Thursday, 8 September 2011

Jonggrang berlari-lari pada jalan yang berbatu dan berkerikil tajam. Selembar jarit yang membalut tubuhnya terseret-seret ke belakang seperti mengibas-ngibaskan debu jalanan. Rambutnya yang panjang terurai diterpa angin sore itu seolah melambai-lambai penuh cela. Nafasnya terengah-engah. Darahnya menggelegak penuh dendam dan amarah. Dendam kepada laki-laki yang berlari mengejar di belakangnya. Kematian sang ayahanda oleh laki-laki itu begitu menggelitik batin, merasuk ke dalam akal pikirnya, membangkitkan hasrat menuntut balas. Jonggrang tetap berlari dan terus berlari dengan dendam yang kian membara menyesak-nyesak di dada. Jonggrang ingin menuntut balas. Jonggrang ingin laki-laki itu mati, meski dengan tipu dan muslihat sekalipun. Jonggrang berlari dalam dendam. Di belakangnya, terentang jarak tak begitu jauh, Bandung mengejar Jonggrang. Langkah kakinya begitu kencang, seperti terbang bersama angin yang bertiup. Hasratnya begitu kuat, menggelegak ke dalam darah, bergejolak menyesak-nyesak dada. Tak mau Bandung kehilangan Jonggrang. Bandung berlari mengejar dan terus mengejar. Bandung berlari dengan cinta yang begitu dalam.

Adalah sebuah pergumulan antara cinta dan dendam. Cinta pada Bandung. Dendam pada Jonggrang. Masing-masing menuntut pemenuhan. Cintanya yang kuat pada Jonggrang menggelapkan mata Bandung. Bandung tak peduli siapa Jonggrang. Di mata Bandung, Jonggrang adalah sosok wanita yang jelita, tubuhnya langsing, rambut hitam lebat memanjang. Tak dipedulikan bahwa nyatanya Jonggrang adalah anak Prabu Baka yang baru saja dibunuhnya. Tak terpikir sedikit pun oleh Bandung, bisa saja Jonggrang sewaktu-waktu menuntut balas akan kematian Baka. Keperkasaan dan ketampanan Bandung seperti tak terlihat oleh Jonggrang. Di mata Jonggrang, Bandung adalah sosok pembunuh. Sosok yang memisahkan jalinan cinta antara anak dan orang tua. Antara Jonggrang dan Prabu Baka. Bandung adalah laki-laki yang membuatnya menjadi sendiri terseok-seok berlari pada puing-puing kerajaan Baka. Maka bermuslihatlah ia demi menuntut balas.

Pada sela-sela puing-puing tajam Jonggrang berlari, jarit pembebat tubuh mulai terurai menyapu-nyapu tanah-tanah yang berdebu, kemudian tersangkut pada sebongkah batu yang runcing. Langkah Jonggrang tertahan. Tubuhnya tersentak, jarit itu seperti menariknya ke belakang. Ia terhempas dan tersandar pada sebongkah batu besar. Nafasnya terengah-engah, matanya berkunang, tubuhnya melimbung, kemudian jatuh tersimpuh dan menunduk dengan kedua tangan menopang di atas bebongkahan. Di depan Jonggrang berdirilah Bandung. Matanya berbinar dengan senyum yang menyungging di bibirnya. Bandung berdiri tegap dan mengacak pinggang. Berasa Bandung beroleh kesempatan dan mengalirlah kata-kata penuh rayu dari mulut Bandung.
"Jonggrang, kau tak bisa lari lagi dariku. Terima aku Jonggrang, aku benar-benar mengharapkanmu. Aku tak lagi peduli tentang siapa dirimu. Tentang dirimu yang adalah adik Prabu Baka, itu sudah lenyap dari pikiranku. Bagiku, kau adalah wanita yang pertama kali mengusik hati laki-lakiku. Kau harus menjadi istriku," kata Bandung dengan penuh harap.

