Saturday, 12 December 2015

Latihan Soal Paket 1
PETUNJUK  :  Pilihlah satu jawaban yang benar!

1.   Kualitas pengobatan di puskesmas masih lebih rendah dibandingkan dengan kualitas  pengobatan di tempat lain. kendati begitu, masyarakat tetap lebih memilih puskesmas sebagai tempat berobat karena pertimbangan biaya murah dan lokasinya yang dekat dengan rumah mereka.
Ide pokok paragraf tersebut adalah....
a.   Rendahnya kualitas pengobatan di puskesmas.
      b.   Pilihan terdekat tempat berobat masyarakat.
      c.   Pertimbangan biaya berobat murah.
      d.   Kedekatan lokasi puskesmas.

2. Rendahnya informasi kebijakan pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat menyebabkan kuranganya kesadaran akan hak pelayanan dasar tersebut. Konsekuensi lebih lanjut adalah rendahnya posisi mereka dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik.
      Mengapa posisi masyarakat sangat rendah dalam hal mendapatkan pelayanan
      kesehatan yang baik?
      Jawaban pertanyaan tersebut yang tepat adalah....
      a.   Karena hal tersebut sudah menjadi konsekuensi masyarakat.
      b.   Karena rendahnya informasi kebijakan pelayanan kesehatan.
      c.   Karena masyarakat tidak sadar akan hak pelayanan tersebut.
      d.   Karena masyarakat Indonesia sangat baik dan selalu menerima.

3. Tingginya kasus penularan HIV dari ibu kepada bayinya dikhawatirkan mengakibatkan perkembangan jumlah penderita HIV/AIDS makin tidak terkendali. Setiap hari diperkirakan hampir 1.800 bayi di berbagai negara di dunia lahir terinfeksi HIV. Oleh karena itu, tindakan pencegahan penularan HIV dari ibu kapada bayinya harus dilakukan secara intensif.
      Isi wacana tersebut adalah...
     a.    Tingginay kasus penularan HIV dari seorang ibu dan bayinya.        
     b.    Perkembangan jumlah penderita HIV/AIDS makin tidak terkendali.
     c.    Diperkirakan 1.800 bayi lahir di dunia terinfeksi HIV.
     d.    Tindakan pencegahan penularan HUV dari ibu kepada bayinya.

4. ICW (Indonesian Corruption Watch) telah melakukan serangkaian kegiatan pemberdayaan masyarakat di sektor kesehatan selama tahun 2005. Tujuan utama kegiatan ini adalah mendorong partisipasi masyarakat untuk memantau peningkatan mutu layanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah. Kegiatan yang digelar oleh ICW tersebut terdiri atas pengorganisasian masyarakat. Pemetaan masalah pelayanan kesehatan, diskkusi terfokus ke beberapa kelompok masyarakat dan survey terhadap 900 pasien dari 90 puskesmas di Jakarta.
      Rangkuman wacana tersebut adalah....
     a. ICW telah melakukan serangkaian kegiatan pemberdayaan masyarakat di sektor   kesehatan selama tahun 2005.
    b. ICW melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk memantau peningkatan mutu layanan kesehatan yang di berikan pemerintah.
     c. Kegiatan yang digelar ICW tersebut terdiri atas pengorganisasian masyarakat dan pemetaan masalah layanan kesehatan/
     d. Kegiatan yang digelar oleh ICW tersebut terfokus kepada 900 pasien yang survey dari 90 puskesmas di Jakarta.

5.  (1) Kita tidak diajurkan untuk mengurangi waktu istirahat. (2) Jika hal ini dilakuakn terus-menerus, lambat laun kondisi kesehatan tentu akan menurun. (3) Kondisi yang terus memburuk tidak mustahil akan memunculkan penyakit yang sangat serius. (4) Untuk itulah, usaha untuk mengoptimalkan waktu kerja di kantor menjadi sangat penting. 
      Kalimat utama paragraf tersebut ditandai dengan nomor...

      a.   (1)                   
      b.   (2)          
      c.   (3)          
     d.   (4)

6. 
(1) Nilam jenis tanaman rintisan di Kalimantan Tengah ditemukan tahun 1999. 
     (2) Saat itu, 300 petani transmigran Kalteng mencari bibit nilam ke Aceh. 
     (3) Kepergian para petani sampai ke Aceh karena tergiur harga minyak nilam yang pernah 
            mencapai Rp 1 juta perkilogram. 
     (4) Satu kilogram minyak nilam sama dengan 1,2 liter.
      
