Di bagian depan gedung itu, sebuah halaman luas terhampar.
Tiang bendera tertancap kuat dan beberapa pohon tua berdiri kokoh, memberikan
kerindangan yang luar biasa. Meski tua pohon itu masih tampak kokoh. Hanya
daunnya sesekali bergoyang dihembus angin musim ini. Angin yang bertiup dari
arah utara. Semilir bertiup, menerbangkan uap air yang terangkat dari pantai di
sisi Pantai Mutiara. Hembusnya memberikan kesegaran tersendiri. Musim yang
seperti inilah yang menjadi sangat dinanti-nanti oleh anak-anak. Banyak anak di
sini yang memanfaatkan keadaan ini. Dengan sengaja mereka merebahkan diri di
atas bangku taman yang memang disediakan di hampir setiap pohon-pohon gede itu.
Anak-anak melepas kepenatan atau mungkin kejenuhan setelah sekian waktu
bergelut dengan buku-buku. Maka tak heran lagi mana kala bel berderig,
anak-anak itu kemudian berlarian, berhamburan saling mendahului sekedar berebut
bangku .
Di sisi barat halaman itu, membentang sebuah taman.
Bentuknya memanjang dari sisi kiri menuju ke kanan bangunan itu. Berbagai macam
tanaman hias dan bunga-bungaan ada di situ. Ada yang tinggi, ada yang pendek,
ada pula jenis pohon yang menjalar. Bila musim penghujan seperti ini,
tanaman-tanaman itu tampak menghijau indah dipandang mata. Daunya bergoyang
terumbai-umbai mengikuti ke mana angin menerpanya. Aneka bunga tampak
bermekaran dengan berbagai warna. Kilau cahaya matahari yang terpancar pagi
itu, semakin menjadikan sempurna. Sesekali terlihat, beberapa ekor kupu-kupu
terbang kemudian hinggap di atas bunga-bunga yang sedang mekar.
Tepat di perbatasan antara halaman dan taman, berdiri kokoh
di sana sebuah tugu peringatan yang bisa disebut prasasti, begitu biasa orang
menyebutnya. Prasasti itu berbentuk prisma segitiga, berbahan beton keras. Di
atas prasasti itu, diletakkan sebuah logo sekolah, berupa bintang besar dan
kecil. Dan padanya terukir nama dan tanda tangan seseorang. Orang Gede yang
pernah memimpin kota ini tempo dulu. Tak berani aku menyebut nama Beliau, takut
salah eja nantinya. Perihal tugu itu, tak banyak yang aku tahu. Belum lama ini,
aku dengar dari seorang teman yang katanya ikut andil dalam pembuatan tugu
prasasti itu. Tapi itu katanya. Tapi, meski itu hanya katanya, aku juga mencoba
percaya. Sebab jika aku tak percaya buat apa aku juga bercerita tentang itu.
Maka, setiap kali aku bercerita tentang tugu itu, selalu saja cerita kuawali
dengan kata ‘Katanya…’ atau kalau tidak ‘Barang kali saja…’ atau bahkan
‘Mungkin…” agar tidak disangkanya sekedar membual.
Katanya, di awal tahun 60-an, asal mulanya tempat itu adalah
rawa-rawa. Sepanjang mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan rawa-rawa
yang luas ditumbuhi pohon-pohon bakau dan semak beduri. Oleh tangan seorang
pengembang perumahan yang tentunya mempunyai cukup modal, mulailah daerah ini
disentuh kemudian disulapnya menjadi daerah pemukiman penduduk. Bukan
kebanyakan penduduk yang bisa tinggal di sini tentunya. Mereka-mereka orang-orang
yang berduit kala itu saja yang bisa empunya rumah di situ. Demikian kiranya,
tempat yang semula adalah rawa-rawa pun berubah seketika menjadi sebuah daerah
hunian yang cukup eksklusif untuk ukuran waktu itu. Satu demi satu fasilitas
umum pun mulai dirasa perlu dihadirkan di situ. Dari sarana pendidikan sampai
sarana hiburan, dari sarana perbelanjaan sampai kebugaran. Status Daerah
Otorita semakin mempercepat berkembangnya wilayah ini bersaing dengan wilayah
lain yang telah lebih dulu berkembang.
