Saturday, 8 October 2011

Penerimaan piala kejuaraan dan uang pembinaan

Tim Futsaal Putri SMP Tarki akhirnya menggondol piala juara 1 dan uang pembinaan setelah mengungguli Tim Putri tuan rumah dalam ajang PENABUR 6 CUP tahun 2011 dengan skor 3–2 melalui perpanjangan waktu 2 kali 5 menit.

Pada menit awal babak pertama dimulai Tim Putri Tarki berhasil menyarangkan satu gol di gawang lawan melalui tendangan jarak jauh Bassia Putri yang juga menjadi kapten tim. Kedudukan 1–0 tidak bertahan lama, pada menit ketujuh Tim Putri tuan rumah P6A berhasil menyamakan skor menjadi 1–1. Kemudian pada menit-menit terakhir babak pertama kembali bola merobek ke gawang Tim Putri Tarki maka skor sementara 1–2 untuk keunggulan Tim tuan rumah. Skor 1–2 bertahan sampai turun minum babak pertama.

Foto bersama pelatih
Tertinggal satu gol, tidak membuat Tim Putri Tarki patah semangat. Pada babak kedua Tim Putri Tarki meningkatkan ritme permainan. Serangan bertubi-tubi dari berbagai lini dilancarkan ke sektor pertahanan lawa. Pada babak kedua ini terlihat Tim Tarki menguasai jalannya permainan. Beberapa peluang mencetak gol tercipta melalui tendangan sudut. Hingga pada menit kedua belas babak kedua, memanfaatkan tendangan dari sudut kanan gawang tim tuan rumah kembali Bassia menyamakan skor menjadi  1 –2. Kedudukan 2–2 bertahan sampai peluit babak kedua berakhir.

Dengan skor imbang 2–2 maka pertandingan dilanjutkan dengan perpanjangan waktu 2 kali 5 menit. Sampai  5 menit pertama perpanjangan waktu kedudukan masih berimbang. Gol penentu kemenangan Tim Tarki dicetak oleh Bassia sang kapten setelah memanfaatkan tendangan sudut pada 5 menit kedua perpanjangan waktu. Selain membawa Timnya meraih juara satu, gol ini juga menghantarkan dirinya sebagai pencetak gol terbanyak di ajang PENABUR 6 CUP ini. Sebagai pencetak gol terbanyak, Basia mendapatkan piala, piagam dan sejumlah uang pembinaan.

Nasib baik tampaknya tidak berpihak pada Tim Putra Tarki. Dalam ajang Penabur 6 Cup kali ini Tim Putra Tarki harus puas menempatkan diri di posisi keempat besar. Sebelumnya dalam babak semifinal Tim Putra Tarki berhadapan dengan Tim 21B dan harus mengakui ketangguhan lawan dengan skor akhir 1–8  untuk kemenangan Tim 21B. Kemudian dalam babak final untuk perebutan juara ketiga pun Tim Putra Tarki dijamu oleh Tim tuan rumah P6A dengan skor 2–5 untuk kemenangan tim tuan rumah sekaligus menempatkan tim tuan rumah sebagai juara ke-3.  Di posisi juara ke-1 ditempati tim 21B kemudian untuk juara ke-2 tim 261A setelah dalam pertandingan perebutan juara 1 Tim 21B memenangi pertandingan atas tim 261A.

Ketidakberhasilan Tim Putra Tarki kali ini, menurut pelatih lebih disebabkan karena keterbatasan pemain pengganti. Lebih-lebih setelah salah satu kipper tidak dapat turun bermain dalam putaran semifinal dan putaran final karena mengalami cidera lutut pada putaran sebelumnya.

***

Friday, 7 October 2011


Tim Putri Tarki
Tinggal selangkah lagi. Bisa jadi beginilah kata-kata yang tak sempat terucap namun melekat kuat di benak anak-anak Tim Futsaal Putri SMP kita. Setelah hampir satu pekan berlaga tanding di ajang P 6 CUP Penabur musim CUP tahun ini, Tim Putri Tarki memastikan diri melangkah di putaran final.