     Kalimat pendapat dalam paragraf tersebut ditandai dengan nomor...
      a. (1)            
      b. (2)            
      c. (3)            
      d. (4)


7.  Saat ini sampah menjadi masalah besar di kota Ambon. Lebih dari 50% saluran air yang terbuka maupun saluran bawah tanah dipenuhi sampah. Padahal sebagian besar daerah  pesisir kota Ambon beberapa kali mendapatkan penghargaan Adipura karena kebersihan kotanya.
      Tanggapan isi berita tersebut yanf tepat adalah....
      a.  Sampah merupakan masalah yang rawan dan membahayakan kehidupan. Oleh karena itu,       masyarakat dan pemerintah harus bersama-sama menanggulanginya.
    b. Sampah dimana-mana selalu menjadi masalah yag sulit dibenahi, Jadi, Pemda Ambon mempunyai PR yang harus segera diselesaikan.
      c. Apa yang sebenarnya diinginkan warga Ambon? Mengapa sampai terjadi kondisi seperti itu? Apakah warga Ambon sudah tidak peduli akan kesehatan?
      d. Masalah sampah tidak usah dikhwatirkan lagi. Nanti juga ada yang membenahi. Kita tenang-tenang sajalah.

8.  Ibu Ani      :  Selamat siang, Bu. Maaf saya berbicara sebentar dengan ibu?
     Ibu Tami    :  Selamat siang. Ibu ini siapa, ya?
    Ibu Ani   : Saya guru di SMP Mutiara. Dua pekan lalu saya menerima undangan    lomba baca puisi....
     Ibu Tami  : O, Penyelenggaranya Museum Pemuda yang ingin mempromosikan museum tersebut agar lebih dikenal para siswa.
      Ibu Ani      :  Terima kasih, Bu. Siswa kami akan menjadi pesertanya.

      Kalaimat yang tepat untuk melengkapi pembicaraan Bu Ani adalah.....
      a.   Apa tema penyelenggaranya dan apa judulnya, Bu?
      b.   Siapa penyelenggara dan apa tujuannya, Bu?
      c.   Mengapa penyelenggaranya di museum pemuda, Bu?
      d.   Dimana penyelenggaraan lomba dan siapa yang mampromosikan?


9.   Judul buku         :  Cara mudah merawat dan memperbaiki komputer
      Pengarang          :  Phil Laplante
      Penerbit              :  PT Elex Media Komputindo, Jakarta
      Ukuran Buku     :  Tebal 0,7 cm,lebar 14 cm, panjang 20 cm
      Warna Sampul   :  Kuning, tulisan merah, besar dan jelas
      Ulasan buku sesuai data tersebut adalah....
      a. Buku berjudul Cara Mudah Merawat dan Memperbaiki Komputer  karangan Phil   Laplante ini merupakan buku yang tepat dan mudah anda pelajari agar anda dapat merawat dan memperbaiki komputer sendiri.
      b. Buku Phil Laplante ini berukuran sedang, mudah dibawa kemana anda pergi. Buku ini sedang dicari orang karena memang sangat diperlukan. Anda menjadi orang yang sangat hemat jika memiliki buku tersebut.
      c.  PT Elex Media Komputindo Jakarta mengeluarkan buku berukuran sedang dengan warna sampul kuning, bertuliskan Cara Mudah Merawat dan Memperbaiki Komputer karya Phil Laplante.
    d. Sekarang anda bisa menemukan buku pintar, berukuran sedang, bersampul kuning, bertuliskan merah, besar dan jelas. Isi buku mudah dibaca, tulisan terang dan hitam, serta gambar besar.

10. Wartawan        :  Visi GOPTKI apa, Bu?
Bu Tati            :  Visi GOPTKI adalah membina anak usia dini, membentuk akhlak
                           bangsa yang aktif, dinamis, dan kreatif.
      Wartawan        :  Mengapa anak-anak usia dini tersebut harus masuk TK?
   Bu Tati            : Pendidikan itu di mulai sejak usia dini. Pada usia 0-8 tahun, anak  harus diberi nutrisi mental atau pendidikan mental yang baik. Penyiapan mental usia dini ada yang formal yaitu Tk dan nonformal kelompok bermain

      Pernyataan yang jawabannya terdapat dalam wacancara tersebut adalah.......
      a.   Di mana wawancara tersebut berlangsung?
      b.   Kapan wawancara itu berlangsung?
      c.   Mengapa pewawancara berkepentingan tentang pendidikan usia dini?
      d.   Bagaimana penjelasan Ibu Tati tentang pendidikan usia dini?

