Thursday, 22 September 2011

Papa dan Mama pun beranjak meninggalkan beranda rumah. Kamar tidur yang mereka tuju. Mungkin berniat istirahat setelah hampir setengah malam ini kami lewatkan bersama.  Lain halnya dengan diriku, aku masih bertahan di beranda ini. Kini aku hanya seorang diri ditemani beberapa makanan kecil yang tinggal sedikit di piring di atas balai-balai bambu.  Lumayan masih tersisa sedikit kopi hitam di cangkir meski tak hangat lagi. Tapi lumayan bisa untuk mengganjal mata ini. Setidaknya mengusir rasa kantuk yang perlahan-lahan mulai menyerangku. Tiba-tiba saja perasaan sayang menyelimuti batinku jika aku melewatkan malam ini begitu saja. Entah mengapa, mendadak ada perasaan berat bergelayut di batinku. Mungkin saja karena aku rasa ini adalah malam terakhirku di rumah ini. Sebab bisa saja esok pagi Papa benar-benar membawaku ke Jakarta.

Bulan di atas sana yang semula tampak begitu terang dalam wajahnya yang bulat penuh tiba-tiba menjadi temaram. Bentuknya tak bulat lagi dan tinggal sebagian. Perlahan awan tipis menebal, menghitam menutup sang rembulan. Sinar rembulan pun tak lagi terang. Berjuta bintang yang semula tampak bertebaran di angkasa pun mulai menghilang. Hanya tinggal beberapa bintang yang masih berkelip begitu kecil dan jauh di atas sana. Kerlipnya pun kemudian memudar lalu hilang satu demi satu. Sesekali melintas berkelebat benda hitam terbang di atas rumahku sembari mengeluarkan suara berdecit-decit. Dialah beberapa kelelawar yang sedang mencari makan. Terbang dari satu dahan ke dahan lain di kebun belakang rumahku. Di kebun itu memang  banyak ditumbuhi pohon jambu yang kebetulan juga sedang berbuah lebat. Buah jambu memang menjadi salah satu kesukaan kelelawar. Maka tak heran lagi jika esok pagi Mbok Iyem pasti menggerutu bahkan mungkin mengomel sendiri sambil terus menyapu di kebun belakang rumah. Bahkan bisa  jadi kakinya sesekali iseng menginjak-injak buah jambu yang tiba-tiba jatuh dari pohon di saat Mbok Iyem sedang menyapu di bawahnya. Jika sudah demikian pastilah Mbok Iyem sedang kesal melihat banyaknya buah-buah jambu yang malam ini terjatuh oleh si ulah kelelawar-kelelawar liar itu.

Semilir angin malam kian berhembus. Perlahan-lahan seperti membelai-belai kulit. Dingin seperti menjalar di sekujur tubuhku.  Sesekali terasa seperti  jarum-jarum kecil  yang tajam yang menusuk-nusuk sampai ke relung-relung dada. Tak terasa hembusan angin malam ini perlahan meyita sebagian kesadaranku dan membawaku ke suatu waktu. Sebuah waktu yang berisi sepenggal kisah perjalanan hidupku bersama  Riri satu-satunya sahabat terbaikku yang mungkin mulai esok pagi aku tak dapat setiap waktu bersamanya lagi.

Ya, dia Riri namanya. Satu-satunya sahabat baikku dari antara sekian banyak teman-teman sekolahku. Kebetulan aku dan Riri bertemu di saat pekan orientasi siswa baru. Yaitu suatu kegiatan yang memang biasa dilakukan oleh setiap sekolah sebagai kegiatan pembuka tahun ajaran baru. Terutama untuk murid-murid baru yang akan duduk di kelas 7 atau kelas satu SMP kala itu. Saat itu aku duduk di kelas 2 dan aku menjadi salah satu panitia dalam acara MOS tersebut. Maka selama tiga hari pelaksanaan MOS aku harus bersama dengan murid-murid barui itu. Baik sekedar sebagai pendamping atau juga pengisi acara.