Di babak semifinal, Tim Putri yang dimotori Bassia Putri berhasil mencuri skor 3-0. Gol pertama dicetak oleh Bassia sang kapten Tim di menit ke-7 babak pertama.  Menit ke-13 sebelum turun minum babak pertama,  kembali  sang kapten melalui tendangan jarak jauhnya berhasil menambah skor menjadi 2-0. Sampai  peluit terakhir babak pertama dibunyikan kedudukan bertahan 2-0 untuk keunggulan sementara Tim Tarki.
Skor sementara 2-0 semakin membangkitkan semangat bertanding. 

Di  babak kedua Tim Tarki terlihat semakin percaya diri. Panas terik matahari yang semakin menyengat seperti tidak mereka rasakan. Suasana panas dan begitu gerah tak menyurutkan semangat pemain.  Mereka semakin gencar melakukan serangan-serangan melalui berbagai lini ke sektor lawan. Pada menit ke-25 babak kedua, tendangan kaki kiri Jennifer dari lini sebelah kiri gawang lawan berhasil menyarangkan bola ke gawang lawan. Kemenangan bertambah 3-0. Sampai berakhir babak kedua skor bertahan 3-0. 

Dengan kemenangan 3-0 ini Tim Putri Tarki memastikan diri masuk ke babak final yang rencananya dijadualkan esok pagi jam 08.35 WIB. Di babak final nantinya Tim Tarki akan bertemu dengan Tim dari IPTO untuk memperebutkan posisi juara 1.
Pada hari yang sama, Tim Tarki Putra juga memantapkan diri masuk ke babak semifinal setelah meraih kemenangan 3-2 di babak perempat final. 

Berbeda dengan Tim Putri kita, perjalanan Tim Putra kita menuju babak semifinal ini bisa dibilang sangat menegangkan. Sebelumnya di pertandingan pool dalam 4 kali tanding Tim Putra beroleh skor 6 dari 2 kali menang dan 2 kali kalah. Skor 6 memposisikan diri menjadi peringkat tiga terbaik antar pool melalui perhitungan selisih gol. Predikat peringkat 3 terbaik antar pool menghantarkan Tim Putra melangkah di babak perempat final. Berlaga di perempat final dengan Runner Up pool B, Tim Putra berhasil menang dengan skor tipis 3-2.   

Pertandingan semifinal
Pertandingan memperebutkan tiket ke semifinal ini berlagsung dalam tempo yang tinggi dan terkesan keras. Selama pertandingan berlangsung, beberapa pemain inti mengalami cidera dan harus digantikan dengan pemain cadangan. Dalam satu kali sisa pertandingan pool dan perempat final kali ini, Tim Putra diperkuat oleh kipper cadangan dikarenakan kipper inti mengalami cidera sebelum bertanding. Putaran semifinal putra dijadualkan digelar esok pagi mulai jam 11.00 WIB. Di semifinal ini nantinya Tim Putra Tarki berhadapan dengan tim 21B. Tim yang notabene diunggulkan menjadi juara.
Tinggal selangkah lagi. 


Semoga langkah terakhir menjadi langkah terbaik bagi kedua tim futsaal kita utuk mewujudkan impian tim menjadi yang terbaik. Sekaligus sebagai pengalaman pertama terjun di kompetisi/Cup antar sekolah. Semoga. Semangat….!
***

Thursday, 6 October 2011

“Yah.., nanti kita ke pasar malam ya!” Pernyataan itu spontan keluar dari mulut anakku. Bagiku pernyataan ini bukan yang pertama kali aku dengar. Sudah terlalu sering malah. Setiap kali aku menjemputnya terutama jika sedang hari Jumat, anakku selalu melontarkannya padaku. Bagiku pernyataan itu sudah layaknya sebuah salam pembuka saja setelah seharian kutinggalkan bekerja dari pagi hingga sore hari. Biasanya, aku pun lantas mengiyakan saja atas pernyataan tersebut. Seperti juga dengan sore ini.

“Iya.., iya…!”

“Emang Atha mau beli apa?” tanyaku sekedar menyelidik saja.

“Ada deh..!”

“Lho, kok ada deh..! Harus jelas donk Atha mau apa?”

“CD, yah..!” jawabnya dengan manja sambil ngelendot di pangkuanku.

“Bener, CD doank ya, jangan minta yang lain-lain..!”

“Iya-iya, Yah…!” giliran kini anakku yang mengiyakanku.