"Ini adalah kali kedua saya memanggil kamu!" kata Bu Guru sambil mendudukkan diri di kursi yang tepat menghadap denganku.
"Iya, Bu" jawabku dengan nada rendah.
"Jadi, kamu tahu, apa konsekuensinya?" Kemudian Ibu itu sibuk dengan beberapa kertas ulangan harian yang belum sempat dikoreksinya.

"Ya, Bu. Saya tahu."

Tanpa harus bertanya lagi, aku sudah tahu. Apa yang Bu Guru mau dengan memanggil aku sekarang ini. Tak salah lagi, pasti Bu Guru menghendaki mama datang ke sekolah. Ini adalah kesepakatan di antara saya dengan Bu Guru. Bilamana aku melakukan kesalahan lagi, atau tepatnya pelanggaran. Begitu Bu Guru biasa menyebutnya, mama harus datang ke sekolah. Saya baru diperbolehkan mengikuti pelajarannya lagi setelah mama datang dan menandatangani surat perjanjian yang saya buat. Selama mama belum datang, sudah tentu aku belum boleh mengikuti pelajarannya.
"Jadi, tunggu apa lagi?" suara Bu Guru kali ini terdengar lebih bertenaga, seperti hendak menyuruhku keluar dari ruangannya.
"Baik, Bu..! Selamat Siang..!" Aku pun keluar dari ruangan itu, tanpa menghiraukan lagi, apakah salamku disambut atau tidak. Kali ini aku dipanggil Bu Guru, karena aku tidak mengerjakan PR yang diberikannya. Aku bukan sengaja tidak mengerjakannnya, tapi memang karena aku tidak bisa.

Seminggu yang lalu Bu Guru juga memanggilku. Itu kali pertma aku dipanggil Bu Guru. Ketika itu Bu Guru sedang mengajar tentang penjumlahan di kelasku. Sebuah materi yang bisa dibilang cukup mudah untuk anak-anak seusiaku, sebab hanya berkisar mengenai penjumlahan sederhana. Jangankan untuk anak-anak seusiaku, anak-anak TK pun barangkali bisa mengikuti materi itu.
"Baik, sekarang berapakah hasil penjumlahan dari satu ditambah satu? Hayo, siapa bisa jawab, angkat tangan...!" Suara Bu Guru dapat aku dengar dengan jelas dari belakang. "Duaaaa......, Bu....., Duaaaa....!" Begitu jawaban yang muncul hampir dari semua siswa seisi kelas secara bersamaan. Seperti sebuah koor tanpa pemandu suara. Di pojok belakang kelas aku terdiam sendiri seperti kebingungan. Aku tak paham dengan jawaban teman-teman itu. Aku hanya bersungut-sungut saja, seolah ragu. Aku tidak mengerti, bagaimana teman-teman memahami penjumlahan yang demikian. Aku terus bersungut-sugut dengan sesekali garuk-garuk kepala dan manggut-manggut.

Sikapku yang demikian, ternyata tak lepas dari perhatian Bu Guru.
"Cavin..!" Tiba-tiba saja terdengar Bu Guru memanggilku. Aku terkaget sejenak dan kubenahi dudukku.
"Iiii,ii ya.., Bu...!"jawabku dengan terbata.
"Kalau menurut kamu berapa hasil penjumlahan satu ditambah dengan satu?" begitu Bu Guru mengulang pertanyaan itu.
"Tiga, Bu..!" jawabku dengan lantang.
"Gueeerrrr, Huuuuuuhhhhhhhhhhhhh, !' Tiba-tiba kelas menjadi sangat riuh rendah, bercampur gaduh. Semua mata seperti menatap ke arahku. Semua perhatian tertuju padaku. Tatap-tatap mata seolah meragukan jalan pemikiranku. Pun Bu Guru, seperti terhentak oleh jawabanku. Mukanya menegang, dan dari sinar matanya terpancar sebuah kemarahan besar. Sudah tentu kemarahan itu muncul oleh jawabanku yang seperti itu. Jawaban yang menurut orang banyak sangat tidak masuk akal. Sangat tidak logis dan jauh dari jangkauan akal sehat.
"Berapa...., berapa...., Cavin?" Sekali lagi Bu Guru bertanya, seperti tak yakin dengan jawabanku.
"Tiga, Bu" jawabku kali ini dengan sedikit berani.
"Kamu ngeledek saya ya..?" suara Bu Guru semakin meningkat.
"Ngeledek, ngeledek gimana, Bu?" tanyaku seolah tak percaya.
"Lha itu, dengan jawabanmu seperti itu, kamu ngeledek saya khan...!"
"Enggak..., enggak...., Bu, memang saya menjawab tiga."
"Sudah, Ibu tak perlu penjelasan darimu. Sekarang kamu ke luar !" Bentak Bu Guru sambil mengarahkan jaru telunjukknya ke arah pintu. Aku pun ngeloyor meninggalkan ruang kelas itu, tanpa menghiraukan lagi kemarahan Bu Guru.

