Hari ini adalah hari ketiga dari rangkaian kegiatan yang dilakukan selama tujuh hari. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dalam acara yang demikian aku tidak mempunyai banyak andil. Karena memang aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk terlibat di dalamnya. Itu tak jadi soal bagiku. Sebab pada dasarnya aku adalah orang yang paling tidak bisa menikmati acara-acara yang bersifat ceremonial dan terkesan berhura-hura. Aku tak bisa larut di dalam hingar-bingar acara yang begitu. Aku lebih memilih sibuk dengan diriku sendiri, dengan seabrek pekerjaan pribadiku yang memang masih menumpuk. Di ruang kerja yang kali ini tidak dipenuhi orang-orang aku asyik dengan sebuah komputer, membuka-buka situs wibe siteku.
Di tempat yang agak jauh dari posisi dudukku. Di sudut ruangan ini. Kulihat seorang teman yang juga sedang duduk sendiri di meja kerjanya. Ia tampak asyik dengan sebuah handphone di tangan. Jari-jemarinya nampak lincah menari-nari di atas huruf dan angka dan tanda baca pada panel handphone itu. Mungkin sedang bermain game atau chating aku tak tahu pasti. Sesekali kudengar dia berbicara dan tertawa juga tersenyum ringan. Pasti dia sedang terima telepon, pikirku. Sudah satu jam lebih dia duduk di situ. Itu berarti, sudah lebih satu jam juga aku diam-diam memperhatikannya. Seperti tak ada sedikitpun aktivitasnya yang luput dari perhatianku.
***
Aku mengenalnya dua belas tahun yang lalu. Ia telah lebih dulu bekerja di sini. Pertama kali melihatnya ia adalah wanita yang menurutku biasa-biasa saja. Penampilannya sederhana dan apa adanya. Wajahnya bulat dan lebar dengan sebuah kaca mata menutup kedua bola matanya. Bibirnya yang tipis dibiarkan apa adanya tanpa berlipstik. Wajahnya pun dibiarkan begitu saja tanpa dipoles bedak sedikit pun. Rambutnya pun dibiarkan alami. Panjang dan berombak condong ke ikal. Tapi itu penampilan dia yang dulu. Sekali lagi, itu penampilannya yang dulu, dua belas tahun yang lalu.
Sebuah setelan blazer berwarna hijau kebiruan ia kenakan pagi ini. Sebuah pilihan warna yang menurutku sangat serasi sekali dengan warna kulitnya yang kuning sawo matang. Begitu orang Jawa bilang. Dengan corak pakaian seperti itu, penampilannya terlihat begitu rapi dan perfec sekali. Seperti layaknya pegawai kantoran saja. Belakangan memang kulihat ia lebih sering mengenakan jenis pakaian demikian. Ketika lain kulihat dia mengenakan blazer dengan pilihan warna cokelat muda maupun cokelat tua. Menurutku corak-corak warna itu memang pas untuk dia pilih. Ditopang dengan ukuran yang pas melekat di badan, nyatanya setelan blazer itu benar-benar membuat penampilannya begitu sempurna. Wajar saja bila kemudian di lingkungan kerjaku terutama di kalangan anak-anak didikku menyebutnya sebagai sosok yang berpenampilan paling rapi. Itu sering tanpa sengaja aku dengar jadi perbincangan di kalangan anak didikku.
Selai rapi, ia juga dikenal pintar. Aku harus akui itu. Di lingkungan kerjaku ialah satu-satunya yang mendapat predikat the best teacher atau guru teladan. Sebuah predikat yang diberikan oleh lembaga di mana ia bekerja. Predikat yang hanya akan melekat pada orang-orang yang memang memiliki kemampuan intelektual yang lebih seperti dia tentunya. Entah sudah berapa jam aku duduk dan mencuri-curi memandangnya. Aku tak tahu lagi. Yang aku tahu hanyalah sosok di depan mataku itu memang benar-benar sosok yang sempurna. Aku harus akui itu. Nyatanya, di usianya yang kian berumur justru di mataku ia terlihat semakin cantik dan tampak kian muda. Suatu keadaan yang berbanding terbalik dengan bertambahnya usia bukan?
Siang merangkak perlahan. Matahari tak lagi terik. Perlahan deru pesta menghilang. Orang-orang satu-satu berjalan pulang. Kutersentak dari lamunan. Kumatikan PC di depanku yang sedari tadi kubiarkan saja menyala. Kuambil tas kerjaku dan kuberjalan pulang. Kini dia seorang diri di dalam ruangan. Di halaman kantor depan, kulihat sebuah mobil Kijang Inova biru seri terbaru. Di dalamnya laki-laki setengah usia. Wajahnya tampan dan perkasa. Dialah Rama kekasih hati Dewi Shinta bisikku dalam hati.
---&&&---
0 komentar:
Post a Comment