Friday, 2 September 2011


Rona merah merekah di ufuk barat. Hari mulai senja. Matahari tak lagi menampakkan keperkasaannya. Sinarnya mulai redup, tak lagi menyengat kulit. Mentari menuju peraduan siap berganti berjaga dengan bintang dan bulan yang empunya malam. Seekor burung merpati terbang melayang kembali pulang menuju kandang. Burung-burung malam pun siap terbang mencari mangsa.

Taksi yang tadi menjemput aku dan keluargaku kini melintas jalan Godean menuju arah kota. Berjejal berebut jalan dengan angkot dan becak-becak tua. Belum berjubelnya kendaraan-kendaraan pribadi. Meski satu arah, namun dengan kondisi sekarang ini, dengan semakin membaiknya tingkat kesejahteraan masyarakat kota Yogya, seiring dengan tingkat perekonomian yang baik, tak pelak lagi jalan pun terkena imbasnya. Semakin hari terasa kian tak sanggup menampung bertambahnya mobil-mobil pribadi. Akibatnya, kemacetan terjadi di mana-mana. Dan bila hari Sabtu malam Minggu seperti ini, tentu saja kemacetan makin menjadi-jadi. Jarak rumah sampai Stasiun Tugu sesungguhnya tidaklah jauh. Mungkin hanya memakan waktu 20-an menit. Bahkan jika jalanan lancar malah bisa jadi kurang. Tapi kali ini ,dengan jarak yang sama nyatanya diperlukan waktu hampir 1 jam. Beruntung perihal macet sudah kami perhitungkan terlebih dulu, sehingga hal ini tidaklah menjadi masalah yang berarti.

Baru saja taksi yang membawaku tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta, terdengar sirine berbunyi ning..., nang...neng..., nong.., nong..., ning..., neng..., nang. Kemudian disusul suara operator beberapa kali, "Perhatian-perhatian, Kereta Utama Senja tujuan Pasar Senin siap di berangkatkan. Penumpang yang masih berada di bawah harap segera naik. Dan bagi pengantar yang masih di atas kereta mohon segera turun." Kami segera turun dari taksi, berlari melewati pintu peron. Kami tunjukkan tiket yang semula sudah kami pesan. Petugas pun menunjuk kereta di jalur 4. Segera saja kami ke kereta yang dimaksud. Di atas kereta telah banyak penumpang. Sepintas tempat duduk sudah rata penumpang. Beruntung aku sudah pesan tiket jauh-jauh hari, sehingga masih kebagian tempat duduk. Papa dan Mama di kursi nomor 12 A & 12 B, sementara aku di kursi 13 A di gerbong 2. Kali ini diberangkatkan 9 gerbong. Sepintas kereta terlihat penuh penumpang, terlihat banyakknya penumpang non kursi. Berjubel memadati lorong kereta bahkan sampai ke sambungan kereta. Sebuah pemandangan yang sudah umum di kereta kelas bisnis, terlebih-lebih malam Minggu seperti ini.

Peluit panjang dibunyikan. Pemandu jalan menyorotkan lampu senter berwarna hijau ke arah lokomotif. Pertanda sinyal aman dan kereta siap diberangkatkan. Perlahan kereta mulai bergerak. Terdengar gemeretak roda-roda kereta beradu dengan bentangan besi panjang. Kian lama kian terdengar jelas seiring bertambahnya laju kereta. Dalam hati kuberbisik,"Selamat tinggal kotaku Yogyakarta. Kenangan padamu takkan pernah aku lupakan."

Kursi di sebelahku masih kosong, tapi bukan berarti tak ada pemesan. Bisa saja kursi ini baru akan terisi setelah di stasiun pemberhentian Wates, atau stasiun berikutnya. Maka wajar saja, tak seorang pun yang mendudukinya. Mereka yang tak dapat tempat duduk lebih memilih memanfaatkan sela-sela tempat duduk dengan menggelar koran, tikar, atau apa saja yang dapat dipakai sebagai alas. Ya, alas untuk duduk awalnya. Namun seiring perjalanan malam, alas ini juga nantinya akan dipakai untuk tidur. Maklum, satu gerbong kereta yang berkapasitas 60 penumpang kini penuh dijejali 90-an penumpang. Separuh lebihnya. Udara yang berhembus dari celah-celah jendela di sisi kiri dan kanan gerbong mulai terasa. Menebar berbagai aroma. Dari aroma keringat sampai aneka parfum berbagai merk bercampur jadi satu di sini menjadi bau yang khas. Khas bau kereta kelas bisnis. Sesekali angin yang bertiup dari arah depan sambungan rel mengirimkan aroma yang tak sedap. Tak asing lagi, pasti dari kamar di pojok depan itu. Sebuah kamar kecil yang disediakan untuk keperluan darurat buang air kecil yang jarang tercukupi kebutuhan air bersihnya sehingga kebersihannya pun pasti diragukan. Dan bila angin sedikit bertiup saja pastilah aromanya akan menyebar ke penjuru gerbong menusuk-nusuk hidung.