Di luar kelas, aku masih tak mengerti juga, mengapa di mata teman-teman dan juga Bu Guru satu ditambah satu sama dengan dua, bukannya satu ditambah satu sama dengan tiga. Aku menjadi tak mengerti dan semakin bingung saja. Pada sebuah kursi yang terbuat dari beton berlapiskan keramik usang aku duduk bersandar di dinding. Mataku memejam dan keningku berkerut memikirkan hal itu. Riuh tawa teman-teman di dalam kelas samar-samar mulai tak kudengar lagi. Semilir angin yang bertiup di siang itu membawa pikiranku masuk ke dalam lamunan yang panjang.
Aku terbawa ke masa laluku. Masa dimana aku masih bersama dengan kakekku. Ketika itu umurku belum genap lima tahun. Bersama kakek itulah aku menghabiskan hari-hariku. Mama dan papaku terlalu sibuk bekerja. Jarang sekali aku bisa bertemu dengan kedua orang tuaku. Mama dan papa sering pulang malam karena urusan kantor yang katanya harus diselesaikan. Maka tak heran jika pada akhirnya aku lebih dekat dengan kakekku ketimbang dengan kedua orang tuaku. Dari kakekku inilah pertama kali aku mengenal yang namanya menghitung. Masih kuingat jelas pitutur kakek ketika itu. Ketika untuk pertama kalinya kubertanya tentang asal mula manusia di dunia ini. Dan bagaimana pula kakek menjelaskan akan hal itu. Sungguh suatu penjelasan yang mampu melekat kuat di benakku sampai sekarang ini. Sebuah penjelasan yang menurutku sungguh masuk diakal. Dari penjelasan kakek itulah aku tahu bahwa sesungguhnya satu ditambah satu sama dengan tiga, bukan dua. Tiga adalah jawaban yang benar. Dua adalah jawaban yang salah. Tapi kenapa justru pendapat yang menurutku benar, justru di mata teman-teman dan juga guruku sendiri dikatakan salah. Aku kian tak mengerti.

Lonceng tiba-tiba berbunyi. Aku tersentak. Satu demi satu teman-temanku mulai keluar dari ruang kelas. Seperti membentuk barisan panjang. Di paling belakang kulihat Bu Guru membawa setumpuk kertas ulangan. Aku berdiri setengah menunduk. Tepat di mana aku berdiri, Bu Guru berhenti. Tak ada senyum sedikit pun.
"Cavin...! Hari ini Ibu ulangan, kamu tidak boleh ikut susulan sebelum mama kamu datang. Usahakan besok mama kamu bisa datang. Dengan demikian kamu tidak banyak ketinggalan pelajaran." Suara Bu Guru seperti memberiku pengharapan.
"Kamu paham, Cavin?"
"Paham, Bu." jawabku dengan sedikit mengangguk.
"Baik kalau begitu. Sekarang pulanglah!" suruh Bu Guru dengan lembut.
"Baik, Bu. Selamat siang!"
"Siang Cavin." sambut Bu Guru seraya meninggalkanku.

Kuambil tasku yang masih di dalam kelas. Kelas telah sepi. Tak satu pun teman di sini lagi. Aku pun melangkah pergi kian menjauh dari halaman sekolahku. Langkahku tertuju pada deretan rumah yang letaknya tak seberapa jauh dari sekolah itu. Di situlah rumah kakekku. Ke rumah itulah langkah kakiku menuju. (bersambung...)

Naluri dan Logika, dua hal yang nampaknya menyatu dalam kesatuan utuh kita sebagai manusia, nyatanya tak selamanya bertemu dan menyatu. Ketika sebuah permasalah datang mendera, dan ketika permasalahan itu harus mencari pemecahan, kadang kita harus mengutamakan yang satu dan mengesampingkan yang lain. Adakalanya logika memposisikan diri di atas naluri. Ketika yang lain, naluri memposisikan dirinya di atas logika. Sebuah kondisi yang berseberangan bukan? Namun, justru dari dua sisi yang berbeda ini sebenarnya ada jawaban atas permasalahan tersebut. Kalau bukan pada sisi logika jawaban itu berada, pasti jawaban itu berada di sisi naluri. Tidak pada kedua sisi. Jawaban yang demikian adalah jawaban yang murni dan hakiki atau jawaban yang sebenar-benarnya adalah benar. Sayangnya, untuk sampai kepada kondisi yang demikian adalah sesuatu yang teramat sulit untuk tidak menyebutnya hampir tidak mungkin.

