Thursday, 1 November 2012

Mendung pagi masih bergelayut di angkasa yang hitam. Jakarta pagi ini masih begitu sepi. Jalan-jalan masih lengang. Angkot-angkot yang biasa berkeliaran berebut penumpang baru satu-satu mulai terlihat. Beberapa pengendara motor berjaket berhelm melaju pelan di atas sepeda motor berlampu redup. Menembus pekatnya pagi yang berselimut kabut. Rintik-rintik hujan satu-satu mulai turun. Menetes di aspal hitam dan menghilang. Beberapa lampu jalan masih terlihat menyala. Kemudian satu demi satu padam dengan sendirinya. Angin sepoi-sepoi dingin berhembus pelan. Seperti jarum-jarum tajam yang menusuk-nusuk kulit. Nyeri dan dingin sekali.

Waktu belum juga pukul enam pagi. Aku sampai di tempat kubekerja. Belum banyak teman sejawat di sini. Hanya beberapa CS dan OB telah terlihat sibuk. Sibuk dengan pekerjaannya sendiri-sendiri. Seperti biasa, sesampai di sini, tempat pertama menjadi tujuanku tak lain adalah sebuah meja tua. Meja tua yang letaknya di pojok halaman yang lumayan luas. Di tempat inilah aku biasa menunggu mulainya jam kerja. Secangkir kopi hitam terlebih dulu telah kusedu dengan air hangat yang tersedia di dapur. Sementara di tanganku tak lepas dari sebatang rokok filter yang sudah menyala. Sesekali kuhisap perlahan kemudian secara perlahan kuhembus kembali. Asap putih tebal tampak mengepul. Menggumpal dan membubung menjauh kemudian menghilang. Seperti membawa terbang menjauh mimpi-mimpiku yang kurenda semalaman.

Pagi ini, kulihat dia tidak seperti pagi-pagi yang telah lalu. Tak kulihat keceriaan tampak di wajahnya. Terlebih dengan pakaian yang dikenakannya sepeti itu. Terkesan serampangan menurutku. Sebuah kombinasi warna yang tak serasi sama sekali. Potongan celana hitam panjang dipaksa menyatu dengan blazzer cokelat abu-abu. Tampak begitu kaku dan beku. Mungkin sebeku dan sekaku sikapnya padaku. Setidaknya, itu kesan yang kudapat darinya pagi ini. Nyatanya, dia kini memilih duduk berjam-jam di depan komputer. Lalu sibuk dengan seabrek pekerjaan-pekerjaan rutinnya tanpa memandang sebelah mata pun terhadapku.

Melihat dia seperti itu. Nyaliku kian ciut. Hatiku makin kecut. Pikiran pun bertambah kusut. Kuurungkan niatku berbincang dengannya untuk sekedar mengurangi beban pikiranku pagi ini. Biarlah beban dan persoalanku menjadi beban dan persoalanku sendiri. Mungkin itu lebih baik. Setidaknya aku tidak membebani sahabatku sendiri, yang mungkin juga sedang banyak beban.

---$$---

0 komentar:

Post a Comment