Aku tak lagi perlu bertanya lebih lanjut. Jika Atha sudah bilang demikian, memang yang dibelinya cuma CD saja, tidak yang lain-lainnya lagi. CD yang dibelinya pun pasti sekedar CD film anak-anak, Doraemon, Dora the Explorer, sampai ke Babby Bola, dan yang sejenisnya.


Jalan Adam. Sebuah jalan yang membelah lurus di tengah-tengah kampungku. Merupakan jalan pintas penghubung antara Jalan Kebayoran Lama Raya dengan Jalan Panjang. Dari mulai matahari terbit sampai kembali terbenam, jalan ini tak pernah sepi. Jalan yang tidak begitu lebar ini, setiap hari selalu dijadikan jalan pintas oleh para pengguna jalan baik dari arah Barat dari Jalan Panjang yang bertujuan ke Palmerah, Slipi, Kemanggisan dan sekitarnya. Sebaliknya, dari arah timur, dari Jalan Kebayoran Lama Raya menuju Kelapa Dua, Srengseng, Meruya dan sekitarnya.


Di jalan ini pula, jika hari Jumat malam Sabtu. Jika matahari sudah terbenam, atau ketika adzan mahgrib selesai berkumandang. Adalah suasana satu malam yang berbeda jauh dengan suasana enam malam yang lainnya. Malam ini Jalan Adam berubah menjadi pasar dadakan atau pasar kaget. Orang-orang di sini sering menyebutnya PM alias pasar malam. Di kiri-kanan jalan banyak lapak-lapak darurat pedagang kaki lima. Lapak-lapak itu diatapi deklit beraneka warna dengan penerangan sebuah bola lampu pada setiap lapaknya. Lampu-lampu saling terhubung dengan sebuah kabel yang membentang panjang dari Timur ke Barat, berkelok-kelok bagaikan jejaring laba-laba. Di dalam lapak tersebut, mereka para pedagang itu, menjajakan berbagai macam barang dagangan. Ada yang menjual peralatan rumah tangga, beraneka ragam barang keperluan rumah tangga, pakaian anak-anak sampai dewasa dan juga tua. Aneka mainan anak-anak dan macam-macam makanan kecil pun tersedia di sana.


Jika hari sedang tidak hujan, tempat ini selalu penuh dijejali oleh orang-orang untuk berbelanja murah, atau sekedar jalan-jalan saja. Hampir seisi kampung dari yang anak-anak, muda tua berjubel-jubel di sini. Saling berdesak-desakan bahkan bertabrakan berebut jalan. Pernah suatu ketika, seorang nenek tua terpaksa harus dievakuasi dari kerumunan orang-orang karena mendadak pingsan. Ketika yang lain, konon katanya, di tempat ini pula seorang anak kecil terpisah dari orang tuanya. Dua hari kemudian, si anak baru ditemukan nyasar di kampung sebelah.


Di depan seorang penjual CD dan VCD yang penuh dikerumuni pengunjung, aku bawa anakku. Kuarahkan dia ke tempat di mana CD dan VCD anak-anak dipajang. Kubiarkan dia memilih-milih sendiri apa yang dia mau. Ia bolak-balik tumpukan CD atau pun VCD kartun. Dia ambil kemudian letakkan lagi. Hal itu, ia lakukan berulang kali. Tidak biasa anakku berbuat demikian. Aku jadi penasaran, apa yang dia cari kali ini?

"Tha, Atha benernya mau nyari CD apa sih?" Anakku diam saja, tangannya masih terus membolak-balik tumpukan CD di depannya.

"Bukannya, Atha mau cari CD Spongebob Squarepant, Doraemon dan juga Dora The Explorare."

"Iya, Yah...!" "Tapi..."

"Tapi apa?" tanyaku dengan sedikit mendesak.

"Gini, Yah...! Di TV kemarin, Atha denger ada berita tentang Ariel dan Luna. Itu kan penyanyi duet khan, Yah? Pasti itu lagunya bagus. Atha masih inget, gimana waktu itu dengan pasangan duet Annang Shyahrini. Mereka khan bisa punya lagu bagus. Itu Yah, judulnya "Jangan Memilih Aku," anakku terdiam sejenak, kemudian lanjutnya," Pasti pasangan duet yang kali ini, lagunya lebih bagus ya, Yah!'" anakku diam lagi, seperti menunggu persetujuan dariku.