Pagi itu hari kedua pelaksanaan MOS, di hari kedua ini setiap peserta diwajibkan membawa 5 helai kertas folio bergaris yang masih kosong. Tugas yang sangat mudah bukan. Tampak mudah memang. Barangkali karena tugas yang dianggapnya enteng itulah justru ada beberapa murid yang membawa kertas tidak sesuai dengan yang diminta. Ada yang membawa dengan jumlah kurang dari 5 helai, ada juga yang malah membawa lebih dari 5 helai. Ada juga yang membawa kertas yang sudah tidak kosong lagi alias sudah digunakan untuk menulis. Bahkan malah ada yang sama sekali tidak membawa alias lupa.  Mereka yang membawa tidak sesuai dengan yang diminta pasti akan ketahuan. Sebab pagi-pagi benar, sebelum kegiatan hari itu dimulai semua murid harus terlebih dulu menyerahkan kelima lembar folio tersebut untuk kemudian aku paraf.  Begitu aku paraf mereka harus menyimpan kertas itu baik-baik sambil menunggu perintah selanjutnya tentang peruntukan kertas-kertas tersebut.

Tiba-tiba di antara deretan panjang murid-murid yang mengantri seperti mengular ke belakang menunggu giliran kertas folio tersebut kuparaf, mataku tertuju pada sesosok yang mengantri  di urutan kelima dari depan. Tubuhnya tinggi dan ramping sekali. Dengan rambut panjangnya yang dikepang dua. Sungguh penampilan yang begitu sederhana pikirku. Diam-diam kumulai memperhatikannya. Terlihat olehku sedari tadi murid itu selalu saja menunduk. Belum sekalipun aku menatap wajahnya. Aku berfikir, seperti ada yang tak beres dengan murid yang satu itu.

