Saturday, 3 November 2012

Hari pertama sampai hari keempat sekolah di antar mamanya. Di hari pertama, ditemani di dalam kelas sampai pulang. Hari kedua, ditunggui di luar kelas sampai pulang juga. Hari ketiga, diantar sampai di depan kelas. Begitu masuk kelas ditinggal pergi kerja. Hari keempat diantar mamanya juga. Hanya sampai gerbang sekolah. Dijemput guru dibawa ke kelas. Empat hari pertama sekolah bisa dibilang aman. Tak ada gelagat mencurigakan. Anakku menikmati sekolahnya.

Hari kelima anakku sekolah. Masih diantar mamanya. Kemudian ditinggal kerja. Dipikirnya anak sudah terbiasa. Nyatanya sesuatu terjadi. Di tempat yang jaraknya jauh dari sekolah. Di tempat biasa orang-orang mengurus surat izin mengemudi. Tiba-tiba saja Hp-ku berbunyi. Ibu guru sekolah anakku meneleponku. Ibu guru memberi tahuku, anakku nangis dan muntah-muntah. Badannya dingin sekali. Mungkin masuk angin. Bu guru minta kumenjemputnya pulang. Tak mungkin kumenjemputnya sendiri. Kutelepon pengasuhnya, kusuruh dia menjemputnya. Hari keenam dan ketujuh, anakku istirahat di rumah. Kesehatannya sedang terganggu rupanya.

Hari pertama minggu kedua sekolah. Anakku minta masuk sekolah. Dia mandi dan pakai seragam sendiri. Baru keluar rumah dia bilang malas dan sakit perut. Mamanya tetap mengantar ke sekolah. Di ruang kelas tidak mau ditinggal. Dia minta ditunggui. Diam-diam ditinggal pergi. Pakai acara dibohongi oleh mama dan bu gurunya. Tahu dibohongi, anakku ngambeg. Nangis dan minta pulang. Pengasuhnya pun menjemputnya pulang. Sore hari, saat aku menjemputnya. Anakku bilang, dia kesel sama mama dan bu gurunya. Kesel karena dibohongi, katanya.

Hari kedua minggu kedua. Pagi-pagi anakku mandi sendiri. Pakai baju sendiri. Disuruhnya mamanya menelepon bu guru. Untuk menanyakan seragam apa yang dipakainya. Selesai berpakaian, dia mogok. Tidak mau berangkat sekolah. Katanya malas dan sakit perut lagi. Diantar saja ke rumah pengasuhnya. Oleh pengasuhnya dibujuk-bujuk sekolah. Dia mau diantar sekolah. Sampai di depan pintu pagar sekolah, anakku minta pulang. Tiba-tiba badannya dingin dan muntah-muntah. Dipikirnya masuk angin, pengasuhnya membawanya pulang. Nyatanya di rumah anakku segar bugar. Bisa ketawa-tawa dan bermain-main lagi.

Aku dibuatnya pusing oleh sikapnya. Mengapa dia tak mau sekolah? Aku tak tahu sebabnya. Bila ditanya kenapa? Jawabnya selalu saja, tidak ada apa-apa. Aku kehabisan akal. Aku tak dapat membujukknya. Tak ada cara lain yang dapat kulakukan. Kecuali mencoba menghubungi bu gurunya. Lewat telepon kusampaikan permasalahan itu. Aku minta bu guru membujuk anakku. Siapa tahu anakku mau nurut dengan ibu gurunya. Bu guru pun bersedia membantu. Entah gimana caranya, bu guru pasti punya caranya tersendiri.

Benar saja. Hari ketiga minggu kedua sekolah. Pagi-pagi benar ketika anakku baru bangun tidur. Ibu guru menelepon. Bu guru bicara langsung dengan anakku. Entah bu guru bilang apa? Aku tak tahu. Tiba-tiba saja anakku minta mandi kemudian berpakaian sendiri. Minta diantar sekolah oleh pengasuhnya. Pagi itu anakku diantar pengasuhnya dan mamanya. Sampai di depan gerbang sekolah. Bu guru menjemputnya. Menggandeng tangan anakku dan menuntunnya masuk kelas. Anakku nurut saja dibawa bu guru. Pengasuh dan mamanya seperti tak dihiraukan lagi. Mamanya pun pergi kerja. Hanya pengasuhnya tetap mengawasi dari luar kelas.