Katanya pula, kala itu sekolah belum banyak terbangun di
situ. Mungkin atas kondisi itu, tergeraklah hati seorang biarawati untuk ikut
ambil bagian dalam karyanya di bidang pendidikan. Maka sebuah kuminitas
biarawati yang sebelumnya telah mengelola sebuah sekolah di daerah Jembatan
Tiga pun berinisiatif pindah ke tempat itu. Tergeraklah hati sang biarawati.
Semangatnya mengabdi pada sesama demi kemuliaan Tuhan, membuatnya tak kenal
lelah. Semangatnya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Dari pintu
ke pintu dituju, dicarinya dukungan dari masyarakat sekitar. Segala daya dan
upaya pun dilakukan, hingga pada pertengahan tahun 70-an pun berdirilah sebuah
sekolah di situ. Sejak saat itu, pelayanan pendidikan dipindahkan dari Jembatan
Tiga ke tempat itu. Dan barang kali saja, tugu yang tertancap di tengah-tengah
halaman itu dimaksudkan sebagai tengara atas peristiwa itu.
Di awal telah aku ceritakan perihal sebuah taman yang ada di
sisi belakang tugu itu. Kata temanku, dulu tepat di belakang tugu itu ditanam bunga
mawar. Hanya sebatang dan teramat kecil. Tapi jangan salah, dari yang sebatang
itulah taman itu menjadi besar dan berkembang. Mawar itu tampak mungil. Daunnya
hijau segar. Batangnya nampak kokoh dengan akar-akarnya yang menancap kuat ke
tanah. Duri-duri di batangnya kian memperlihatkan keperkasaannya. Daunnya yang
tegak berdiri seolah menatap jauh ke awan, dipenuhi pengharapan akan sebuah
masa depan yang masih panjang. Mawar pun berkembang, seiring berputarnya sang
waktu. Banyak halangan dan rintangan menghadang. Dari onak dan duri, dari topan
dan badai, dari terik dan panas matahari, dan dari kemarau yang berkepanjangan.
Mawar tetap bertahan dan terus berkembang. Batangnya kian besar dengan
daun-daunnya yang lebat, merambat menjalar ke penjuru taman, menyusup-nyusup di
antara pepohonan dan tanaman lainnya. Seperti sebuah rantai panjang yang
melilit dari pohon ke pohon, seperti bergandeng-gandeng, bersatu berpadu yang
sulit tercerai beraikan. Duri di batangnya kian kuat dan tajam, siap menghadang
siapa pun yang coba menggoyang goncang.
Mawar kian mekar, kuncup menjadi kembang, warnanya putih
bersih tampak segar berseri, berkilau-kilau ditimpa sinar matahari pagi. Sedap
dipandang mata terasa begitu menggoda. Semerbak harumnya menebar ke segala
penjuru, terbawa semilir angin yang bertiup dari arah pantai di ujung sana.
Daunmu yang kian lebat dan menghijau, seolah melambai bila ditiup angin.
Seperti mengundang kupu-kupu itu datang mendekatmu. Satu, sepuluh , seratus,
sampai ribuan kupu-kupu datang padamu. Hinggap di dahan-dahan rimbunmu, dari
kuncup-kuncupmu dihisapnya madumu. Terbang dari dahan yang satu ke dahan yang
lain, saling berganti seperti menari-nari. Di bawah teduh daunmu kupu-kupu itu
bertelur, dan oleh teduhmu, kau jaga, kau rawat telur-telur itu sampai menjilma
menjadi kupu-kupu kecil. Dan padamu kupu kecil menjadi dewasa, bertelor
kemudian pergi dari generasi ke generasi. Mawar pun kian anggun dan memesona di
tengah taman itu.Tapi kata temanku, itu dulu. Mungkin, apa yang dikatakan
temanku itu benar. Mawar yang kulihat saat ini tak seperti yang diceritakannya,
tak lagi memesona, harumnya tak lagi semerbak. Atau apakah mawar itu bukan
mawar yang dulu lagi? Bisa jadi begitu. Atau apakah bencana besar waktu itu
telah mengubah segalanya? Barang kali saja begitu.