"Dik, kalo yang itu, Abang tidak jual..!" Spontan Si Abang penjual CD memotong pembicaraanku dengan anakku.

"Ariel dan Luna belum punya album lagu duet." tegas Si Abang.

"Kalau lagu-lagunya Ariel dengan Peterpennya, Abang ada nih..! Adik mau?" seraya tangannya mengambil seikit CD dan menyodorkannya ke anakku.

"Ya.., Udah deh, gak papa!" jawab anakku dengan sedikit kecewa. Kemudian diambilnya tiga buah VCD kartun, lalu diberikannya uang sepuluh ribu di tangan ke pada Si Abang penjual tersebut. Kutuntun anakku berjalan menjauh meninggalkan keramaian di pasar malam, malam itu. Kubawa dia pulang.


Di sepanjang jalan pulang, aku dan anakku lebih banyak diam. Nampaknya dia begitu senang dengan tiga buah CD di tangan. Masih teringat jelas di benakku, apa yang dimaksud anakku di depan Abang tukang CD tadi. Aku tahu, yang dia dengar tentang Ariel - Luna dari berita TV tersebut tak lain adalah skandal yang menimpa Ariel dan Luna belakangan ini. Begitu santernya berita itu, sampai-sampai anakku yang belum cukup umur pun mengetahui hal itu. Ataukah ini buah dari keteledoranku sselama ini, yang terlalu memberikan kebebasan kepada anakku untuk menghabiskan waktunya di depan TV tanpa pendampinganku? Hatiku terasa perih dan pedih seperti tersayat-sayat, kupeluk anakku erat-erat. Tanpa terasa tetes air mata mulai menggenang di kedua pelupuk mataku.



***

Sunday, 2 October 2011


Malam merangkak menuju pagi. Suasana di desa Jambuasri masih teramat sunyi. Ayam jantan belum juga terdengar kokoknya. Udara malam di penghujung kemarau ini begitu dingin. Seperti jarum-jarum kecil dan tajam yang menusuk-nusuk kulit, ngilu dan linu sekali. Jalan-jalan kecil dengan diterangi lampu-lampu kecil yang redup masih terlihat lengang. Belum satu pun insan terbangun malam ini. Baru selepas subuh, biasanya beberapa orang terlihat mulai lalu di jalan itu. Mereka adalah penduduk kampung yang hendak pergi ke pasar desa di ujung jalan tepat di tepian desa. Di pasar itu para petani menjual hasil buminya. Di pasar itu pula para pengrajin menjual hasil kerajinannya.

Penduduk Jambuasri memang tergolong maju. Mereka yang sebagian besar petani itu rata-rata memiliki lahan persawahan sendiri. Dari sawah-sawah yang ada, selain mereka manfaatkan untuk bercocok padi, mereka juga manfaatkan untuk menanam umbi-umbian, sayur-sayuran dan aneka palawija lainnya. Sebagian lain warga yang tidak bertani memilih menekuni kerajinan anyaman bambu. Di desa itu masih banyak tumbuh pohon-pohon bambu sehingga untuk kebutuhan pokok menganyam mereka tidak perlu membelinya. Dari bambu-bambu itulah mereka menyulapnya menjadi bermacam-macam perabot dapur sampai perabotan rumah tangga. Belakangan, mereka membuat juga berbagai macam asesoris dari bambu. Hasil kerajinan mereka tidak hanya dikenal oleh masyarakat sekitar tetapi juga oleh masyarakat di luar propinsi. Bahkan melalui jasa seorang pengusaha muda di kota, asesoris-asesoris dengan bahan bambu di desa itu telah berhasil menembus pasar internasional. Sudah barang tentu kondisi perekonomian penduduk desa itu pun kian meningkat bersama berjalannya sang waktu.