Di dalam kelas hari itu, anakku didampingi Bu guru untuk beberapa saat. Pelan-pelan dilepas dan disuruhnya bergabung dengan teman-temannya. Terdorong oleh rasa penasaran. Aku cari tahu kabar anakku dari Bu guru. Kutelepon bu guru. Bu guru bilang aman. Anakku sudah mau bergabung dengan teman-temannya. Bermain-main dan bernyanyi bersama. Bahkan hari itu anakku tidak lagi nangis dan nyari-nyari mamanya lagi. Hari itu anakku bertahan sampai pulang sekolah.

Saat sore hari aku menjemputnya. Pengasuhnya bilang, kata bu guru anakku termasuk pintar. Baru sekali dikenalkan dengan pensil dan buku tulis, anakku sudah bisa menulis namanya sendiri. Bisa juga menggambar dan mewarnai dengan rapi. Ini terlihat menonjol jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Di perjalanan ke rumah, anakku bercerita dengan senangnya. Tentang apa yang baru saja dia kerjakan di sekolah pagi tadi. Sesampai di rumah, kupeluk anakku. Kucium beberapa kali. Dalam hati kuberharap. Semoga besok sekolahmu makin enjoy lagi Nak...!

---$$$---

Friday, 2 November 2012

Seekor kupu-kupu terbang rendah pada sebuah taman yang tidak begitu luas. Taman itu ditumbuhi beberapa macam bunga yang sedang bermekaran. Tampak sebuah bunga yang terlihat mencolok di tengah taman itu. Warnanya merah merekah. Bentuknya kecil dan mungil. Dengan daun yang runcing dan tajam. Daunnya yang runcing dan tajam itu, seperti perisai pelindung bunga itu dari hempasan angin dan kucuran hujan.

Berkali-kali kupu-kupu itu terbang mengitari bunga itu. Seperti tak hendak pergi dari taman itu. Entah sudah berapa waktu dia habiskan di situ. Si kupu-kupu tak peduli lagi. Tak seperti kupu-kupu biasanya. Melihat bunga itu tak terpikir olehnya untuk hinggap pada bunga itu. Kemudian dengan moncongnya yang taumberjam ditusukkannya ke dalam putik bunga. Dihisapnya sari madu bunga yang memang disukai kupu-kupu. Kupu-kupu tahu bunga itu sedang mekar, pasti sari madunya sedang manis-manisnya. Nyatanya itu tidak kupu-kupu lakukan. Tak mau kupu-kupu melakukan itu. Kupu-kupu memilih terbang berkeliling di sekitar bunga itu. Sesekali mendekat kemudian menjauh. Entah sampai kapan kupu-kupu berbuat seperti itu. Mungkin sampai si bunga itu layu dan jatuh ke tanah, pikirku.

Dari luar pagar taman itu, mataku setia memperhatikan kupu-kupu itu. Tak sedetik pun mataku beralih pandang. Seperti setiap gerak dan gerik kupu-kupu itu tak satu pun yang lepas dari pandanganku. Maka tak heran, jika akhirnya pun aku tahu tentang kupu-kupu itu. Mengapa kupu-kupu enggan beranjak dari situ?

Barangkali kupu-kupu sadar diri. Terlalu lemah dan kecil di depan bunga itu. Di mata kupu-kupu bunga itu begitu anggun dan mempesona. Karisma bunga itu memancar sampai di sudut-sudut taman. Menebar pesona yang luar biasa. Menyejukkan semua mata yang memandangnya. Tak ingin kupu-kupu mengusiknya. Tak hendak kupu-kupu melukai si penjaga taman. Diam-diam si kupu-kupu malah ikut berjaga. Di belakang Paman tukang kebun dia ikut berjaga. Meski Paman Si tukang kebun itu, tak harus tau untuk apa kupu-kupu itu berada. Sebab belum tentu, Paman itu tahu dan mau mengerti maksud hati kupu-kupu. Yang aku tahu, kupu-kupu itu selalu setia menemani Paman itu, untuk selalu berjaga dan memelihara bunga itu.