Kini murid itu tepat berdiri di depanku, wajahnya tetap saja mununduk. Tak sekalipun dia berani menatapku. Kulihat kakinya gemetar seperti ketakutan. Mungkin dia lupa bawa kertas itu. Ya, sudah jelas. Pasti dia tidak membawa, sebab tak kulihat ada kertas itu di tangannya kali ini. Melihat dia diam seperti itu, aku pun memilih diam. Sengaja aku tak menegurnya terlebih dulu. Biar saja, biar dia yang bicara dulu. Kutunggu saja, mau bilang apa dia akan kelalaiannya itu.  Nyatanya setelah beberapa saat dalam diam, dia pun memberanikan buka suara.
“Maaf Kak. Aku tak sengaja. Aku lupa.” Dia mulai berbicara lirih dengan bibirnya yang gemetar.
“Tak sengaja…!” kataku seolah tak mempercayainya.
“Betul, Kak. Aku tak sengaja.” Jawabnya dengan nada suara yang semakin bergetar seolah mencoba meyakinkanku.
“Terus, apa bedanya antara sengaja dan tidak sengaja. Apakah jika hal itu tidak kamu sengaja, lantas kamu akan terbebas dari hukuman itu?”
“Harapan saya begitu Kak.” Sambil dia menatapku seperti memohon.
Inilah kali pertama aku melihat wajahnya. Wajahnya biasa-biasa saja pikirku. Hanya kulit mukanya yang terlihat putih bersih itu saja barangkali yang membedakannya dengan teman-teman lainnya. Sejenak kutatap wajahnya. Kemudian dia pun tersenyum kecil. Tampak senyumnya tertahan di sudut-sudut bibir tipisnya. Ah, sungguh sebuah senyum yang manis sekali, bisikku dalam hati.
“Jadi gimana Kak?” kembali dia bertanya, seperti tak sabar lagi meminta kepastian. Aku sedikit terperanjat. Tak sadar aku larut terbawa oleh senyum manisnya itu.
“Gak bisa..!” jawabku dengan spontan.
“Gak bisa apanya?”
Kali ini dia bertanya dengan sedikit renyah, seperti terlepas dari beban rasa takut yang sedari tadi menghantuinya.  Malah dia kini tersenyum begitu lepas. Terlihat deretan gigi-gigi putih bersihnya yang berderet rapi sekali di sela-sela kedua bibirnya yang begitu mungil. Uh, manis sekali bisikku dalam hati.
“Bagaimanapun kamu telah salah, melalaikan tugas. Jadi kamu haruis tetap dihukum,” jawabku seperti berdeplomasi saja.
“Kamu tahu, hukuman apa yang harus kamu jalani?”
“Tahu, Kak,” jawabnya lirih.
“Bagus itu, saya tak perlu jelaskan lagi.”
Aku memang tak perlu menjelaskan lagi atas hukuman yang harus dia jalani. Sebab kemarin hukuman itu telah disampaikan oleh pendamping MOS sebelum kegiatan MOS di hari pertama berakhir. Kemudian dia pun kusuruh berdiri di samping kiriku menunggu aku menyelesaikan memeriksa semua kertas folio yang dibawa oleh murid-murid yang lainnya. Setelah semua selesai aku periksa, ternyata dari sekian murid hanya dia saja yang lalai.
“Nah, sekarang saatnya kamu menjalani hukuman. Sudah siapkah kamu.”
“Siap Kak…!”
“Ya sudah, tunggu apa lagi. Lakukan segera…!”
Kemudian dia pun beranjak hendak menuju halaman sekolah yang cukup luas. Sebab hukuman yang harus dijalaninya adalah lari keliling lapangan sepak bola sebanyak lima kali putaran. Sebuah hukuman yang cukup menguras energi untuk anak-anak seusia kami barang kali. Belum juga dia berjalan menjauh dariku, aku kembali memanggilnya. Tiba-tiba saja aku ingin mengenal siapa namanya.
“Tunggu dulu…!” kataku dengan sedikit teriakan kecil. Dia pun berhenti, kemudian berpaling dan kembali menuju ke arah kuberdiri.
“Siapa namamu?” tanyaku tanpa berbasa-basi lagi.
“Emang Kakak gak baca?” jawabnya sambil menunjuk ID Card yang tergantung di lehernya.
Pada ID Card itu memang tertulis jelas namanya Riri, yang sebenarnya juga sejak dari tadi aku sudah membacanya.
“Bukan itu maksudku?” jawabku kali ini dengan nada pelan.
“Trus apa mau Kakak?” dia balik bertanya.
“Maksudku, siapa nama lengkapmu? Aku mau tahu itu.”
“Emang perlu, Kak..!”
“Perlu. Aku perlukan itu, supaya namamu bisa aku catat di daftar murid yang melanggar.” Jawabku dengan asal saja. Sekedar berkilah pikirku.
“Namaku Riri, Kak…! Begitu teman-teman SD memanggilku. Nama lengkapku Endah Lestari. Jadi panggilan Riri diambil dari suku terakhir nama lengkapku. Jika Kakak mau, panggil saja aku Riri. Aku lebih suka dipanggil Riri.”
“Begitukah?” penggalku seolah mengiyakan.
“Ya sudah, sekarang laksanakan hukumanmu!”perintahku.
“Lho, kok gitu?”
“Maksudmu apa?”
“Nama kakak siapa?” Dia balik menanyakan namaku.
Kuulurkan tanganku, dia pun menyambutnya. Kujabat erat tangannya sambil kusebutkan namaku.
“Namaku Calvin Saputra, itu nama lengkapku. Teman-teman pun memanggilku Calvin. Dan aku suka dipanggil begitu. Jadi, kalau kamu mau, panggil saja aku Calvin!”
Seolah aku menirukan apa yang dia ungkapkan kepadaku tentang namanya.
“Jadi nama Calvin itu asalnya dari satu kata nama depanku.”
Aku memberikan penjelasan asal nama panggilanku sebagaimana dia menjelaskan asal nama panggilannya juga. Begitulah beberapa saat mataku dan matanya saling beradu pandang. Kemudian aku dan dia pun terdiam. Hanya senyum di antara aku dan dia yang tiba-tiba mengakhiri jabat tangan itu. Inilah kali pertama aku mengenal Riri murid baru di kelas 7 kala itu.
“Nah, sekarang lakukan hukumanmu!”
“Baik, Kak.” Jawabnya seranya melangkah menuju ke halaman utama sekolah. Di halaman tersebut Riri berlari berkeliling lapangan. Sengaja aku tidak mengawasinya, sebab di lapangan sudah bersedia beberapa teman panitia yang lain.
Kini aku mengawasi murid-murid yang lain yang kebetulan sedang mendengarkan ceramah tentang organisasi kesiswaan yang dibawakan oleh Pembina Osis.
Sudah dua jam  berlalu,  Riri tak juga bergabung dengan murid-murid yang lain. Aku jadi bertanya-tanya ada apa dengan Riri. Aku menjadi penasaran. Aku mencari tahu dari Budi teman sesama panitia yang kebetulan tadi berjaga di halaman sekolah. Tempat di mana Riri menjalani hukuman. Dari Budi inilah aku tahu bahwa Riri sekarang sedang beristirahat di ruang UKS. Rupanya Riri tak tahan menjalani hukuman lari keliling lapangan sebanyak 5 kali. Baru dua kali putaran Riri jatuh pingsan. Beberapa teman panitia membawanya ke UKS dan menyuruhnya beristirahat di sana sampai pulang nanti.