Kondisi kemudian yang sering terjadi ketika sebuah jawaban sebut saja keputusan harus diambil adalah sebuah kompromi. Ya sebuah kompromi yang mencoba mencampuradukkan antara naluri dan logika. Dalam hal ini, keputusan biasanya lahir sebagai akibat dari upaya mengakurkan antara logika dan naluri. Keputusan yang demikian sering kali dianggap sebagai keputusan yang bijak. Pada akhirnya, keputusan lebih banyak lahir sebagai hasil dari kebijaksanaan dan kompromi. Bila demikian, keputusan yang bijak adalah keputusan yang didasari atas pertimbangan hati dan pikiran. Keputusan yang diambil dari sebuah kebijaksanaan untuk berkompromi. Mengapa demikan? Jawabannya mungkin sangatlah sederhana. Semuanya dikembalikan pada sebuah kepentingan. Ya, sebuah kepentingan. Dengan kata lain, keputusan diambil tentunya tak lepas dari untuk apa dan siapa keputusan itu.

Kompromi pada dasarnya adalah upaya mempertemukan sedikitnya dua buah kepentingan yang berseberangan. Dua buah kepentingan yang mulanya berseberangan mencoba dicari penyelarasannya dengan jalan ini. Sekedar penjelasan sederhana, di sebuah lembaga tentunya ada atasan dan ada juga bawahan. Atasan tentu punya kepentingan tersendiri untuk lembaganya. Demikian juga bawahan, bawahan tentunya juga punya kepentingan tersendiri atas lembaganya. Dan di antara keduanya, terdapat kepentingan yang sama secara bersama-sama. Artinya, antara atasan dan bawahan di samping memiliki kepentingan bersama untuk lembaga, mereka juga memiliki kepentingan tersendiri atas lembaga tersebut. Permasalahan yang sering muncul dalam hal pengambilan keputusan adalah ketika keputusan harus diambil dari dua sisi yang berbeda, yaitu dari sisi atasan dan sisi bawahan. Meskipun sesungguhnya keputusan itu adalah untuk kepentingan bersama, yaitu untuk lembaganya.

Sekedar contoh. Di sebuah sekolah, sebut saja sekolah A. Pada suatu ketika Kepala Sekolah harus duduk satu meja dengan Dewan Guru dalam suatu rapat dengan agenda Rapat Kenaikan Kelas. Pada awalnya rapat berjalan lancar, sampai pada saat penentuan siapa-siapa yang dinyatakan naik dan tidak naik mulailah muncul suatu masalah. Permasalahan yang muncul adalah banyaknya jumlah siswa yang harus tinggal kelas karena tidak memenuhi kriteria kenaikan kelas yang disyaratkan. Mengapa yang demikian menjadi masalah, padahal untuk menyatakan naik dan tidak sebenarnya sudah jelas-jelas ada ketentuannya. Andai saja ketentuan yang sudah ada itu diterapkan pasti tidak akan terjadi permasalahan yang begitu serius. Jawabnya adalah untuk sebuah kepentingan dari sisi masing-masing demi sekolah tersebut. Lalu bagaimana masalah tersebut biasa diselesaikan? Melalui sebuah pembicaraan yang panjang dan memakan banyak waktu juga tenaga, setelah masing-masing pihak saling memberi dan mendengar argumentasi biasanya akan ditemukan titik temu. Sebuah keputusan akhir menunjukkan jumlah siswa yang dinyatakan tidak naik kelas di sekolah tersebut tinggal beberapa gelintir saja. Suatu jumlah yang sangat jauh dari yang semestinya bukan? Nyatanya di penghujung rapat tersebut wajah-wajah yang semula serius dan tegang kini telah berubah menjadi wajah-wajah yang ceria dan memancarkan sebuah keberhasilan bersama. Ini adalah putusan yang dihasilkan oleh kebijaksanaan berkompromi. Yang ada hanyalah menang dan menang.

Terlepas dari konteks benar tidaknya, tepat tidaknya keputusan sebagai hasil dari kebijakan berkompromi. Secara pribadi saya beranggapan bahwa keputusan itu mungkin tidak akan terjadi seandainya kita senantiasa taat dan disiplin pada aturan atau kaidah-kaidah yang telah ditentukan sebelumnya. Kecenderungan untuk keluar dari aturan-aturan yang semestinya demi sebuah kepentingan tertentulah yang membuatnya demikian. Semua kembali pada apa yang bicara, naluri atau logika, atau malah kompromi dari kedua-duanya...!