Hujan yang turun tiba-tiba memecah perhatianku pada kupu-kupu itu. Aku beranjak pergi mencari tempat berteduh. Dari sebuah pos ronda yang letaknya tak jauh dari taman itu, aku masih melihat kupu-kupu itu masih bertahan berjaga di bawah guyuran air hujan yang kian derasnya...!

---$$$---

Thursday, 1 November 2012




Mendung pagi masih bergelayut di angkasa yang hitam. Jakarta pagi ini masih begitu sepi. Jalan-jalan masih lengang. Angkot-angkot yang biasa berkeliaran berebut penumpang baru satu-satu mulai terlihat. Beberapa pengendara motor berjaket berhelm melaju pelan di atas sepeda motor berlampu redup. Menembus pekatnya pagi yang berselimut kabut. Rintik-rintik hujan satu-satu mulai turun. Menetes di aspal hitam dan menghilang. Beberapa lampu jalan masih terlihat menyala. Kemudian satu demi satu padam dengan sendirinya. Angin sepoi-sepoi dingin berhembus pelan. Seperti jarum-jarum tajam yang menusuk-nusuk kulit. Nyeri dan dingin sekali.

Waktu belum juga pukul enam pagi. Aku sampai di tempat kubekerja. Belum banyak teman sejawat di sini. Hanya beberapa CS dan OB telah terlihat sibuk. Sibuk dengan pekerjaannya sendiri-sendiri. Seperti biasa, sesampai di sini, tempat pertama menjadi tujuanku tak lain adalah sebuah meja tua. Meja tua yang letaknya di pojok halaman yang lumayan luas. Di tempat inilah aku biasa menunggu mulainya jam kerja. Secangkir kopi hitam terlebih dulu telah kusedu dengan air hangat yang tersedia di dapur. Sementara di tanganku tak lepas dari sebatang rokok filter yang sudah menyala. Sesekali kuhisap perlahan kemudian secara perlahan kuhembus kembali. Asap putih tebal tampak mengepul. Menggumpal dan membubung menjauh kemudian menghilang. Seperti membawa terbang menjauh mimpi-mimpiku yang kurenda semalaman.

Pagi ini, kulihat dia tidak seperti pagi-pagi yang telah lalu. Tak kulihat keceriaan tampak di wajahnya. Terlebih dengan pakaian yang dikenakannya sepeti itu. Terkesan serampangan menurutku. Sebuah kombinasi warna yang tak serasi sama sekali. Potongan celana hitam panjang dipaksa menyatu dengan blazzer cokelat abu-abu. Tampak begitu kaku dan beku. Mungkin sebeku dan sekaku sikapnya padaku. Setidaknya, itu kesan yang kudapat darinya pagi ini. Nyatanya, dia kini memilih duduk berjam-jam di depan komputer. Lalu sibuk dengan seabrek pekerjaan-pekerjaan rutinnya tanpa memandang sebelah mata pun terhadapku.

Melihat dia seperti itu. Nyaliku kian ciut. Hatiku makin kecut. Pikiran pun bertambah kusut. Kuurungkan niatku berbincang dengannya untuk sekedar mengurangi beban pikiranku pagi ini. Biarlah beban dan persoalanku menjadi beban dan persoalanku sendiri. Mungkin itu lebih baik. Setidaknya aku tidak membebani sahabatku sendiri, yang mungkin juga sedang banyak beban.

---$$---

Thursday, 3 May 2012

Itu batu-batu
Batu-batu itu beku
Itu hanyalah batu-batu beku
Batu-batu beku itu bisu
Batu-batu itu beku dan bisu

Tapi…
Batu beku dan bisu itu
Adalah saksi-saksi bisu
Kejayaan di masa lalu

Lihat…
Di batu-batu itu melekat kuat
Riwayat dan hikayat umat berumat
Dari abad ke abad
Batu batu itu pernah terkubur
membisu menunggu waktu
Ketika tiba saatnya batubatu itu mendunia
membuat terpana semua manusia
candi namanya
***