Lain dengan kebanyakan warga desa itu. Lain pula dengan bapakku. Babapku memang tinggal di deasa itu, tapi tidak seperti warga-warga yang lain. Bapakku tergolong keturunan orang terpandang di desa itu. Konon katanya, kakek buyutku adalah seorang Lurah Desa, begitu juga dengan kakekku yang adalah ayah dari bapakku. Kakekku juga mewarisi kedudukan Kepala Desa dari kakek buyutku. Jabatan Lurah kala itu merupakan jabatan yang cukup terpandang di mata orang-orang desa tempat tinggalku. Lurah tidak mendapat gaji memang, tapi penghasilan dari sawah bengkok yang adalah sawah desa yang boleh digarap selama menjabat Lurah sudahlah cukup menopang kehidupan ekonomi kakekku kala itu. Setidaknya untuk menghidupi seorang istri dan seorang anaknya yang adalah bapakku itu, tentu sudah cukup malah bisa dibilang lebih. Mungkin berawal dari kondisi yang serba terpenuhi inilah bapakku menjadi seperti sekarang ini. Lebih-lebih setelah semua warisan harta dari kakekku lama-lama terkuras oleh kebiasaan bapakku yang kurang baik atau mungkin dipandang hina oleh kebanyakan warga sedesa itu.

Bapakku memang bukan bapak yang baik. Aku tak malu mengakui itu. Sejak kakekku masih hidup, bapakku punya kebiasaan buruk bermain judi dengan teman-temannya. Bermain perempuan pun dilakukan oleh bapakku. Tak terhitung lagi berapa banyak harta kakekku kala itu dihabiskan oleh bapakku untuk menuruti kesenangannya semata. Sepeninggal kakekku, perbuatan bapak makin menjadi. Satu demi satu tanah warisan kakek tergadaikan bahkan terjual habis untuk di meja judi. Sampai-sampai ibuku sendiri tak lagi kuasa melihat tabiat bapak. Lima tahun lalu pun ibuku pergi meninggalkan bapak bersama seorang laki-laki yang adalah duda di desaku itu. Aku tak menyalahkan sikap ibuku. Kupikir itu pilihan yang mungkin terbaik setidak-tidaknya menurut ibuku. Sejak lima tahun itu pula aku tinggal di rumah berdua dengan bapakku. Tinggal berdua di rumah yang besar tapi kosong melompong tanpa perabotan sama sekali. Satu-satunya rumah peninggalan kakek yang masih tersisa.
***
Udara pagi semakin menggigit kulit. Subuh mulai tiba. Sesuatu telah terjadi memecah sunyinya pagi. Bukan suara bedug dan adzan subuh yang terdengar. Dari ujung desa sayup-sayup terdengar bunyi kentongan. Kian lama suaranya kian bersautan dan semakin dekat di telingaku. Teriak dan hojatan warga dengan langkah kaki yang bergemuruh kian jelas di telingaku. Kian mendekat ke arah rumahku. Tepat di depan rumahku sejenak gemuruh suara terhenti oleh suara gedebug seperti sesosok tubuh yang roboh dan terhempas ke tanah. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Untuk melongok ke luar rumah pun tak ada nyali bagiku. Aku hanya terdiam dan menunggu apa yang sebenarnya sedang terjadi tepat di depan rumahku sendiri. "Mau ke mana lagi kamu Karyo?" teriak salah seorang warga. "Mampus kamu sekarang, Dasar Maling..! Habiskan saja...!" seru beberapa orang yang lain secara bersamaan. "Ya, habisi saja dia malam ini. Bikin mampus sekalian...!" teriak yang lainnya lagi secara bersamaan pula. Kali ini teriakan-teriakan menjadi seperti tak terkendalikan lagi. Jelas merupakan ungkapan emosi yang mencapai puncaknya. Bulu kudukku pun kian berdiri dan ngeri membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi. "Tenang..., Tenang..., kalian semua tenang. Kita tak boleh main hakim sendiri. Bagaimana pun bejatnya dia, kita tak bisa menghakiminya sendiri. Baiknya kita serahkan saja dia pada yang berwajib. Biar nanti hukum yang berbicara." Kudengar suara itu dengan jelas mencoba menenagkan warga yang mulai tersulut emosi. Aku tahu persis, itu adalah suara bapak RT di desaku. "Bagaimana..., kalian setuju....?"tegas Pak RT. "Baik, Pak...!"suara warga hampir secara bersamaan. Lalu mereka pun secara bersamaan menggelandang seseorang tersebut, mungkin untuk di bawa ke kantor polisi sesuai saran Pak RT.