***




Friday, 11 December 2015

Hari masih pagi-pagi benar. Sinar mataharbaru saja memancar dengan cerahnya. Kebetulan langit di atas sana tampak begitu bersih tanpa segumpal awan pun. Aku segera bergegas dengan sepeda ontelku menyusuri jalan-jalan yang masih sunyi. Menyusuri jalanan kecil di tepi desa di sepanjang kampungku di kanannya tampak hamparan tanaman padi yang mulai menguning. Padi-padi itu tampak menunduk dan memancarkan cahaya keemasan ditimpa sinar mentari pagi ini. Setiap pagi aku biasa menyusuri jalan dalam jarak 15 km ini dari rumah menuju sekolah. Jarak yang demikian biasa kutempuh dalam waktu 30 menit. Tepat dipertigaan di sudut kampungku, aku mengambil arah ke kanan menuju sebuah kampung yang hanya terpisahkan oleh sebuah tanah pekuburan desa. Tepat tiga rumah dari pekuburan itu, di situlah rumah Riri. Aku berhenti sejenak. Tapi pagi ini, tak kulihat Riri di depan rumah. Mungkin Riri telah berangkat duluan pikirku. Dan perjalanan pun aku lanjutkan. Pagi ini Riri tidak bersamaku, tidak memboncengku. Toh nanti ketemu juga di sekolah, pikirku. Kupacu sepedaku sekuat tenagaku, tak sabar aku ingin menjumpai Riri di sekolah nanti.