Mendengar berita itu, ada perasaan bersalah dalam diriku. Barangkali akulah penyebab semuanya. Mungkin jika hukuman yang aku berikan tidak seberat itu, pasti Riri tidak akan pingsan hari ini. Aku menyesal. Diam-diam muncul keinginanku untuk meminta maaf kepadanya. Entah mengapa, tiba-tiba saja waktu berjalan begitu lambatnya. Tak sabar ingin aku menemui Riri di saat waktu pulang sekolah nanti. Untuk sekedar minta maaf kepadanya tentu saja.

Waktu tepat menunjuk pukul 12 siang. Kegiatan MOS hari kedua pun berakhir. Murid-murid yang semula mengikuti berbagai kegiatan di hari ini pun telah kembali berkumpul di aula sekolah. Mereka akan segera mengakhiri kegiatan MOS di hari kedua yang juga hari terakhir. Sebelum kegiatan ditutup, seorang teman memberitahukan tentang tugas terakhir yang harus dikerjakan oleh murid-murid tersebut atas kelima kertas folio bergaris yang dibawanya. Di kertas folio itulah murid-murid baru diminta menuliskan kesan dan pesan untuk kakak-kakak kelasnya yang kebetulan menjadi pendamping MOS. Di kelima kertas itulah mereka diminta memberikan kesan kepada semua kakak pendampingnya. Masing-masing pendamping ditulis di kertas tersendiri. Itu harus dikerjakan di rumah dan dikumpulkan hari berikutnya dengan dimasukkan ke dalam kotak saran yang memang sudah disediakan. Setelah penjelasan selesai, seorang pendamping yang lain mengajak murid-murid menutup serangkaian acara dengan doa syukur bersama. Maka berakhirlah serangkaian kegiatan MOS tahun ini dan murid-murid pun bergegas pulang ke rumah masing-masing untuk menyiapkan diri mengikuti pelajaran hari pertama di bangku SMP esok pagi.