Suasana sunyi kembali. Satu-satu warga pun pergi. Di dalam rumah aku seorang diri. Perlahan kulangkahkan kaki ke arah kamar tidur bapakku. Pelan-pelan kubuka pintu yang kebetulan tidak terkunci. Tak kulihat bapakku di dalam. Aku tak terkejut lagi. Kini aku yakin pasti. Seseorang yang di bawa ke kantor polisi tadi, tak lain adalah bapakku. Kututup kembali pintu kamar tidur bapak. Entah kapan pintu itu terbuka lagi untuk bapak. Dalam hati kuberharap, bila nanti bapak membuka pintu ini, bapak tidak lagi seperti bapaku di pagi ini.
---$$$---

Seekor tupai melompat-lompat dari dahan ke dahan pada rumpun bambu di pekarangan belakang rumah Karto. Dikibas-kibaskan ekornya, ditengak-tengokkan kepalanya, dijulur-julurkannya lidahnya. Dijuntai-juntaikan kakinya, dan dibelalak-belalakkannya matanya. Di depan rumpun bambu itu, tegak berdiri sebatang pohon kelapa tepat di tengah-tengah pekarangan. Daunnya melambai-lambai diterpa angin yang sepoi-sepoi bertiup sore itu. Dari sela-sela lebatnya daun yang merunduk ke bawah, tampak beberapa buah kelapa dengan kulitnya yang mulai keriput dan mengering. Buah kelapa yang sudah tua memang mengering kulitnya. Bagi si tupai bentuk buah seperti ini tak lagi menarik. Tak lagi membuat tupai tergiur. Tak akan tupai menyeringai memamerkan gigi-giginya yang runcing dan teramat tajam. Terlalu sayang gigi-giginya buat mengoyak buah itu. Kalau pun beberapa kelapa tua tampak bolong-bolong, pasti bolongnya selagi kelapa masih muda. Bukan baru saja, bukan ketika kelapa telah menjadi tua seperti itu. Buat tupai, kelapa-kelapa yang demikian tak berguna lagi. Maka dibiarkannya saja kelapa-kelapa itu terkulai jatuh ke tanah. Kelapa-kelapa yang sudah tua dan mengering itu kini menjadi jatah Karto si empunya pohon.


Sore itu di beranda rumah, di atas balai-balai bambu, Karto terlihat sedang bersantai. Sebuah piring dengan ukuran kecil ada di situ, beberapa potong ubi goreng dan bakwan goreng dengan beberapa cabe muda masih tersisa. Sebuah cangkir berisi kopi hitam tinggal setengahnya saja. Di tangan kanannya tampak sebatang rokok tingwe alias lintingan dewe dipelintir-pelintir, diputar-putar dimainkannya dengan jari-jemarinya yang tampak keriput. Sesekali dihisapnya perlahan, ditariknya nafas panjang, lewat rongga tenggorokan dibawanya ke dalam dada, dalam dan dalam. Ditahannya kemudian dilepasnya dengan perlahan. Dimonyong-monyongkannya mulutnya, dibuatnya lingkaran-lingkaran asap besar dan kecil keluar dari dalam mulutnya. Asap tebal melingkar-lingkar, membubung, melambung, mengudara tinggi dan semakin tinggi. Seperti menerbangkan segala letih lesu Pak Karto yang baru saja dibawanya pulang dari pasar siang tadi.Ubi goreng, bakwan goreng, dan kopi hitam itu dibelinya tadi siang di Pasar Semprong yang letaknya di ujung desa tak jauh dari rumah Karto. Ke pasar itulah setiap hari Karto selalu menjual kelapa hasil panennya. Duit hasil menjual kelapa itu kemudian dibelikan makanan kecil, kopi dan segenggam tembakau. Hanya itu yang dapat ia beli, tak bisa lebih.