Tiba di sekolah waktu belum genap jam 7 pagi. Masih dua puluhan menit lagi kurangnya. Buru-buru kutaruh sepedaku di parkiran belakang sekolah. Dari situ, aku langsung ke ruang kelasku, kutaruh tas berisi buku-buku. Kemudian bergegas ku ke arah ruang kelas di sebelah kelasku. Di situlah ruang kelas Riri. Segera kulongok ke dalam, mataku mencari-cari Riri. Nyatanya belum ada juga. Maka berlarilah aku menuju ke arah gerbang sekolah. Maksudku ku mau menunggu Riri di sana, sebab bisa jadi Riri belum datang.
Terdengar bel pagi berbunyi. Teman-teman yang semula duduk-duduk dan bergerombol di halaman dan emper-emper kelas mulai beringsut ke kelas masing-masing. Mereka bersiap menerima pelajaran pagi ini. Baru kakiku mulai melangkah meninggalkan gerbang sekolah, kulihat dari arah depan sana, Riri berjalan menuntun sepeda ontelnya. Kudekati dia, kubantu bawa sepeda ke tempat parkir. Aku tahu sepedanya kempes, sepertinya terkena paku saat di perjalanan. Sementara aku menaruh sepeda di tempat parkir, Riri menungguku di pojok gedung sekolah.
"Ri..., saat pulang sekolah nanti, aku mau ketemuan. ada yang aku mau sampaikan ke kamu."
"Emang ada apaan..?"
"Nanti aja, aku kasih tau semuanya."
"Gimana, bisa nggak..?"
"Ya udah, aku bisa."
"Ok. aku tunggu di taman sekolah siang nanti."
Hanya itu percakapan yang tercipta di antara aku dan Riri pagi ini, sebab kami harus segera menuju ke kelas masing-masing. Tepat di ujung di depan perpustakaan kamu berpisah, Riri ke arah kiri, ruang kelas 7B ditujunya. Aku ke arah kanan ruang kelas 8C yang aku tuju.
Sampai di depan pintu kelas, aku berhenti sebentar. Tampaknya, Pak Harso guru Matematika sudah berada di dalam. Aku berdiri diam sebentar, ada perasaan takut seketika menghantui. Aku takut masuk ke kelas. Sebab pagi ini aku lupa mengerjakan PR yang kemarin diberikan Pak Harso. Aku tahu persis, Pak Harso pasti marah besar jika kedapatan muridnya tidak mengerjakan PR. Hukuman berdiri selama pelajaran berlangsung atau menyanyi di depan kelas itu jelas dialami siswa tersebut. Tiba-tiba aku ingat niatan ketemuan Riri siang nanti, niatan itu seperti menggugah keberanianku, seketika hilang rasa takut dan penakut itu.
Kuketuk pintu kelas, terdenga suara Pak Harso mempersilakanku masuk. Aku buka pintu perlahan dan kumelangkah ke dalam. Di depan Pak Harso kuberdiri. Kuucapkan selamat pagi, tak lupa kumeminta maaf atas keterlambatanku pagi ini. Sudah tentu sebelum kudiizinkan duduk di kursiku sebuah judul lagu harus aku nyanyikan terlebih dulu di depan kelas sebagai hukuman atas keterlambatanku. Namun begitu, aku bersyukur juga, sebab pagi ini sesi pembahasan PR sudah berlalu, dan Pak Harso mulai memberikan materi pelajaran yang baru. Dengan begitu aku lewat dari hukuman yang kedua. Hukuman atas kelalaianku mengerjakan PR pagi ini.
Pagi ini pelajaran Matematika yang dua jam pelajaran ini terasa lama sekali. Sepertinya jarum jam berat untuk berputar meninggalkan angka delapan. Belum lagi pelajaran berikutnya adalah Fisika dan Bahasa Inggris. Kedua mata pelajaran ini tak kalah menakutkan diriku. Baik Matematika, Fisika dan juga Bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang sudah dapat dipastikan nantinya beroleh angka 40 di rapor. Nilai minimal yang boleh ditulis di rapor untuk anak-anak yang tidak mempunyai kelebihan akademis seperti aku ini. Maka setiap kali pelajaran tersebut jika tidak terpaksa, alias ada kesempatan untuk membolos, pasti aku memilih membolos.
Tapi hari ini kesempatan membolos tidak terbuka untukku. Minggu lalu telah diumumkan, jika Fisika dan Bahasa Inggris hari ini akan ulangan. Mau tidak mau aku harus ikut ulangan. Setidak-tidaknya biar tidak mendapatkan nilai nol nantinya. Meskipun aku sadar bahwa aku sedikit pun tak ada kesiapan untuk ulangan itu. Tapi biarlah, tak ada salahnya aku mengikutinya. Meskipun sesungguhnya aku sendiri tidak yakin bisa dan tidaknya ulangan sebab semalam aku sama sekali tidak belajar. Pikiranku sedang tidak terfokus, tak dapat berkonsentrasi sedikit pun. Bila saja tubuhku di dalam kelas sesungguhnya pikiranku melayang jauh ke taman di depan sekolah. Sebuah taman di mana di sana nanti sepulang sekolah aku akan bertemu dengan Riri.
***
Bel berbunyi tiga kali. Jam di dinding sekolah menunjuk pukul 12.30 WIB. Waktunya pulang sekolah. Murud-murid yang semula suntuk belajar sebentar lagi bakal berhamburan ke luar kelas. Di antara mereka banyak yang langsung berhambur ke halaman sekolah untuk bermain-main bola. Sebagian lagi langsung menuju ke parkiran sepeda. Mengambil sepeda masing-masing kemudian pulang.