Malam kian larut, mataku terasa berat. Kebetulan kursi di sebelah masih kosong jadi aku dapat sedikit leluasa merebahkan diriku di sana. Tak lagi kuhiraukan kebisingan kereta, lalu lalang pedagang asong, dan gemeretak roda-roda besi. Bau yang datang dari ujung gerbong itu tak lagi sanggup menahan rasa kantukku. Kuambil sebuah majalah yang dari semula aku biarkan tergeletak di lantai gerbong. Sekilas kubaca lembar demi lembar. Lembar-lembar itu semakin tak nyata di depanku, menjadi samar-samar dan buram. Entah, sudah berapa lembar aku tak tahu lagi. Kemudian lembaran itu pun menjadi hitam dan kelam.
***

"Maaf, bisa saya duduk di sini?" Samar-samar terdengar suara ini di telingaku. Pelan dan lembut kedengarannya, tapi cukup membuatku terbangun. Kukucek-kucek mataku, perlahan kubuka kedua mataku. Tampak olehku seorang wanita muda berdiri tepat di depanku. Dipegannya selembar tiket di tangan kiri, ditentengnya sebuah koper pakaian di tangan kanan. Dibuatnya bibirnya tersenyum dan ditataplah aku. tubuhnya tinggi semampai. Tidak gemuk tapi tak juga kurus. Tak Tinggi tapi tidak juga pendek. Postur tubuh yang tergolong standar untuk ukuran wanita Indonesia. Rambutnya yang panjang, hitam dan ikal, dibiarkannya terjuntai sampai ke bagian dada. Tatanan rambut ala miabi nampak serasi dengan raut mukanya yang oval, yang bulat telur begitu orang-orang sering menyebutnya. Kata orang, bentuk muka yang demikian memang cocok dengan segala model tatanan rambut. Dari sela-sela bibir tipisnya yang tersenyum begitu manis, kudapat melihat sederet gigi yang putih bersih dengan susunannya yang begitu teratur, rapat dan rapi seperti dibariskan. Hidungnya yang mancung, matanya yang jernih, alis matanya yang tipis, jelas kulihat meski hanya dengan lampu kereta yang 10 watt sekalipun. Sebuah tahi lalat di pipi sisi kiri tepat di atas lesung pipinya tampak serasi berpadu dengan kulit sawo matangnya. Kulit sawo matang adalah istilah orang Jawa untuk menyebut warna kulit yang kuning kecoklatan. Mungkin karena warna itu sama dengan warna buah sawo ketika sudah matang, maka disebutlah kulit kuning sawo matang. Pendek kata, mungkin ini kali pertama aku melihat mahkluk Tuhan, sesosok mahkluk Hawa yang terlahir sempurna. Atau, apakah karena mataku belum benar-benar melek? Aku sempat ragu, kuusap-usap kedua telapak tanganku sampai terasa hangat dan kulekatkan di kedua mataku. Kali ini terasa lebih terang, mataku menjadi lebih jelas. Dan, astaga...! Benar, tak salah lagi aku, sosok ini memang benar-benar sempurna.

"Dik, maaf ya, bisa saya duduk di sini!" kembali suara itu terdengar. Dan entah sudah yang keberapa kali, aku tak tahu pasti. Yang jelas, kali ini suara itu terasa begitu jelas dan sugestif sekali. Tampak begitu kuat dan bertenaga, seolah mampu membuatku bangkit berdiri. Nyatalah memang, kini aku telah berdiri. "Silakan Mbak, silakan!" jawabku. Tampak ia tersenyum, dicoba angkatnya koper itu, sepertinya berat. Tanganku bergerak cepat, kuambil alih koper darinya, kuangkat, kutaruh di bagasi tepat di atas kursi duduk, dan kupersilakan duduk. Dia pun tersenyum seraya berterima kasih barang kali.
"Dik, kira-kira sampai di Jakarta nanti jam berapa ya?"
"Eh, jam berapa ya. Aduh, maaf ya Mbak, saya tidak tahu. Saya baru pertama kali ini naik kereta," jawabku polos.
"Oh, begutu. Ya sudah."Hanya itu percakan yang terjadi antara aku dan dia. Kulihat dia mulai menyandarkan tubuhnya di kursi. Sebentar kemudian tertidur. Kini aku tak lagi sendiri di kursi ini. Di sebelahku ada orang lain. Orang yang belum aku kenal dan mungkin juga tak akan mengenalnya. Yang aku tahu, wanita ini benar-benar cantik. Semilir angin lewat celah-celah jendela kereta, membawa hawa dingin yang kian menusuk kulit. Melihat keluar lewat celah-celah jendela yang ada hanya kegelapan malam. Sesekali cahaya lampu di kejauhan terlihat kecil bahkan kecil sekali, seperti sebuah lentera yang hampir padam.

Tepat pukul 02.00 kereta sampai di Stasiun Cirebon. Berhenti sebentar dan berjalan lagi. Konon katanya, selepas Stasiun ini perjalanan akan menjadi lancar, kereta tak lagi banyak berhenti. Tak lagi ada penumpang naik. Tak ada lagi mondar-mandir pedagang asongan. Kereta terus berjalan menembus gelapnya malam. Lajunya cepat dan semakin cepat. Lajunya menerbangkan asaku untuk mengenalnya sebelum sampai di stasiun tujuan.

---&&&---

0 komentar:

Post a Comment