Wajah Jonggrang menengadah, menatap Bandung. Tak ada lagi sinar kebencian dan dendam pada kedua bola matanya. Tatap mata Jonggrang kini berubah teduh dan sejuk. Tersungging sebuah senyum yang manis dari kedua bibir tipisnya. Kedua tangan yang semula menopang pada bongkah batu, kini beralih pada kedua kaki Bandung. Jonggrang bersimpuh di kaki Bandung seperti berharap. Maka mengalirlah kata-kata manis Jonggrang yang sebenarnya adalah muslihat Jonggrang yang keluar dari mulut manisnya.
"Baiklah, Bandung. Sejauh apapun aku berlari, kau pasti dapat mengejarku. Seperti sekarang ini, aku tak kuasa lagi berlari darimu,"sejenak Jonggrang terdiam, sebelah tangannya menyibakkan rambut yang tergerai hampir menutupi wajahnya.
"Tak ada lagi pilihan bagiku kecuali...?"
"Kecuali apa?" sela Bandung seperti tak sabar lagi.
"Kecuali menurut apa yang menjadi kemauanmu, Bandung!"
"Tapi, Bandung...! Kembali Jonggrang terdiam, Bandung menjadi semakin penasaran.
"Bagaimanapun, kaulah pembunuh ayahku. Tidak mudah bagiku untuk mempercayaimu. Ada ketakukan dalam diriku, bisa saja kau pun ingin membunuhku. Sebab aku adalah anak Prabu Baka. Bisa saja dirimu juga menganggapku sebagai musuhmu. "Jonggrang menarik nafas perlahan, ditataplah Bandung dengan penuh selidik.
"Maka Bandung, sebelum aku menerima cintamu. Aku ingin tahu lebih dulu seperti apa cintamu padaku? Aku ingin, cintamu itu kau buktikan kepadaku. Sanggupkan kau Bandung, memenuhi apa yang akan aku pinta padamu?"
"Katakan Jonggrang...! Apa yang menjadi keinginanmu?"
"Begini Bandung..! Aku percaya kau adalah orang sakti. Jadi aku yakin kau akan bisa memenuhi permintaanku ini. Tak banyak yang kuminta darimu Bandung. Hanya dua macam. Pertama, buatkan aku sebuah sumur di tempat ini. Yang kedua, di tempat ini juga buatlah seribu buah candi. Keduanya harus selesai malam ini, sebelum terdengar ayam jantan berkokok pertanda datangnya pagi. Bila kau dapat penuhi itu semua, aku bersedia menjadi istrimu Bandung...! Bagaimana Bandung?" Jonggrang pun terdiam menunggu jawab.
"Baiklah Jonggrang. Aku tahu, itu adalah permintaan yang berat. Tapi, demi membuktikan cintaku padamu. Akan aku penuhi permintaanmu. Tunggulah Jonggrang..!" Jonggrang pun pergi menjauh. Dari kejauhan itu, Jonggrang akan melihat apa yang dilakukan Bandung kemudian. Bayang-bayang akan kematian Bandung seperti melintas di benaknya. Jonggrang tersenyum sinis.

Konon katanya, demi memenuhi permintaan Jonggrang, Bandung bersamadi dan dengan kesaktiannya terbentuklah sebuah sumur yang cukup dalam. Atas kehendak Jonggrang pula Bandung masuk ke dasar sumur untuk memastikan kedalamannya. Seketika itu Jonggrang dengan dibantu para pengikut setianya menimbun sumur tersebut dengan batu-batu besar. Namun, berkat kesaktiannya, Bandung dapat meloloskan diri dari sumur maut tersebut. Bandung merasa tertipu. Bandung pun berlarilah memburu Jonggrang dengan amarah yang begitu besar. Berkat kemolekan dan bujuk rayu Jonggrang, kemarahan Bandung pun mereda. Bandung kembali bersamadi mewujudkan permintaan kedua Jonggrang, membuat seribu candi dalam semalam. Kembali Bandung bersamadi. Dalam samadinya, Bandung menggerakkan segala kuasa jin dan dedemit penguasa kegelapan. Berkat kekuatan jin dan dedemit inilah, terbentuklah satu demi satu candi itu dalam sekejap. Menjelang subuh terbentuklah 999 buah candi. Artinya sampai subuh nanti, 1000 candi pasti akan terbuat oleh Bandung.

Dari balik bukit Jonggrang melihat semua apa yang dilakukan Bandung. Jonggrang menjadi gusar. Ia tak mau membiarkan Bandung berhasil membuat 1000 buah candi. Disuruhnya penduduk sekitar bukit untuk menyalakan dian dan mulai membunyikan lesung-lesung seolah sedang menumbuk padi. Hal itu dilakukan sekedar mencipta kesan bahwa subuh telah tiba. Mendengar suara-suara lesung itu, melihat rona merah menerang dari balik bukit-bukit itu, Bandung pun berhenti bekerja. Disangkanya 1000 candi telah dibuatnya tepat sebelum subuh tiba. Di depan mata Bandung, Jonggrang menghitung satu demi satu candi itu. Nyatalah bahwa candi tak genap 1000. Maka menolaklah Jonggrang pada Bandung. Bandung tak dapat menerima itu. Bandung merasa ditipu dan diperdaya. Bandung menjadi sangat marah. Dalam kemarahannya, keluarlah kata-kata yang mengutuk Jonggrang menjadi sebuah patung sebagai penggenap candi menjadi 1000 buah. Patung itu kemudian dikenal dengan nama Patung Lara Jonggrang yang berarti gadis yang langsing.

Gerimis masih mengguyur di senja itu. Sepoi-sepoi angin bertiup perlahan. Kian jauh langkahku meninggalkan pelataran. Di pelataran itu tertoreh sebuah kisah yang tak akan lekang oleh panas dan hujan.

---000-

0 komentar:

Post a Comment