Sunday, 2 October 2011


Malam merangkak menuju pagi. Suasana di desa Jambuasri masih teramat sunyi. Ayam jantan belum juga terdengar kokoknya. Udara malam di penghujung kemarau ini begitu dingin. Seperti jarum-jarum kecil dan tajam yang menusuk-nusuk kulit, ngilu dan linu sekali. Jalan-jalan kecil dengan diterangi lampu-lampu kecil yang redup masih terlihat lengang. Belum satu pun insan terbangun malam ini. Baru selepas subuh, biasanya beberapa orang terlihat mulai lalu di jalan itu. Mereka adalah penduduk kampung yang hendak pergi ke pasar desa di ujung jalan tepat di tepian desa. Di pasar itu para petani menjual hasil buminya. Di pasar itu pula para pengrajin menjual hasil kerajinannya.

Penduduk Jambuasri memang tergolong maju. Mereka yang sebagian besar petani itu rata-rata memiliki lahan persawahan sendiri. Dari sawah-sawah yang ada, selain mereka manfaatkan untuk bercocok padi, mereka juga manfaatkan untuk menanam umbi-umbian, sayur-sayuran dan aneka palawija lainnya. Sebagian lain warga yang tidak bertani memilih menekuni kerajinan anyaman bambu. Di desa itu masih banyak tumbuh pohon-pohon bambu sehingga untuk kebutuhan pokok menganyam mereka tidak perlu membelinya. Dari bambu-bambu itulah mereka menyulapnya menjadi bermacam-macam perabot dapur sampai perabotan rumah tangga. Belakangan, mereka membuat juga berbagai macam asesoris dari bambu. Hasil kerajinan mereka tidak hanya dikenal oleh masyarakat sekitar tetapi juga oleh masyarakat di luar propinsi. Bahkan melalui jasa seorang pengusaha muda di kota, asesoris-asesoris dengan bahan bambu di desa itu telah berhasil menembus pasar internasional. Sudah barang tentu kondisi perekonomian penduduk desa itu pun kian meningkat bersama berjalannya sang waktu.

Lain dengan kebanyakan warga desa itu. Lain pula dengan bapakku. Babapku memang tinggal di deasa itu, tapi tidak seperti warga-warga yang lain. Bapakku tergolong keturunan orang terpandang di desa itu. Konon katanya, kakek buyutku adalah seorang Lurah Desa, begitu juga dengan kakekku yang adalah ayah dari bapakku. Kakekku juga mewarisi kedudukan Kepala Desa dari kakek buyutku. Jabatan Lurah kala itu merupakan jabatan yang cukup terpandang di mata orang-orang desa tempat tinggalku. Lurah tidak mendapat gaji memang, tapi penghasilan dari sawah bengkok yang adalah sawah desa yang boleh digarap selama menjabat Lurah sudahlah cukup menopang kehidupan ekonomi kakekku kala itu. Setidaknya untuk menghidupi seorang istri dan seorang anaknya yang adalah bapakku itu, tentu sudah cukup malah bisa dibilang lebih. Mungkin berawal dari kondisi yang serba terpenuhi inilah bapakku menjadi seperti sekarang ini. Lebih-lebih setelah semua warisan harta dari kakekku lama-lama terkuras oleh kebiasaan bapakku yang kurang baik atau mungkin dipandang hina oleh kebanyakan warga sedesa itu.

Bapakku memang bukan bapak yang baik. Aku tak malu mengakui itu. Sejak kakekku masih hidup, bapakku punya kebiasaan buruk bermain judi dengan teman-temannya. Bermain perempuan pun dilakukan oleh bapakku. Tak terhitung lagi berapa banyak harta kakekku kala itu dihabiskan oleh bapakku untuk menuruti kesenangannya semata. Sepeninggal kakekku, perbuatan bapak makin menjadi. Satu demi satu tanah warisan kakek tergadaikan bahkan terjual habis untuk di meja judi. Sampai-sampai ibuku sendiri tak lagi kuasa melihat tabiat bapak. Lima tahun lalu pun ibuku pergi meninggalkan bapak bersama seorang laki-laki yang adalah duda di desaku itu. Aku tak menyalahkan sikap ibuku. Kupikir itu pilihan yang mungkin terbaik setidak-tidaknya menurut ibuku. Sejak lima tahun itu pula aku tinggal di rumah berdua dengan bapakku. Tinggal berdua di rumah yang besar tapi kosong melompong tanpa perabotan sama sekali. Satu-satunya rumah peninggalan kakek yang masih tersisa.
***
Udara pagi semakin menggigit kulit. Subuh mulai tiba. Sesuatu telah terjadi memecah sunyinya pagi. Bukan suara bedug dan adzan subuh yang terdengar. Dari ujung desa sayup-sayup terdengar bunyi kentongan. Kian lama suaranya kian bersautan dan semakin dekat di telingaku. Teriak dan hojatan warga dengan langkah kaki yang bergemuruh kian jelas di telingaku. Kian mendekat ke arah rumahku. Tepat di depan rumahku sejenak gemuruh suara terhenti oleh suara gedebug seperti sesosok tubuh yang roboh dan terhempas ke tanah. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Untuk melongok ke luar rumah pun tak ada nyali bagiku. Aku hanya terdiam dan menunggu apa yang sebenarnya sedang terjadi tepat di depan rumahku sendiri. "Mau ke mana lagi kamu Karyo?" teriak salah seorang warga. "Mampus kamu sekarang, Dasar Maling..! Habiskan saja...!" seru beberapa orang yang lain secara bersamaan. "Ya, habisi saja dia malam ini. Bikin mampus sekalian...!" teriak yang lainnya lagi secara bersamaan pula. Kali ini teriakan-teriakan menjadi seperti tak terkendalikan lagi. Jelas merupakan ungkapan emosi yang mencapai puncaknya. Bulu kudukku pun kian berdiri dan ngeri membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi. "Tenang..., Tenang..., kalian semua tenang. Kita tak boleh main hakim sendiri. Bagaimana pun bejatnya dia, kita tak bisa menghakiminya sendiri. Baiknya kita serahkan saja dia pada yang berwajib. Biar nanti hukum yang berbicara." Kudengar suara itu dengan jelas mencoba menenagkan warga yang mulai tersulut emosi. Aku tahu persis, itu adalah suara bapak RT di desaku. "Bagaimana..., kalian setuju....?"tegas Pak RT. "Baik, Pak...!"suara warga hampir secara bersamaan. Lalu mereka pun secara bersamaan menggelandang seseorang tersebut, mungkin untuk di bawa ke kantor polisi sesuai saran Pak RT.

Suasana sunyi kembali. Satu-satu warga pun pergi. Di dalam rumah aku seorang diri. Perlahan kulangkahkan kaki ke arah kamar tidur bapakku. Pelan-pelan kubuka pintu yang kebetulan tidak terkunci. Tak kulihat bapakku di dalam. Aku tak terkejut lagi. Kini aku yakin pasti. Seseorang yang di bawa ke kantor polisi tadi, tak lain adalah bapakku. Kututup kembali pintu kamar tidur bapak. Entah kapan pintu itu terbuka lagi untuk bapak. Dalam hati kuberharap, bila nanti bapak membuka pintu ini, bapak tidak lagi seperti bapaku di pagi ini.
---$$$---

0 komentar:

Post a Comment