Malam itu malam bulan purnama. Bulan tanpa malu-malu memancarkan sinarnya, menerangi malam. Langit cerah berjuta bintang bertaburan di atas sana. Di beranda rumah dengan ukuran yang cukup luas, di atas kursi panjang tua, kami sekeluarga duduk-duduk di sana dengan hidangan seadanya. Kali ini kami semuanya bisa berkumpul. Purlu aku perjelas barangkali, kami di sini yang aku maksud adalah aku, papa, dan mama. Ya, cuma bertiga memang, karena hanya akulah satu-satunya anak mereka, setelah 15 tahun usia pernikahan mereka. Berbagai obrolah ringan mengalir silih berganti keluar dari mulut kami bertiga. Tiba-tiba saja Papa menyela di tengah-tengah obrolah kami. Papa mengawalinya dengan mendehem sekali, kemudian diam sebentar sambil tangannya memilin-milin kumis yang terlihat tebal dan hitam itu. Kalau sudah begitu, kamipun terdiam dan tinggal menunggu instruksi.
"Ma..., Din..., Papa mau bicara, ada sesuatu yang Papa ingin sampaikan kepada kalian. Papa harap kalian mau mendengar dan memakluminya." Papa terdiam sebentar, lalu menatap kami silih berganti, seolah berharap persetujuan dari kami. Begitulah setiap kali Papa memulai pembicaraan yang olehku kuanggap serius. Kemudian lanjutnya,
"Tadi siang Papa dipanggil atasan, Beliau memberikan tugas baru. Kali ini Papa dipindahtugaskan ke Jakarta."Papa pun diam sejenak, "Papa sampaikan hal ini supaya kalian setidaknya ada kesiapan batin. Terutama kamu, Din. Papa harap kamu mengerti hal ini," kembali Papa menatapku lagi, kali ini tatapan Papa begitu dalam sampai menembus ke dasar hatiku. Aku bisa merasakan itu. Ada kekhuatiran pada diri Papa, jangan-jangan aku tidak sependapat. Beda halnya dengan Mama. Buat Mama, hal kepindahan Papa bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sebab memang sebelum menikah dengan Papa, Mama telah sepaham dan mampu memahami keadaan Papaku. Artinya, kapan dan di mana Papa ditugaskan Mama pasti mau mendampinginya.
Papaku yang saat ini berpangkat Kopral TNI AD, tak beda dengan abdi negara yang lainnya, mereka harus selalu siap, setia dan bahkan sedia mengabdi buat bangsa dan negara. Termasuk dipindahtugaskan seperti ini. Pemahamanku tentang ini belum lama, itupun bukan dari Papa. Kutata detak jantung ini, kutarik nafas perlahan, dan kulepas perlahan. Aliran udara segar mengalir melewati batang tenggorokan ini. Meski terasa berat kuberanikan bertanya pada Papa: "Pa, maaf ya, kalau boleh Udin tahu, emang Papa mau pindah ke mana?'"tanyaku dengan sangat hati-hati.
" Ma, dan juga kamu Din, kali ini Papa ditugaspindahkan ke Jakarta. Disediakan rumah dinas di sana." jelas Papa.
"Meskipun kecil dan sangat sederhana Papa pikir cukup buat kita bertiga."papar ayah.
"Jadi gimana, Din? Kamu nggak keberatan khan?"tegas ayah.
Mama yang dari semula diam, kali ini pun ikut bicara:
"Din, kalau Mama sih gak ada masalah. Mama pasti ikut kemauan Papa. Nah.., yang jadi pikiran Mama.., Gimana dengan kamu, dengan sekolah kamu?. Tetap di Yogya atau sekalian pindah di Jakarta. Mama pikir, di Jakarta banyak kok, sekolah yang bagus-bagus."jelas Mama, seolah Mama sudah tahu banyak tentang Jakarta. Belum juga aku memberikan jawab atas pertanyaan Papa, Papa kembali bicara: "Din, Semua keputusan ada di tangan kamu, kamu boleh tetap meneruskan sekoalh di sini, atau melanjutkannya di Jakarta nanti. Kalau tetap di sini, kamu bisa numpang di tempat Tantemu, atau cari kontrakan sendiri." Tatap mata Papa kembali menembus rongga dadaku kali ini semakin dalam penuh menyelidik.
Belum pernah sekalipun aku hidup sendiri terpisah dengan kedua orang tuaku sampai usiaku yang sekarang ini. Justru di usia-usia yang seperti ini aku merasa perlu sekali berdekatan dengan kedua orang tuaku, aku merasa perlu pengawasan dari mereka. Tak dapat terbayangkan olehku, bagaimana aku bisa menjalani hidup ini sendiri. Mungkin dari ekonomi takkan ada masalah. Tapi bagaimana dengan yang lainnya, siapa yang mengawasi sikap dan tingkah polahku keseharian. Sedang di samping mereka saja tak jarang aku masih sering terbawa arus kehidupan anak remaja sekarang ini. Soal ini aku tak akan banyak bercerita. Telah banyak stasiun TV juga media cetak yang bisa menjadi sumber, kalau sekedar mau tahu bagaimana sesungguhnya kehidupan dan gaya hidup remaja-remaja di kota ini. Sebuah kehidupan yang mungkin juga telah melekat pada diriku. Perlahan terlintas jelas satu demi satu silih berganti semua peristiwa atau tepatnya serangkaian kejadian, sebut saja kasus begitu orang suka menyebutnya. Ya, kasus begitu tepatnya. Serangkaian kasus yang sempat melibatkan Mama dan juga Papaku dengan pihak sekolah. Keadaan-keadaan yang beginilah yang sering menjadikan miris hatiku jika aku harus berpisah dengan mereka. Maka sampailah keputusanku untuk mengikut mereka juga. Tekadku bulat mengikut mereka. "Pa...., dengan pelan kusapa Papa yang sedang terdiam dengan sebatang rokok di tangan kiri. "Udin..., Udin... ikut Papa dan Mama...!" Jadi.., Jadi.. kamu mau pindah ke Jakarta Din...!" seru Papa. "Iya Pa.., Iya Ma.." "Terima kasih Din..., Kamu memang anak Papa satu-satunya.., Papa bangga dengan kamu Din..!".
Udara malam semakin dingin menusuk-nusuk kulit. Bulan menampakkan sinarnya terang sekali. Tepat tersenyum di atas kepala kami. Kami larut dalam pelukan. Menyatukan langkah menatap masa depan. Di sebuah kehidupan di kota metropolitan yang penuh dengan peradaban.
....&&&....
0 komentar:
Post a Comment