Segera saja aku bergegas ke ruang UKS. Kebetulan pintu tidak tertutup. Dari luar ruangan kulihat Riri sedang duduk di atas tempat tidur ditemani Vero. Vero adalah teman satu kelasku yang tahun ini juga menjadi pendamping MOS. Aku pun segera masuk ruangan. Kebetulan di sebelah Vero ada satu bangku kosong dan duduklah aku tepat di sebelah Vero dan di depan Riri.
“Ri, bagaimana keadaanmu?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Baik, Kak..sudah mendingan.”
“Ri, maaf kan aku ya, tidak seharusnya aku memperlakukan kamu dengan hukuman itu. Aku sama sekali tidak berfikir jika akan terjadi seperti ini terhadap dirimu.”ucapku dengan nada datar seraya memohon.
“Ah, gak papa kak. Kakak gak bersalah kok..! Riri tahu, kaka sekedar menjalankan tugas saja. Malah, sebenarnya Ririlah yang harus minta maaf, sebab Riri tak dapat menjalani hukuman itu. Mau kan kakak memaafkan Riri…!” Riri pun terdiam sejenak seperti mengharap pengiyaan dariku.
“Sudahlah Ri, aku pikir tidak ada masalah lagi. Tak ada yang dipersalahkan lagi. Aku telah memaafkanmu. Semuanya telah berakhir bersama berakhirnya kegiatan MOS kali ini. Jadi aku harap Riri juga mau memaafkan aku.”
“Iya Kak, Riri telah juga memaafkan Kakak.”
Kujabat erat tangan Riri, kedua mata kami pun saling menatap. Dan kami pun tersenyum.
“Baiklah Ri, makasih ya. Mulai sekarang jangan panggil aku kakak. Panggil saja aku Calvin, sebagaimana teman-teman yang lain memanggilku.”
“Iya, Kak…!
“lho.., masih juga Kak…!”
“Eh, maaf.., iya Calvin…!” jawabnya dengan sedikit terbata-bata.
“Nah, begitu kan rasanya lebih bersahabat.”
“Riri belum mau pulang?”
“Sudah Vin.”
“Ngomong-ngomong ke mana Riri pulang?”
Riri pun menjawab dan menyebut nama sebuah kampung. Aku kenal betul kampung itu. Kebetulan letaknya searah dengan perjalananku. Maka kutawarkan diri untuk menemani Riri pulang. Betapa senangnya aku, Riri pun tak keberatan untuk kutemani pulang.
Maka sejak saat itu pun aku dan Riri sering pergi dan pulang sekolah bersamaan dengan sepeda onthel masing-masing. Sesekali bila Riri sedang tidak enak badan Riri pun memilih membonceng ketimbang harus bersepeda sendiri. Hubungan pertemanan kami pun kian hari kian bertambah akrab. Tak jarang di sela-sela istirahat kami sering bertemu di perpustakaan untuk membaca-baca buku. Tak jarang juga kami saling membantu dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah yang mungkin bisa dikerjakan bersama.  Pokoknya selama di lingkungan sekolah, kami lebih sering menghabiskan waktu berdua saja dari pada bersama dengan teman-teman kebanyakan. Kedekatan kami mulai terbaca oleh teman-teman dan juga para guru. Tapi hal ini tidak kami hiraukan, sebab antara aku dan Riri sebenarnya tidak ada pemikiran apa-apa kecuali persahabatan saja. Dan nyatanya sampai saat ini pun belum pernah seorang guru pun menegur atas kedekatanku dengan Riri. Itu artinya, di mata guru pun persahabatan antara aku dengan Riri masih dipandang sebagai persahabatan yang wajar-wajar saja.

Malam bergulir menjemput pagi. Terdengar ayam jantan mulai berkokok pertanda hari mulai pagi. Kokoknya keras sekali saling bersautan. Aku tersentak dan terbangun. Kulihat langit di sisi timur mulai merona merah. Tanpa kusadari kesendirianku yang semalam telah membawaku ke alam mimpi yang panjang. Teringat aku akan saat-saat pertama kumengenal sahabatku itu. Kubergegas dari balai-balai bambu yang semalam menopang tubuhku. Kuraih beberapa perlengkapan mandi, kemudian berkemas diri untuk bersekolah.  Sebab hari memang telah benar-benar pagi. Tak sabar aku ingin bersua dengan Riri, mungkin ini hari adalah pertemuanku dengannya yang terakhir kali.

***

0 komentar:

Post a Comment