Masih tergambar jelas di ingatanku. Bagaimana bencana itu
datang tiba-tiba dan begitu cepat. Ketika itu sedang deras-derasnya hujan di
awal tahun 2002, lebih-lebih bulan Januari-Februari. Hampir tiada hari tanpa
diguyur hujan. Tak khayal lagi, sungai dan laut tak lagi sanggup menampung
tumpahan air yang terus-menerus dicurahkan oleh langit. Laut pun meluap, dan
luapannya sempat merendam hampir seluruh wilayah ini. Termasuk taman ini, taman
tempat di mana mawar itu tumbuh dan berkembang. Ketinggian air kala itu
mencapai sebatas leher orang dewasa. Ketinggian itu bertahan hampir satu bulan
lamanya. Meluluh lantakkan hampir sebagian tanaman yang ada di taman itu,
termasuk pohon mawar itu. Seolah tanpa bekas, berbagai macam bunga dan jenis
tanaman yang semula tampak indah di taman itu seperti tak terlihat lagi.
Semuanya berubah seperti onggokkan sampah yang menunggu giliran si tukang taman
mengangkut dan membuangnya. Tinggalah pohon mawar itu sendiri yang sepintas
masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Mawar itu tak lagi berdaun indah,
apalagi berbunga indah. Daunnya tampak layu kemudian kering dan jatuh satu demi
satu luluh ke bumi lalu mati dan tinggalkan tonggak. Yang aku tahu, dari
tonggak itu telah dua kali tumbuh tunas baru. Tunas penerus generasi,
penyambung kejayaan.
Kali pertama tumbuh sebuah tunas di sisi kanan tonggak itu.
Tunas itu tampak kecil. Hanya beberapa lembar daun terlihat pada batangnya yang
begitu kecil dan lemah. Tak ada duri-duri tajam yang terlihat padanya. Terlalu
kecil batangnya untuk sekedar berdiri dan menjalar menjangkau seisi taman. Onak
dan duri telah lebih dulu subur dan menjamur di taman itu. Mawar tak sanggup
bertahan, tubuhnya sakit-sakitan kemudian terkapar dan mati.
Kali kedua tumbuh sebuah lagi di sisi kiri tonggak itu.
Tunas itu tampak kecil, tapi tak seperti tunas pertama. Bisa jadi ia belajar
dari kegagalan tunas pendahulunya. Lembar demi lembar daun pun bermunculan pada
batang tubuhnya. Daunnya segar, tegak seperti hendak menantang langit.
Duri-duri tajam yang mulai bermunculan hampir di sekujur batang dijadikannya
benteng dan juga senjata untuk bertahan dan juga menyerang. Bertahan dari
terpaan angin, menyerang pada gejolak-gejolak alam di sekitarnya. Duri-duri itu
seperti melindungi sekuntum mawar yang muncul di pucuk batangnya. Meski tampak
kokoh mawar itu seperti tak bercahaya, penampilannya tak berseri, suram dan
angker. Hanya kesombongan, keangkuhan, kedengkian, dan kemarahan yang terpancar
dari sekuntum mawar itu. Tak ada lagi keteduhan terpancar dari padanya. Mawar
itu seperti mau menekan dan menindas semua tanaman di sekelilingnya.
Tanaman-tanaman kecil menjadi tak berdaya, tak ada semangat dan tampak begitu
apatis.
Kupu-kupu yang dulu banyak beterbangan di taman itu pun
satu-satu pergi, tak ada lagi yang menarik di matanya. Tak tercium lagi
sedapnya aroma mawar seperti dulu. Mawar tak punya lagi senyum apalagi madu
buat kupu-kupu itu. Kupu-kupu terus terbang berlalu. Asalkan mawar itu berseri
lagi pastilah kupu-kupu itu kan kembali lagi.
---$$$---
0 komentar:
Post a Comment