Sebuah taman yang tidak begitu luas terletak di sisi Barat halaman sekolah. Di taman itu ditumbuhi berbagai tanaman hias, dari yang berbunga atau sekedar berdaun saja. Tanaman-tanaman itu tampak terpelihara dan tertata dengan rapinya. Semua tampak segar dan menghijau dengan beberapa bunga beraneka warna yang sedang bermekaran. Rumput-rumput di taman ini pun terlihat begitu lebat dan menghijau seperti hamparan permadani yang bila tertimpa cahanya matahari tampak begitu berkilau. Sebuah pohon mangga dengan batangnya yang besar dan berdaun rindang tampak berdiri kokoh di tengah-tengah taman itu. Meskipun matahari sedang terik-teriknya, tak pernah sinarnya jatuh langsung menyentuh tanah di bawah pohon tersebut. Sinarnya terhalang oleh kelebatan pohon mangga itu. Di bawah pohon itu terdapat beberapa bangku panjang. Bangku-bangku tersebut sering dimanfaatkan oleh teman-teman untuk sekedar duduk bersantai atau pun belajar di sela-sela istirahat atau pun menunggu jemputan.
Di bangku panjang itu kulihat Riri sedang duduk sendiri. Mungkin dia sedang menungguku sebagaimana pagi tadi telah kusampaikan keinginan bertemu sepulang sekolah ini. Kulihat dia begitu menikmati kesendirian itu dengan membuka-buka sebuah majalah sekolah yang memang tadi pagi baru saja dibagikan secara gratis kepada murid-murid. Aku tahu halaman mana dari majalah itu yang selalu dia tunggu-tunggu. Tentu saja pada sebuah halaman yang memuat rubrik puisi. Rubrik ini memuat berbagai puisi karya murid-murid termasuk puisi tulisanku pun selalu dimuat dalam rubrik tersebut.
Dari arah belakang kucoba mendekati Riri. Langkahku teramat perlahan sampai tepat berdiri di belakang Riri. Riri belum juga sadar akan kedatanganku. Jarak di antara kami kian mendekat. Tinggal sejengkal saja. Malah kurang. Aku terdiam sejenak. Kemudian dengan kedua telapak tanganku, kudekap erat kedua pelupuk matanya. Dia tersentak seolah hendak berontak. Tapi, tak hendak kulepaskan juga. Biar Riri penasaran pikirku. Kemudian Riri terdiam. Hanya sebelah tangan kirinya memegang kedua tanganku yang masih saja lekat di kedua matanya. Perlahan dia coba melepasnya dan berkata lirih padaku.
”Sudahlah Din, lepaskan! Aku tahu kok, pasti kamu yang datang!” pinta Riri dengan penuh manja. Aku pun melepasnya kemudian kuposisikan duduk di sebelah Riri.
”Sorry, Ri. udah lama menunggu?” begitu aku memulai pembicaraan siang itu.
“Belum kok, baru juga. Belum ada satu jam!”
“Oh, satu jam. Sorry..sorry...!” sergahku dengan penuh rasa bersalah karena telah membiarkan Riri menungguku begitu lama.
“Trus.. tumben-tumbenan kamu ngajak aku ke sini. Ada apaan sih Din?”
”E.. Anu Ri. Sebenarnya ada yang aku mau sampaikan ke kamu.” Aku diam sejenak.
”Apaan Din?” Riri seperti tak sabar ingin segera mengetahui apa yang ingin aku katakan.
***
Matahari di siang ini begitu terik. Seperti tegak bergantung tepat di atas kepala. Udara begitu gerah dan panas. Angin yang sesekali bertiup sepoi menggoyang dedaunan rindang tak mampu meneduhkan insan yang berteduh di bawahnya. Hatiku semakin gundah, resah dan begitu gelisah. Sejenak kami larut dalam kebekuan. Masih teringat jelas kata-kata Papa semalam, bila esok aku harus sudah berangkat ke kotaku yang baru. Kucoba hirup nafas perlahan. Udara terasa berat mengalir ke dalam paruku melalui rongga tenggorokan. Tiba-tiba tenggorokan ini berasa tersumbat. Tertahan beberapa kata yang hendak aku ucap. Kucoba menata hati, patah demi patah kata kurangkai untuk segera diucap.
“Ri..., barangkali saja...” aku terdiam
“Barangkali apa...!” sambung Riri penasaran
”Barangkali pertemuan ini adalah....!”
Tiba-tiba terdengar detring telepon genggam dari dalam tas Riri. Aku berhenti bicara. Kubiarkan Riri mengangkat teleponnya dulu. Dari pembicaraan Riri aku bisa menebak apa isi pembicaraan itu. Ya, aku tahu. Riri harus segera pulang. Ayahnya sakit keras.
Raut muka Riri yang semula tampak berseri tiba-tiba menjadi muram dan urung sekali. Tampak kesedihan begitu nyata dari kedua tatap matanya. Riri menunduk lesu dan merebahkan kepalanya di bahuku. Aku tersentuh, aku merasakan kedukaannya yang begitu mendalam. Tanpa pikir panjang kuurungkan niatku untuk mengatakan perpisahan itu kepadanya. Aku tak rela menambah kesedihan di hati Riri yang memang sedang sedih karena ayahnya yang sakit. Kurauih tangan Riri perlahan kuajak dia bangkit dan berdiri.
Sudahlah Ri, ayo kuantar kamu pulang.” pintaku dengan tulus.
”Tapi, tapi.. kamu kan belum bicara apa-apa sama Riri.” katanya.
”Sudahlah, yang terpenting ayahmu harus segera ditengok barangkali perlu segera di bawa ke dokter.”
Dengan perlahan pula kugandeng tangan Riri sambil berjalan. Parkiran belakang sekolah yang kami tuju. Di sana sepeda kami telah siap mengantar pulang. Dalam hatiku masih tersimpan beban atas penjelasanku buat Riri. Mungkin suatu saat nanti aku akan menjelaskannya dengan cara yang lain. Di serpanjang jalan lebih banyak kami berdiam diri. ”Selamat tinggal Riri. Suatu saat nanti, aku pasti kembali.” Bisikku lirih dengan harap Riri tk mendengar jerit sedih di hati ini.
(Bersambung....)