Sebenarnya tidak tepat untuk menyebut duit itu sebagai hasil menjual panenan kelapa Pak Karto. Sebab kelapa yang dijualnya tidaklah banyak, hanya dua atau tiga butir saja, tak pernah lebih. Lagi pula, kelapa itu jatuh sendiri bukan dipetik. Sejak kaki kirinya yang sebatas lutut itu, sepuluh tahun yang lalu, tergadaikan dengan sebilah mata gergaji mesin ketika sedang memotong pohon kelapa di pekarangan tetangga sebelah rumah, memanjat pohon kelapa kemudian memetik buahnya tak lagi dapat dikerjakannya. Yang dapat ia lakukan hanyalah memungut satu-satu kelapa yang kebetulan jatuh, mengumpulkan, dan kemudian menjualnya ke pasar. Sejak sembilan tahun yang lalu, sejak istri dan anaknya dibawa kabur oleh duda kaya tetangga desanya, Pak Karto lakukan sendiri pekerjaan itu. Sejak saat itu, hidup,Karto bergantung pada kelapa-kelapa di pekarangannya. Buat Karto yang seorang diri itu, di usianya yang semakin senja, kelapa-kelapa adalah pengharapannya, sumber penghidupannya, yang selalu ditunggu-tunggu di setiap waktu. Isi tidaknya perut Karto tergantung pada kelapa-kelapa itu. Jika ada kelapa jatuh Karto bisa makan. Jika tidak, Karto terpaksa menahan lapar sampai kelapa itu jatuh, kemudian dipungut dan di jual ke pasar utuk ditukar dengan makanan. Pernah Karto menahan lapar satu minggu lantaran kelapa-kelapa itu tak kunjung jatuh.


Dibuangnya puntung rokok ditangan, diteguknya sisa kopi pahit yang tidak lagi panas itu. Diambilnya sebilah tongkat bambu yang tersandar di balai-balai itu dengan tangan kirinya, pada tangan kanan dibawanya piring yang sudah menjadi kosong. Dengan payahnya Karto bangkit berdiri, dengan tertatih ia berjalan pelan. Sebuah tikar kusam di balik dinding dalam rumah yang ia tuju. Tikar itu yang selalu setia menemani Karto melewatkan malam-malamnya. Di ambang pintu, langkah Karto terhenti. Dua kali suara berdentum menahan langkah kakinya. Dua buah kelapa jatuh hampir bersamaan di pekarangan. Suara itu tak asing lagi di telinga Karto. Suara itu adalah pengharapan Karto. Terpikir olehnya dua buah kelapa di pekarangannya telah jatuh. Terbayang olehnya, besok ia bakalan makan. Raut mukanya tampak begitu berseri-seri.


Kembali Karto melangkah. Langkah Karto kali ini tampak bergegas. Tidak ke dalam rumah, tetapi ke arah pekarangan tempat di mana pohon kelapa itu berada. Karto sepertinya tak sabar lagi. Ia ingin segera mencari dan memungut kelapa itu. Karto tak rela, kalau Iyem janda tua tetangganya lebih dulu mengambilnya. Di bawah pohon kelapa langkah Karto terhenti. Pandangan matanya menyapu ke arah kanan dan kiri seperti menyelidik. Seketika mata Karto tertuju pada sebuah kelapa yang setengahnya menancap ke tanah. Buru-buru Karto mendekat. Ia bungkukkan badannya, dipegangnya kelapa itu dengan kedua tangan, digoyang-goyangkan ke kiri kemudian ke kanan, hingga tercabutlah kelapa itu. Betapa kecewa hati Karto, begitu tahu kelapa itu bolong alias cumplung. Separuh harapannya hilang, lepas bersama jatuhnya sang cumplung dari tangannya. Kemudian mata Karto menyisir, mencari kelapa satunya lagi. Tinggal pada kelapa itu harapan Karto tersisa. Pada rumpun bambu yang tak jauh dari tempat ia berdiri, Karto melihat kelapa itu setengah terjepit di antara dua batang bambu. Belum juga mendekat, sebuah lobang sebesar genggaman tangan orang dewasa pada kelapa itu seperti hendak berkata, ”Aku cumplung juga.” Tangan Karto gemetar, tongkat penopang tubuhnya terlepas, Karto jatuh terduduk lemas. Hatinya kecut, pedih dan perih. Sirna sudah harapan beroleh makan esok pagi. Dua kelapa yang jatuh senja itu nyatanya semuanya cumplung.


Sementara di atas sana, seekor tupai melompat dari batang bambu ke arah pohon kelapa. Menari-nari pada beberapa butir kelapa, seperti memilih-milih, butir mana hendak dimakannya malam nanti. Di bawahnya Karto berjalan tertatih.


---&&&---