mirah lirih."
Malam kian larut, rintik-rintik hujan pun telah
berlalu. Lampu-lampu pertokoan mulai dipadamkan. Kuiring langkah Mirah
menuju jalan. Mirah berjalan pelan, bayangnya memudar lalu menghilang di
kegelapan malam. Selamat jalan Mirah. Dan bila nanti kumelihatmu lagi,
semoga kau bukanlah seperti Mirah yang berdiri di depan Maal yang baru
saja kulihat malam ini.
***